Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yahud…."
"Yahud…."
Yahud…."
YEL-YEL umpatan terhadap Israel itu memenuhi setiap sudut Stadion Al-Hussein di Kota Hebron, Palestina, dua tahun lalu. Di stadion berkapasitas 6.000 tempat duduk itu, kemarahan, pemberontakan, dan sepakbola bercampur menjadi satu. Sore itu, demonstrasi jalanan menuntut kemerdekaan Palestina telah berpindah ke dalam stadion.
Ya, begitulah suasana stadion kala tim nasional Indonesia menghadapi Palestina dalam babak semifinal Piala Al Nakba 2012. Termotivasi oleh teriakan penonton yang memadati stadion, Palestina sukses menekuk Indonesia dengan skor 2-1. Awalnya, mereka sempat tertinggal oleh gol penyerang Indonesia, Irfan Bachdim, pada menit ke-12. Singa-singa Kanaan-julukan tim Palestina-membalas lewat gol Abu Habib pada menit ke-38 dan tendangan penalti kapten tim Roberto Kettlun pada menit ke-66.
Piala Al Nakba adalah turnamen yang dihelat Federasi Sepak Bola Palestina (PFA) untuk memperingati Hari Nakba, yang jatuh pada 15 Mei. Dalam bahasa Indonesia, Al Nakba kurang-lebih berarti "Hari Malapetaka". Bagi warga Palestina, label malapetaka itu bukanlah tanpa makna. Pada medio 1940-an, saat Palestina yang dibantu beberapa negara Arab berperang melawan warga Yahudi yang didukung negara-negara Barat, ratusan ribu warga Palestina terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka mencari tempat aman.
Salah satu akibat perang tersebut adalah berdirinya Negara Israel pada 14 Mei 1948. Keesokannya, 15 Mei 1948, warga Palestina secara resmi mendeklarasikan Hari Malapetaka. Meski jamak digunakan setelah 1948, Al Nakba itu sebenarnya bukan istilah baru. Pada 1920-an, ketika bangsa Eropa menjejak Tanah Arab dan berujung pada terpecah-belahnya wilayah kekuasaan Ottoman di Arab, istilah tersebut sudah digunakan.
Lalu aktivis pergerakan Palestina mengadopsinya pada 1940-an untuk menggambarkan bahwa kedua peristiwa itu sama-sama berdampak buruk bagi bangsa Palestina. Untuk memperingati kejadian tersebut, PFA lantas mencomotnya sebagai titel turnamen sepak bola internasional itu pada 2012.
Al Nakba adalah masa lalu yang terus melekat pada bangsa Palestina. Federasi Sepak Bola Palestina ingin dunia internasional mengenal lebih lanjut tragedi tersebut. Salah satu caranya menempatkan kickoff turnamen pada 14 Mei, bertepatan dengan deklarasi terbentuknya Negara Israel. Di luar itu, secara umum, turnamen ini dimaksudkan untuk memperkuat pengakuan Palestina merdeka secara internasional.
Piala Al Nakba, seperti dituturkan seorang sumber di tim nasional Indonesia yang hadir dalam perjamuan malam yang digelar perwakilan pemerintah Palestina di sebuah hotel di Jenin-kota tempat tim Indonesia menginap-adalah bagian dari diplomasi politik Palestina. Turnamen ini satu dari beragam jurus yang mereka siapkan agar mendapat pengakuan penuh sebagai negara merdeka: sederajat dengan Israel. "Maka kami mengundang Indonesia," kata sumber itu mengulangi pernyataan pejabat Palestina. "Karena Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang mendukung Palestina selama ini."
Pernyataan pejabat Palestina tersebut didukung penanggung jawab tim nasional Indonesia kala itu, Bernhard Limbong. Meski beberapa pihak mencibir keputusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia mengirim tim utama ke turnamen tak resmi seperti Al Nakba, Limbong merespons dengan santai. "Kehadiran timnas di sana lebih dari sekadar sepak bola. Ada rasa solidaritas antara Indonesia dan Palestina," ujar Limbong ketika itu.
Palestina, sang sahibulbait Piala Al Nakba, bukan satu-satunya entitas yang menjadikan sepak bola sebagai alat diplomasi untuk mendapatkan pengakuan internasional. Dalam turnamen yang sama, meski tak mendapat banyak sorotan, ikut berpartisipasi tim Irak Kurdistan, yang mewakili daerah otonom Kurdistan, yang terletak di sisi utara Irak.
Keberadaan tim ini bukan sekadar pelengkap. Catatannya di turnamen Al Nakba cukup membanggakan. Ditempatkan di grup B bersama Indonesia dan Mauritania, Irak Kurdistan tampil sebagai juara grup setelah unggul agresivitas mencetak gol dibanding tim Merah-Putih.
Pada pertandingan pertama, mereka mengalahkan Mauritania dengan skor 3-1. Lalu, pada pertandingan kedua melawan Indonesia, Irak Kurdistan bermain imbang 1-1. Mereka tersingkir dari turnamen setelah akhirnya kalah dengan skor 1-2 melawan Tunisia di bawah usia 20 tahun (Tunisia U-20) di babak semifinal.
Bagi Irak Kurdistan, menurut BBC, partisipasi di Piala Al Nakba itu ibarat babak baru diplomasi lewat sepak bola. Mereka kini berkesempatan bertanding dengan negara yang merdeka dan terdaftar di Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), misalnya Indonesia dan Mauritania. Sebelumnya, Irak Kurdistan hanya bertanding melawan tim yang tergabung dalam Nouvelle Fédération-Board (NF-Board), yang membawahkan asosiasi sepak bola yang dibentuk oleh wilayah tak diakui, koloni, atau kelompok marginal di suatu negara berdaulat.
Dalam situs resminya, badan tersebut mengklaim diri sebagai otoritas alternatif pengelola sepak bola yang ingin mendobrak hegemoni FIFA. "Asosiasi sepak bola apa pun dari seluruh dunia akan kami terima dengan sangat terbuka," demikian penjelasan NF-Board dalam situs resminya, http://www.nf-board.org/.
NF-Board dibentuk pada 12 Desember 2003 di sebuah pub bernama La Mort Subite alias The Sudden Death di Brussel, Belgia. Salah satu inisiatornya adalah Luc Misson, pengacara spesialis olahraga yang berperan atas munculnya Bosman Ruling pada 1995. Aturan itu membebaskan pemain profesional yang sudah habis masa kontraknya pindah ke klub baru. Kini, setelah lebih dari 10 tahun, NF-Board memiliki 40 anggota tetap, seperti Sapmi, yang mewakili orang-orang Sami yang berdiam di Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Rusia; Tibet; serta Chechnya.
Bukan hanya wadah bermusyawarah, NF-Board memiliki turnamen akbar yang digelar setiap dua tahun. Bertajuk VIVA World Cup, turnamen antar-anggota NF-Board itu mulai digelar pada 2006 di Occitania, wilayah yang berada di antara Prancis, Italia, dan Spanyol, yang disatukan oleh kesamaan budaya. Dalam perhelatan pertama itu, Sapmi keluar sebagai juara setelah menekuk Monako dengan skor 2-1.
Turnamen kedua digelar dua tahun kemudian di Sapmi. Tim Padania, yang dibentuk Lega Nord, kelompok separatis yang berlokasi di utara Italia, keluar sebagai pemenang setelah mengalahkan tim Aramean Suryoye dengan skor 2-0. Setahun berselang, Padania, yang menjadi tuan rumah, kembali meraih gelar juara setelah mengalahkan Irak Kurdistan dengan skor 2-0. Lalu, pada 2010, Padania meraih gelar ketiganya setelah kembali menekuk Irak Kurdistan, dengan skor 1-0, dalam turnamen yang digelar di Gozo, suatu wilayah yang menjadi bagian Malta.
Gagal dalam dua final, Irak Kurdistan akhirnya merebut trofi VIVA World Cup 2012, yang dihelat di rumah sendiri. Pada partai final, mereka menang 2-1 atas Siprus Utara, sebuah wilayah bagian Siprus yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 1983. Sampai saat ini, hanya Turki yang mengakui Siprus Utara sebagai negara merdeka.
Setelah menaklukkan Indonesia di semifinal, Palestina melanjutkan dominasi dengan mengalahkan tim Tunisia U-20 dengan skor 4-3 melalui adu tendangan penalti. Gelar juara Al Nakba itu menjadi trofi internasional pertama Palestina di cabang olahraga bal-balan. Selama ini, ketika berlaga di ajang resmi bentukan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) atau FIFA, mereka hanya berstatus tim "pupuk bawang".
Palestina selalu rontok pada babak awal kualifikasi Piala Dunia FIFA sejak ambil bagian pada 2002. Bahkan, pada AFC Challenge Cup, yang notabene kompetisi kelas dua di Benua Kuning, Palestina maksimal hanya mampu mencapai babak semifinal. Tak mengherankan, meski Al Nakba bukan turnamen resmi yang akan menambah perolehan poin tim Palestina di tabel peringkat FIFA, penggemar sepak bola dan segenap anggota tim Palestina ketika itu larut dalam sukacita.
Sekali lagi, teriakan "Yahud… Yahud… Yahud…" itu berkumandang di Stadion Al-Hussein di Kota Hebron. Ya, demonstrasi pembebasan Palestina telah berpindah tempat, dari jalan-jalan ke stadion sepak bola.
Arie Firdaus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo