Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sekolah Beranda Belakang

Kartini mendirikan sekolah untuk gadis Jawa pertama di Hindia Belanda. Selain belajar baca-tulis, murid-muridnya diajari budi pekerti, kerajinan tangan, dan memasak.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memasuki beranda di belakang rumah dinas Bupati Jepara, waktu seolah-olah mundur sekitar 110 tahun. Di beranda seluas 7 x 13 meter yang menghadap taman itulah Kartini merintis sekolah keputrian bagi pribumi. "Beranda itu menjadi saksi bisu rintisan Kartini membuka sekolah putri pertama bagi pribumi," kata Hadi Priyanto, penulis buku Kartini Pembaharu Peradaban, Rabu awal April lalu.

Pemerintah Jepara masih mempertahankan beranda itu seperti sediakala. Meski tak asli lagi, deretan kursi belajar dan meja mengajar ditata persis dengan saat digunakan kegiatan belajar-mengajar oleh Kartini dulu. Ruangan terbuka yang menggunakan peneduh itu masih utuh meski pemanfaatannya sekarang berbeda: menjadi tempat rapat ibu-ibu Darma Wanita atau PKK Kabupaten Jepara. "Kami pun membiarkan tempat duduk kursi model belajar, berusaha mempertahankan seperti sediakala," ujar istri Bupati Jepara, Chuzaimah Marzuki.

Awalnya, beranda yang menempel pada bangunan utama itu adalah tempat Kartini dan adik-adiknya belajar mengaji. Pada 1903, Kartini menyulap beranda keluarga itu menjadi sekolah bagi gadis pribumi. Saat dibuka pertama kali pada Juni 1903, sekolah itu hanya diikuti satu orang.

Meski tak mudah, Kartini terus menghubungi para orang tua yang mempunyai putri untuk dididik di sekolah itu. Usahanya membuahkan hasil. Setelah berjalan lebih dari sepekan, muridnya bertambah menjadi lima. Anak-anak itu berasal dari kalangan priayi Jepara, bahkan satu di antaranya putri jaksa Karimun Jawa. Melalui suratnya bertarikh 4 Juli 1903, Kartini mengabarkan kepada Nyonya Abendanon dengan begitu gembira: "Sekolah kami sudah mempunyai tujuh murid, dan permintaan baru terus mengalir. Menggembirakan, bukan?"

Sekolah rintisan Kartini itu dibuka empat hari dalam seminggu, dari pukul 08.00 hingga 12.30. Bila menilik usia murid-muridnya, sekolah itu setaraf dengan sekolah dasar. Murid-murid diberi pelajaran membaca, menulis, menggambar, memasak, merenda, menjahit, dan kerajinan tangan lainnya. Kepada mereka juga diajarkan budi pekerti. Kartini menggunakan bahasa Jawa halus untuk mengakrabkan diri dengan murid-muridnya.

Kartini juga menceritakan beberapa peristiwa yang mengharukan. Suatu hari keluarga Sosroningrat ada yang berulang tahun. Kartini pun menjadikan hari istimewa di keluarganya itu bagi murid-muridnya. Semestinya pagi itu mereka belajar menjahit dan merenda. Tapi Kartini kemudian memberikan pelajaran memasak. Kartini, kata Hadi dalam bukunya, mentraktir murid-muridnya secara istimewa dengan mengajarkan cara membuat kue, seperti kue apem dan panekuk. Sebagian murid lainnya membuat vla.

Boleh dibilang, Kartini sangat senang karena bisa mewujudkan impiannya: membuka sekolah bagi perempuan pribumi dengan sistem pelajaran yang membuat senang murid-muridnya. Kelak, setelah Kartini wafat, model sekolah itu menjadi inspirasi bagi kaum etis Belanda dalam mendirikan sekolah Kartini dan sekolah Van Deventer di Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus