Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Revolusi: dari Stadion turun ke jalan

Kelompok garis keras pendukung klub sepak bola atau yang dikenal dengan nama ultras meninggalkan identitasnya dan melebur bersama para pengunjuk rasa yang menentang Presiden Ukraina Viktor Yanukovych, yang dikenal pro-Rusia. Mereka mengubah citra buruk sebagai perusuh, tukang bikin onar, menjadi kelompok pelindung hak-hak rakyat dan kemerdekaan Ukraina.

Kali ini Tempo menyajikan beberapa artikel yang menunjukkan bahwa sepak bola, olahraga yang paling populer di dunia, tidak pernah steril dari politik perjuangan.

2 Juni 2014 | 00.00 WIB

Revolusi: dari Stadion turun ke jalan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pemandangan ini ada di mana-mana kini. Seorang diktator melarikan diri ke negeri tetangganya setelah pemerintahan yang dipertahankannya dengan tentara, bayonet, dan bedil runtuh. Dan banyak faktor yang mengakhiri pemerintah yang tak populer ini-termasuk sepak bola.

Di Ukraina, Presiden Viktor Yanukovych, yang diktatorial, bukan pemimpin yang disukai rakyatnya. Kegemarannya menumpuk kekuasaan-yang membuat Mahkamah Konstitusi mengesahkan undang-undang dasar baru yang memberikan kekuasaan yang lebih besar kepadanya-memancing protes raksasa. Ia menentang Ukraina masuk ke Uni Eropa, dan dianggap antek Rusia.

Tidak bisa tidak, berhadap-hadapanlah ia dengan aspirasi mayoritas yang mengharapkan penyatuan itu. Bermula dari sebuah protes di Lapangan Kemerdekaan Kiev, negeri pecahan Uni Soviet yang merdeka pada 1991 ini pun diroyan demonstrasi tak berkesudahan.

Namun tidak ada yang bisa mengubah seorang Yanukovych. Baginya, Ukraina dan Uni Eropa seperti air dan minyak, tidak mungkin menyatu. Gelombang demi gelombang demonstrasi tak menghentikannya. Keadaan ini baru berubah ketika unjuk rasa itu mendapatkan dukungan dari para suporter klub sepak bola yang amat fanatik-dikenal dengan nama ultras. Para ultras, yang jumlahnya ribuan, yang semula hanya berada dalam lingkup stadion, lantas bercampur-baur dengan aktivis, menyatukan tekad: meruntuhkan rezim yang berkuasa.

"Koalisi" ini berhasil menanggalkan pemerintah yang otoriter. "Terima kasih untuk pendukung Shakhtar Donetsk, Metalist Kharkiv, dan Dnipro Dnipropetrovsk. Kalian telah berjuang bersama rakyat Ukraina," kata presiden terpilih Petro Poroshenko dalam pidatonya di hadapan ribuan pendukung klub sepak bola, Februari lalu.

l l l

Sepak bola pada akhirnya tidak hanya berakhir pada sebuah acara mengangkat piala. Sepak bola juga bersinggungan dengan politik, bahkan sering teramat dekat. Dua negara di Amerika Tengah, yakni Honduras dan El Salvador, pernah berperang hanya gara-gara sepak bola.

Di sisi lain, sepak bola menjadi pemersatu sebuah negara. Didier Drogba, bekas pemain Chelsea yang kini bermain di Galatasaray, mempersatukan kembali negaranya, Pantai Gading, yang sekian lama terpecah oleh perang saudara.

Sepak bola juga menjadi simbol perjuangan bangsa. Barcelona-klub yang punya slogan "bukan sekadar klub sepak bola"-telah sekian lama menjadi "duta" kawasan yang bernama Catalan, yang terus berjuang untuk lepas dari Spanyol. Melalui klub ini pula orang pun kemudian mafhum atas nasib bangsa Catalan. Sepak bola dan politik seperti keping mata uang yang bersisian.

 Kini sebuah varian baru pun muncul. Sepak bola bisa membuat sebuah rezim jatuh. Sebelum di Ukraina, pendukung sepak bola fanatik di Mesir melakukannya.

Diawali dengan munculnya unjuk rasa yang meluas di negara-negara Arab, yang dikenal dengan istilah "Arab Spring"-di antaranya berhasil menurunkan penguasa Tunisia dan Libya-para pendukung sepak bola Mesir ikut turun ke jalan.

Uniknya, sebelumnya, mereka merupakan pendukung klub sepak bola yang teramat fanatik. Bahkan tak jarang di antara mereka kerap terjadi bentrokan. Mereka adalah pendukung dari kelompok suporter Al Ahly dan Zamalek.

Mereka bergabung, ikut berbaris dalam ribuan demonstran di Lapangan Tahrir, Kairo, seraya mengawal para pengunjuk rasa dari gempuran petugas keamanan. Hasilnya, revolusi 25 Januari 2011 berhasil menjatuhkan Husni Mubarak dari kekuasaan yang telah dipeluknya selama hampir 30 tahun.

Di Ukraina, fenomena serupa terulang. Pendukung garis keras atau ultras dari berbagai klub di negeri itu meninggalkan identitas yang sebelumnya selalu mereka agung-agungkan. Untuk pertama kalinya, dan sulit dipercaya, mereka bersatu.

Mereka, para ultras itu, merupakan orang-orang yang menjelang perhelatan Piala Eropa 2012 yang diselenggarakan di sana disebut sebagai kelompok yang sering membuat onar dan anti-orang asing. Ketika itu, keberadaan mereka menimbulkan kekhawatiran. Salah satunya bentrok dengan suporter dari negara lain.

Kaum ultras hanya mengenal kejayaan klubnya. Yang ada di kepala mereka adalah bagaimana memberikan dukungan kepada klubnya agar menjadi yang paling perkasa di antara klub-klub lain. Demi kejayaan klub juga, mereka tak segan-segan menyerang pendukung klub lain. Politik adalah kata yang jauh dari mereka. Bahkan mereka terkesan apolitis. Namun perkembangan politik yang terjadi di negeri itu, yang kian memanas, akhirnya menyeret mereka masuk.

Seperti diberitakan The Guardian, perubahan terjadi pada 21 Januari lalu atau tepat sehari sebelum pemerintah semakin memperbesar tekanan secara fisik kepada para pengunjuk rasa. Pada saat yang bersamaan, kondisi politik yang memburuk ini juga menimbulkan "gencatan senjata" di antara fan klub-klub sepak bola itu.

Ketika itulah ultras Dynamo Kiev mengumumkan pembentukan pasukan khusus yang akan mengawal para pengunjuk rasa. "Kami mengajak siapa saja ikut bergabung dalam pengawalan para aktivis dari bahaya yang mengancam mereka," demikian ajakan dari kelompok ini di jaringan sosial VKontakte.

Konsekuensinya sudah mereka pahami dengan sepenuhnya. Keputusan ini akan membuat mereka berhadapan dengan polisi. Namun itu bukan hal baru. Bentrok dengan polisi adalah makanan mereka sehari-hari.

Kelompok ultras ini menolak bila kiprah mereka disebut semata untuk memberikan dukungan kepada politikus yang berseberangan dengan pihak penguasa. "Kami juga tidak menentang Rusia dan orang Rusia. Kami melakukan ini untuk orang-orang Kiev, untuk kota kami, untuk negeri kami, dan kehormatan kami semua!"

Setelah itu, suara yang sama pun terdengar di berbagai kota. Kaum ultras kemudian maju mengawal para demonstran. Tidak hanya di kota-kota yang dikenal sebagai pendukung pengunjuk rasa, tapi menyebar ke selatan, seperti Crimea dan Odessa, juga ke timur, seperti Luhansk, Kharkiv, dan Donetsk-yang sebenarnya merupakan basis pengusung partai penguasa pimpinan Presiden Viktor Yanukovych.

"Kami bukanlah anggota partai politik. Kami turut dalam aksi ini semata untuk keadilan dan membela para pengunjuk rasa. Bagi kami, tidak penting apa yang mereka perjuangkan. Kami tidak mungkin hanya berdiam diri melihat semua ini di depan mata kami," kata seorang ultras Donetsk.

Para petinggi klub pun tak bisa berbuat apa-apa. Sergiy Kurchenko, pemilik klub Metalist-yang sebenarnya dekat dengan penguasa-hanya bisa meminta para pendukung klub itu tidak menggunakan simbol-simbol klub. Sederhana saja, ia tidak ingin klub sepak bolanya mendapat masalah kelak.

Lima hari berselang, di Dnipropetrovsk, ribuan ultras Dnipro berkumpul dan membantu pengunjuk rasa. Singkat cerita, saat itu kaum ultras yang memberikan dukungan kepada kaum pengunjuk rasa resmi tersebar di 17 kota. "Kami memutuskan mendukung para pengunjuk rasa semata untuk keadilan dan kemerdekaan," kata seorang ultras.

Faktor lain yang membuat mereka bersatu adalah munculnya titushky. Mereka adalah kelompok bayaran yang terdiri atas pria berbadan tegap, mahir bela diri, yang bertugas menghajar para pengunjuk rasa. Tersiar kabar, dalam sehari, mereka mendapat bayaran US$ 35.

Menurut The New Telegraph, nama titushky sendiri berasal dari nama seorang preman, yakni Vadym Titushko, yang menghajar jurnalis pada Desember tahun lalu. Sialnya, sebagian dari mereka adalah pendukung klub Metalist Kharkiv, yang sekian lama menjadi musuh kaum ultras Dynamo Kiev. Mereka kemudian baku hantam dengan ratusan titushky yang berangkat ke Kiev. Hal yang sama dilakukan ultras lain terhadap kelompok bayaran ini di kota-kota lain.

Mereka juga melakukan penyerangan terhadap siapa saja yang dianggap pro-Rusia. Pada 18 Februari, bentrokan terburuk pun pecah. Di tengah pertempuran itu, ribuan ultras turut di dalamnya. Media Rusia melaporkan para ultras bertarung melawan petugas keamanan dengan lemparan batu, tongkat kayu, atau pemukul bisbol.

Keberadaan mereka tentu saja menjadi penekan bagi rezim yang berkuasa. Saat mereka bertempur di garis depan dengan polisi, para politikus meminta Presiden Yanukovych mundur-persis seperti permintaan para pengunjuk rasa. Namun tak ada tanggapan positif.

Kerusuhan terus terjadi hingga menewaskan puluhan orang. Para pengunjuk rasa bersama kaum ultras terus memberikan perlawanan. Hingga akhirnya Presiden Yanukovych meninggalkan Ukraina. Pada hari berikutnya, parlemen memakzulkan Yanukovych.

l l l

Setelah berhasil mengusir rezim yang membawa mereka ke Rusia, para ultras hidup berdampingan. Ultras klub Dnipro dan Metalist kini bersahabat. Mereka punya musuh bersama yang jauh lebih penting untuk diperangi, yakni pemerintah yang korup dan bertindak brutal. Kesepakatan ini menjadi semacam gentleman agreement di antara mereka.

"Rezim yang baru lalu berpikir bahwa rakyat bisa dengan mudah dihajar dan diintimidasi," ujar Rodion, ultras dari Dnipro Dnipropetrovsk. "Kami sebagai sebuah komunitas pendukung klub membuktikan bahwa bersatunya kami semua sangat penting untuk mendapatkan negara yang merdeka."

Ultras Dnipro lainnya, Serhiy, menggarisbawahi bahwa bersatunya mereka menunjukkan bahwa sepak bola hanya sebuah permainan. "Ukraina di atas segalanya. Kami bahu-membahu untuk sebuah tujuan. Terima kasih kepada sepak bola yang telah mempersatukan dan mampu membuat kami menolak siapa pun yang tak pantas masuk ke rumah kami," katanya.

Kini nyanyian-nyanyian di stadion sepak bola pun berubah. Mereka tidak lagi semata mengalunkan lagu-lagu yang mengagungkan klub, tapi juga meneriakkan kata-kata untuk melawan Presiden Rusia Vladimir Putin.

"Semua pendukung sepak bola di Ukraina adalah patriot. Semua paham ambisi untuk memisahkan diri adalah sebuah kesia-siaan," ujar Yevhen, pemimpin ultras lainnya.

Wajah para ultras kini telah berubah. Semula dianggap sebagai biang rusuh, kini mereka menjelma menjadi kekuatan di belakang sebuah perubahan di Ukraina. Mereka juga menjadi pelindung hak-hak rakyat dan kemerdekaan Ukraina. Mereka bukan lagi gerombolan perusuh yang menenteng botol bir ke mana-mana.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus