Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bahaya Laten Militerisme

Thailand kembali dilanda kudeta. Ekonomi ikut terancam.

2 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS politik Thailand untuk kesekian kalinya membuktikan betapa militer-dan militerisme-tetap merupakan bahaya laten bagi demokrasi dan kemanusiaan. Melalui konflik politik yang berjalan lebih dari enam bulan, Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand Jenderal Prayuth Chan-ocha rupanya melihat peluang merebut kekuasaan. Peluang itulah yang direbutnya pada Kamis dua pekan lalu.

Sulit mempercayai bahwa kudeta yang dilakukan Prayuth sekadar reaksi spontan terhadap ketegangan politik yang melanda negeri itu. Langkah-langkah yang dilancarkan jenderal 60 tahun itu setelah "memproklamasikan" kudeta sangat sistematis dan terprogram. Sekadar contoh: ia sama sekali tidak mengalami kesulitan akomodasi dan logistik untuk "mengamankan" lebih dari 155 tahanan-termasuk anggota kabinet dan mantan pejabat tinggi militer dan polisi-dalam waktu serentak.

Thailand memang "berkerabat" dengan kudeta. Sejak meninggalkan sistem monarki absolut 82 tahun silam, Negeri Gajah Putih sudah dilanda 19 kudeta-rata-rata empat setengah tahun sekali. Dari 19 kudeta itu, 12 kali dilakukan oleh Dewan Pemelihara Ketertiban dan Perdamaian Nasional (NPOMC), yang saat ini dipimpin Prayuth. Kudeta terdekat sebelumnya terjadi delapan tahun silam, ketika NPMOC menurunkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

Sebagaimana dalih pemimpin kudeta dan junta di mana pun, Prayuth menjelaskan tindakannya demi "menegakkan keamanan dan ketertiban". Tapi bagaimana mempercayai jenderal Angkatan Darat ini yang dua hari sebelum melakukan kudeta masih berani berjanji "tidak akan melakukan perebutan kekuasaan"? Beberapa pengamat bahkan percaya kali ini militer menginginkan kekuasaan untuk waktu lama.

Prayuth tak sekadar merebut kekuasaan eksekutif. Ia juga menjalankan fungsi yudikatif dengan menahan hampir 200 orang, termasuk pejabat sipil dan militer. Dari sana ia bergerak ke ranah legislatif dengan membubarkan Senat, sehingga secara de facto kekuasaan untuk menyusun dan mengesahkan undang-undang berada di tangan militer. Keadaan bertambah genting karena kesehatan Raja Bhumibol Adulyadej, 86 tahun, kini tidak menggembirakan.

Untuk menarik simpati mayoritas penduduk Thailand, Prayuth berjanji membayar petani yang telah dirugikan oleh skema subsidi beras yang dijalankan pemerintah Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Yingluck sendiri sudah diturunkan dua pekan sebelum kudeta dan digantikan oleh perdana menteri sementara, Niwattumrong Boonsongpaisan, yang kini juga meringkuk dalam tahanan. Prayuth sudah memerintahkan Departemen Keuangan mengeluarkan dana sekitar 80 miliar baht untuk membayar petani dalam 15-20 hari ke depan.

Prayuth, seperti lazimnya pemimpin kudeta, tentu tak berpikir panjang tentang kemampuan ekonomi negerinya. Sehari setelah kudeta, Prayuth harus menghadapi kenyataan bahwa Amerika Serikat, sekutu terdekat Thailand, langsung memotong US$ 3,5 juta dari total US$ 10,5 juta bantuan militer. Lebih dari 31 negara sudah melarang warganya bepergian ke Thailand. Komisioner Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengingatkan Prayuth untuk menghormati hak asasi manusia dan memulihkan keadaan berdasarkan hukum.

Aneh bin ajaib bahwa dari komunitas ASEAN kurang terdengar reaksi negatif atas krisis Thailand. Padahal di seantero kawasan ini, sebetulnya, bahaya laten militerisme tidak pernah sungguh-sungguh padam. Bahkan melalui jalan "demokratis" pun militerisme bisa saja bangkit dalam wajah berbeda.

Berita terkait klik Disini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus