Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ribuan tahun sebelum nabi muhammad

Arab saudi sibuk menggali kembali peninggalan arkeologi masa lalu. para arkeolog dikerahkan untuk merekontruksinya. (sel)

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMUDRA pasir itu tiba-tiba menyajikan pemandangan yang tidak lazim. Mencuat dari perut bumi, tampaklah seonggok bangunan batu -- raksasa dan anggun perkasa. Itulah serambi makam peninggalan kaum Nabatez, dari zaman pra-Islam yang makmur --tatkala bangsa ini mengekspor rempah dan dupa ke Roma, dari tahun 150 SM hingga sekitar 100 M. Bergaya Hellenis, dengan pintu-pintu berbingkai tiang berukir, bertatahkan hiasan triglyph, rosette, pilaster, rajawali dan tempayan. Puncak makam itu sendiritak pernah ditimbun pasir. Tapi gerbangnya terpendam hingga abad ke-19, tatkala para petualang Barat mulai menggali dan menemukan inskripsi di dasar monumen. Arab Saudi kini memang tak hanya sibuk mengeduk minyak. Melainkan juga menggali masa lampaunya. "Sampai sekitar tahun 7000 SM, pedalaman negeri ini ternyata merupakan kawasan subur dengan danau dan padang rumput, tempat menjangan dan badak sungai berkeliaran dengan damai," ujar Abdullah H. Masri. Berusia 34 tahun, doktor antropologi lulusan Universitas Chicago ini sedang memimpin proyek yang akan menyingkapkan sejarah bangsanya jauh ke belakang. Kesibukan memang segera terlihat di samudra pasir yang hernama Madain Salih itu--15 mil dari kota oasis Al 'Ala, di barat laut Saudi. Ini adalah wilayah yang, sebelum zaman Nabatea, diduga merupakan daerah Nabi Salih pengganti Nabi Hud --yang berdiam di tengah kaum Tsamud (Tamudea) sesudah kehancuran bangsa 'Ad. Banyak pengunjung asing, di antaranya para arkeolog, sudah melihat runtuhan ini. Dua ribuan peninggalan lain yang terserak di seantero kawasan kerajaan gurun yang luas. Semuanya sisasisa peradaban pra-Islam yang jaya, yang kemudian hancur dan terhampar begitu saja sepanjang padang dan perbukitan sahara. Persis seperti yang disebut dalam Al Quran: "Betapa banyaknya Kami hancutkan negeri yang makmur kehidupannya itulah bekas-bekas tempat tinggal mereka, tak lagi dihuni di belakang hari kecuali sedikit" (Q. 28 : 58). Namun hingga belum lama berselang, wilayah ini tinggal kosong dalam peta arkeologi dunia. Ia bagai dikucilkan oleh iklim yang tidak ramah plus berbagai persoalan agama dan politik. Para ulama dan pemimpin agama yang berpengaruh, anehnya dalam kenyataan tak begitu suka berbicara mengenai zaman jahiliah--justru bila zaman itu menyimpan peradaban yang mengesankan. Duabelas tahun lalu, pemerintah Saudi sendiri melarang semua penggalian budaya pra-Islam itu --demi memberi imbalan pada kesediaan para ulama menerima modernisasi industri. Tapi kini, seraya melangkah dalam gemuruh abad ke-20, kerajaan yang bersimbah minyak dan duit itu mencoba menemukan kebanggaan masa silamnya. Jutaan dollar dicadangkan untuk eksplorasi ratusan obyek arkeologi-termasuk survei sistematik atas reruntuhan seperti yang terdapat di Madain Salih. Dalam skala menyeluruh, usaha ini dipusatkan pada penggalian, pencagarbudayaan dan peragaan relik yang menyangkut sejarah Saudi--baik pada zaman purba maupun Islam. AGAKNYA juga terdapat hasrat lain di balik kesibukan ini. Boleh jadi untuk membantah pandangan yang "populer" di Barat, bahwa orang Arab hanyalah saudagar minyak pemboros dan keturunan bangsa pengembara yang tidak punya akar' kebudayaan--kata Robert Reinhold, reporter ilmu pada biro Washington The New York Times. Dalam hubungan ini pun pekerjaan Dr. Masri dan rekan-rekannya menjadi penting. Lahir di Mekah, dan bersekolah di Amerika, Masri menggunakan teknik arkeologi Barat untuk menjangkau secara riil masa lampau negerinya yang belurn terjamah--serangkaian kurun yang selama ini lebih banyak diketahui hanya melalui bacaan baik keagamaan maupun sekular. Kini, berbagai tim arkeologi Saudi, Amerika dan Inggris sedang mengendus di seluruh negeri. Mereka terlibat dalam persiapan untuk menyongsong apa yang oleh sementara ahli Amerika dinamakan "ekspedisi arkeologi terbesar sejak Napoleon tiba di Mesir." Toh perbandingan tersebut sebenarnya tak sepenuhnya tepat. "Kesibukan yang kini berlangsung di negeri-negeri Timur Tengah yang (baru) kaya, tak bisa disamakan dengan yang terjadi pada zaman para arkeolog Barat memimpin penggalian di Mesir, Turki dan negeri kuna lainnya," kata Robert Reinhold. Dulu, tak sedikit harta karun itu diangkut para penggalinya--untuk kemudian ditemukan terpajang di berbagai museum di Paris, London, New York. Kini Saudi sendiri membiayai dan mengawasi dengan ketat jalannya penelusuran. Bahkan dalam waktu bersamaan, para sultan dan amir berbagai negeri minyak di sekitar Teluk Persia terangsang pula untuk mengail masa lampau mereka yang selama ini tetap tersimpan. Mereka seakan berlomba mendatangkan ahli asing, membangun museum dan menggali monumen, di samping memugar benteng, waduk dan masjid. Sebagian penguasa memang benarbenar berminat terhadap sejarah purba tanah air mereka. Sebagian lagi mencoba mencari lambang yang bisa mempersatukan, di kawasan yang untuk waktu panjang dikuasai suku dan puak yang terpisah-pisah dan masing-masing memerintah diri sendiri itu. Ada pula yang mencari akar kuno untuk mengesahkan rezim yang tengah berkuasa. Sultan Oman, misalnya, November tahun lalu mengundang selusin sarjana asing menghadiri sebuah semirar mengenai sejarah Arab, yang diselenggarakan merayakan 10 tahun pemerintahannya. Semua mereka dibayar mahal. Qatar membangun museum yang luar biasa--dalam satu kompleks luas yang mencakup sebuah istana kuna dan danau buatan, tempat menambatkan empat sekunar Arab. Museum itu dirancang Michael Rice & Company, konsultan Museum London yang juga mendisain museum nasional di Oman dan Riyadh, ibukota Saudi. Sementara itu para arkeolog sedang menggali-gali pasir pula di Kuwait, Abu Dhabi, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, bahkan Yaman Selatan yang marxis. Para arkeolog Barat memang menyambut hangat usaha ini. Apalagi sejak para ahli tersebut tak diperkenankan lagi mengunjungi "padang perburuan" arkeologi mereka di Iran, Irak dan Suriah. Namun tak selamanya anak negeri setempat memberi dukungan positif. Di kantornya yang sibuk, di lantai atas Museum Nasional Arkeologi dan Etnografi Arab Saudi, Abdullah Masri dibantu 120 orang staf multinasional. Wajahnya yang kekanak-kanakan ditudungi koffiyeh. Menjabat Direktur Dinas Purbakala dan Museum, keprib.adiannya bagai bergayut antara citra aristrokrasi Arab dan hasil tempaan pendidikan Barat. Ia mungkin lambang yang tepat untuk kontradiksi sosial dan intelektual masyarakat muslim ortodoks-yang dahaga akan pengetahuan dan teknik Barat tanpa mau kehilangan nilai-nilai asli yang sudah bertahan berabad-abad. "Sejak 1975, dialah katalisator utama Arab Saudi dalam mencari warisan purbakala," kata Reinhold. Sebuah dewan yang dibentuk tak lain oleh almarhum Raja Faisal yang saleh itu, memberikan kekuasaan yang besar kepadanya. Ia berhak menyetop sebuah proyek industri, misalnya, bila proyek tersebut dikhawatirkan akan merugikan penggalian arkeologi. Juga untuk itu kalau perlu boleh menggusur penduduk. Dewan itu sendiri berhak menuntut hukuman penjara dan denda bagi siapa saja yang merusak atau mencuri relik. Di antara negeri yang sedang berkiprah menggali masa silam, Arab Saudi memang yang paling berambisi, paling rapi organisasinya di samping paling berduit. Berbagai museum segera berdiri di kota-kota utama negeri ini --termasuk museum nasional yang baru di tanah 100 ha, tepat di jantung Kota Riyadh. Sebaliknya, juga usaha arkeologikal Saudi yang paling tidak bisa melepaskan diri dari pelbagai masalah politikdan tradisi keagamaan. Patut diingat, sampai 1950 kerajaan ini hanya memiliki tak lebih dari 50 mil jalan beraspal. Kini pesawat jet, simpang-siur di angkasa. Busana Paris terbaru bisa dibeli di Riyadh atau Jeddah. Modernisasi kilat yang melanda cara hidup berabad-abad ini bagaimanapun mengguncangkan susunan masyarakat tanah kelahiran Islam itu. Karena itu Dr. Masri dan' rekan-rekannya, termasuk Menteri Pendidikan Dr. Abdul Aziz al-Khuwaitir, bagai berjalan meniti tali. Di satu pihak mereka berhadapan dengan semangat pembangunan yang, tidak urung, ingin mengeduk masa lampau lengkap dengan keagungannya. Di pihak lain berdir/semangat agama yang terheran-heran memandang modernisasi dan usaha menggali sejarah purba yang, menurut mereka, barbar alias jahili. Tapi, sebenarnya, "segalanya berubah," seperti kata Ali Ibrahim Hamid, mahasiswa arkeologi Universitas Riyadh berusia 22 tahun. "Al Quran banyak menyebut kebudayaan kuna," katanya. Bukan hanya 'Ad dan Tsamud, tapi juga misalnya Saba, Iram, secara samar-samar Himyar dan Ma'rib, di samping seperti Sodom dan Gomorrah yang juga disebut dalam Bibel. Karena itu, "kami harus menyimak sejarah ini untuk mengenal kehidupan nenek moyang. Para arkeolog Barat telah memberikan kesan keliru mengenai bangsa kami. Kami ingin melakukan koreksi. Kami ingin menulis sejarah kami sendiri." Maka bukan kebetulan, sementara mempersiapkan penggalian di Taima --lokasi arkeologi yang paling diharapkan di seluruh Saudi--Dinas Purbakala dan Museum juga memugar kota tua Dar'iyah, sebuah oasis 15 mil dari Riyadh, pusat gerakan Wahhabi pada abad ke-18. Inilah kota bersejarah yang penuh riwayat periuangan kaurn puritan, tulang punggung ideologi Saudi sampai kini. Pemerintah juga akan memugar, misalnya, Istana Murabba' Istana Persegi) di pusat Kota Riyadh, kediaman almarhum Raja Abdul Aziz ibn AbdurRahman al-Faisal As-Sa'ud, ayah Raja Khalid, Pangeran Fahd dan almarhum Raja Faisal--pendiri Saudi modern. Begitu pula sisa-sisa Darb Zubaidah, persinggahan dan suplaier air sejak 1000 tahun lalu bagi jamaah haji antara Baghdad dan Mekah. Penggalian yang dipimpin Dr. Masri memang belum berusia panjang. Tapi bukti yang muncul begitu banyak. Paling tidak sudah bisa diungkapkan, negeri ini ternyata jauh dari anggapan klise yang mengiranya tak lebih dari sekedar sebuah wilayah tandus. Dijepit Lembah Nil dan Eufrat, Semenanjung Arab terkait erat pada tanah air dua peradaban besar: Mesir dan Mesopotamia. Kini terbukti, pantai timur semenanjung ini sudah padat didiami manusia neolitik--sejak 5000 SM. Pada medio 1970-an, misalnya, Dr.Masri mengguncangkan para ahli Timur Tengah dengan sebuah penemuan. Di tiga tempat--Ain Qannas, Dausariyah dan Abu Khamis, di Teluk Persia--penggalian mengisyaratkan kehidupan yang lebih kompleks dari yang pernah dibayangkan di situ. Penduduk purba lokasi ini adalah petani. Mereka membangun rumah dari plester kapur dan gelagah. Mengandangkan domba dan kambing. Dantampaknya pandai pula memancing di laut. Di lokasi itu juga ditemukan keramik--dibuat ratusan mil di utara, di ,tempat yang kemudian bernama Irak. Kenyataan ini membawa para ahli pada kesimpulan: penduduk purba itu juga para saudagar antarnegeri--yang menjalin hubungan dagang erat dengan orang Mesopotamia. "Tak perlu disangsikan, Arab Saudi sudah tercatat dalam peta bumi yang didiami sejak 7000 tahun lampau," ujar Masri. "Dengan sistem pengolahan tanah, pengandangan lembu, domba dan kambing. Ternyata kami mempunyai kebudayaan pemukiman--di tanah yang penduduknya selalu dihubungkan dengan kebiasaan kaum nomad." ARA arkeolog meramalkan, penggalian di masa depan akan membuktikan betapa orang Arab purba terpengaruh dan mempengaruhi peradaban besar yang terdapat di Mesir, Mesopotamia, Lembah Indus an Bulan Sabit--yang terbentang antara Teluk Persia dan Teluk 'Aqabah. Berabad-abad mcreka menguasai lalulintas perdagangan rempah dan wangi-wangian, yang di masa itu sama pentingnya dengan minyak sekarang ini. Ada pula dugaan, jutaan tahun lalu semenanjung itu berfungsi sebagai jembatan antara Asia dan Afrika Timur--bagi makhluk yang kemudian berkembang menjadi Homo erectus. Konon pada suatu masa para pemburu Paleolitik berkeliaran melintasi Rub'ul Khali--'Tanah Kosong' di selatan Saud, kawasan yang kini demikian tandus dan kerontang hingga nyaris tak menjamin syarat kehidupan. Pada zaman ketika hujan berhenti turun, dan danau-danau mengering, para pemburu malang itu pun hijrah ke utara--mencari air dan makanan. Akhirnya mencapai pantai Teluk Persia, tempat yang kini dikenal sebagai provinsi timur Saudi yang kaya minyak. Di sinilah, jauh di bawah pasir, Masri dan rombohgannya menemukan isyarat peradaban dari 7000 tahun silam. Berbagai perkakas batu yang indah, mangkuk, cawan dan jambangan dari lempung berwarna kuning kehijauhijauan, berhiaskan ukiran merah kecokelatan. Itulah ciri keramik daerah 'Ubaid di Irak, tanah air nenek moyang bangsa Sumeria yang menciptakan tulisan pertama dan peradaban yang sesungguhnya di dunia! Penemuan seperti itu sangat merangsang kaum muda Saudi. Fakultas Arkeologi Universitas Riyadh sendiri kini memiliki 300 mahasiswa--dengan anggaran tahunan $330 ribu untuk usaha penggalian. Dan ini termasuk perkembangan luar biasa. Apalagi bila diingat, Prof. Abdur Rahman al-Ansari yang mengepalai fakultas tersebut tahun 1966 masih dicela mahasiswa dan para pemimpin agama--lantaran mendirikan Lembaga Arkeologi dan Sejarah Arab Saudi. Setidaknya karena menurut mereka, sia-sia. Kini fakultas itu memiliki ahli-ahli asing terkemuka. Di antaranya Dr.Gamal Mokhtar, bekas Direktur Dinas Purbakala Mesir. Banyak mahasiswanya dikirim ke luar negeri untuk mengikuti latihan lanjutan. Berbeda dengan Iran, Irak, Mesir dan Yordania yang sebenarnya memiliki banyak kader arkeologi, Saudi memang masih miskin tenaga terlatih. Profesor Ansari sendiri memimpin penggalian di lokasi arkeologi yang paling penting sekarang ini--di kota dagang purba, Fao. Kota itu ditemukan di bawah bukit pasir--di tepi tebing curam Tanah Kosong. Bekerja di tengah suhu yang hampir tak tertahankan, Profesor Ansari dan mahasiswanya sudah berhasil menemukan pasar kota tersebut. Usaha selanjutnya ialah mencari daerah pemukiman. Kota Fao berkembang sejak abad ke-2 SM hingga abad ke-4 M. Boleh jadi Fao ibukota kerajaan purba Arab Selatan, Kindah. Kindah sendiri tetap terkenal sampai zaman Islam. Dari sinilah misalnya lahir satu-satunya filosof yang murni Arab dan yang pertama dalam Islam, Al-Kindi. Profesor Ansari juga sudah menemukan ribuan artefak, termasuk keramik Romawi, patung dada alabaster bergaya Hellenik dan satu inskripsi di situ. Yang terakhir ini menyebutkan bahwa wilayah itu bekas persinggahan utama kafilah yang mensuplai Imperium Romawi dengan rempah dan wangi-wangian. Banyak ahli mengharap, studi sistematik dan terarah Arab Saudi ini akan mengisi kekosongan sejarah Arab pra-Islam--yang biasanya hanya dimulai secara jelas dari "beberapa saat" sebelum abad kelahiran Nabi Muhammad. Juga akan menjawab banyak pertanyaan. Misalnya: bagaimana sebenarnya proses perubahan iklim di sini--sehingga tanah subur yang pernah dihuni singa, menjangan dan manusia zaman batu ini kok lalu jadi samudra pasir kering kerontang. Sejauh mana Arab berfungsi sebagai jembatan pengaruh Mesopotamia yang tampak pada kebangkitan dinasti Mesir selama millenium keempat SM. Mengapa pula jumlah- penduduk lebih banyak pada tahun 2000 SM ketimbang pada saat kelahiran Nabi Isa. Dan siapa sesungguhnya nenek moyang orang Badui? Bagaimana hubungan Arab dengan negeri-negeri yang disebut dalam Taurat? Begitu banyak lokasi arkeologi, hingga para ahli bingung dari mana harus mulai. Di pantai timur, dekat Dhahran sekarang, terdapat Pulau Tarut -- pelabuhan dagang penting pertama pada millenium ketiga. Seribu tahun kemudian, berkat invasi Yunani, Tarut berjaya kembali. Terdapat pula persimpangan perjalanan dagang melalui darat di Thaj, Najran, Madain Salih, dan di dataran tinggi Ophir, "tempat emas ditambang untuk Nabi Sulaiman." Tak syak lagi, suatu ketika para arkeolog bakal menemukan Gerrah--kota dongeng yang hilang, pelabuhan pantai timur yang dibangun demi perdagangan dengan Yunani. Menurut para ahli ilmu bumi Yunani dari abad ke-2 SM, kota ini ditempati rumah-rumah dengan "pintu, dinding dan atap berhiaskan ukiran gading, emas, perak dan batu mulia." Lokasi di barat laut saja menyajikan sejarah Arab dalam.satu millenium. Di situ terdapat reruntuhan waduk Qasrul Bint dari zaman Nabi Muhammad, yang algunaKan orang Arab menampung air hujan yang sangat befiharga. Ada kota dagang purba yang bernama Dedan--yang menguasai lalu lintas rempah dari Arab Selatan ke Laut Tengah, sekitar tahun 1000 SM. Kota ini punya hubungan erat dengan Kerajaan Saba dari Ratu Bilqis dan Kerajaan Mina di selatan yang masyhur oleh wangi-wangian. Dedan kelak jatuh ke dalam dominasi kaum Nabatea yang berpusat di utara--di Kota Petra, Yordania. Serambi cadas perkasa yang menaungi pemandangan ke reruntuhan Dedan yang terbungkus pasir itu, bagai bukti dramatik peradaban Dedan. Di sana, di balik batu kemerahan, bersemayamlah makam yang dikawal dua patung singa. Profesor Ansari segera akan melakukan penggalian tepat di depan makam tersebut. Taima, pusat perdagangan Madyan purba di Saudi Barat Laut, masih didiami sampai sekarang. Inilah Madyan yang disebut dalam Al Quran, wilayah Nabi Syu'aib yang menjalin kisah dengan Musa. Sebagian penduduknya hidup di sekitar tembok batu berusia 3000 tahun, terentang empat mil membelah gurun. Para arkeolog sudah lama tertarik pada Taima. Kota ini di belakang hari menjadi pusat penyembahan bulan-dan tanah air kedua Nabonidus, raja terakhir Babilonia, yang menjadikannya markas besar selama sepuluh tahun sejak 550 SM. Menurut sebuah inskripsi kontemporer, dialah yang menjadikan Taima megah dan mendirikan sebuah bangunan "seperti istana Babilonia". Istana itu mungkin terpendam di bawah kota modern yang sekarang. Masih merupakan teka-teki mengapa raja itu meninggalkan Babilonia. Untuk Dr. Masri, pekerjaan menggali Taima bukan perkara gampang. Hampir tiap hari penduduk yang berang mengirim telegram kepada Raja Khalid, mengadukan nasib mereka yang mungkin tergusur. "Taima membuat kami naik pitam," kata sang doktor. "Kota ini dilanda urbanisasi. Kami kehabisan akal untuk meyakinkan betapa pentingnya penggalian." Tapi masalah hak milik bukan hambatan satu-satunya. Penggalian di daerah Madyan di barat laut Arab hampir pasti membuktikan sangkutpaut yang erat dengan bangsa Yahudi zaman perunggu dan masa-masa yang disebut dalam Taurat. Para ahli asing mengira, masalah ini bisa menambah ketegangan politik dengan Israel. Bagi Profesor Ansari sendiri, tampaknya tak ada batas untuk pekerjaan penyelidikan. "Kami tak bisa membantah bahwa orang Yahudi pernah bermukim di tanah Arab," katanya. "Al Quran sendiri berbicara mengenai orang Yahudi di Madinah. Kami tidak berkongkalikong dengan sejarah. History is history." "Memang terdapat kekeliruan di Barat," sahut Dr. Masri. "Islam sebenarnya selalu memelopori penyelidikan. Bila dulu arkeologi terisolasi di sini, hambatannya sebetulnya politis dan historis--bukan religius." Ahli Barat sendiri banyak yang menyadari, Islam sebenarnya lebih terbuka terhadap penyelidikan ilmiah. Ini pernah dikemukakan antara lain oleh Prof. Robert Mc. Adams dari Institut Ketimuran Universitas Chicago. Pernah ikut memimpin survei lapangan ada 1976-1977, ia mengaku "menemukan keterbukaan Islam terhadap perubahan penjelasan sejarah." Di negeri-negeri Islam umumnya, profesor itu katanya tak melihat sikap yang memusuhi ilmu--seperti yang tampak pada beberapa kelompok Kristen fundamentalis di Amerika Serikat umpamanya. MESKI demikian, kaum Wahhabi yang teguh itu V-- tak begitu saja bisa diajak menerima perubahan, bila itu berarti teknologi Barat "dengan segala eksesnya". Ini membuat para arkeolog asing bekerja dengan penuh pertimbangan. Dr. Masri sendiri, dan rekan-rekannya, melihat pekerjaan yang dibebankan pada pundak mereka sebagai suatu misi. "Kami memiliki penduduk yang sebagian besar tidak terlatih, dan umumnya tidak akrab dengan teknologi," katanya. "Museum yangakan kami bangun bakal mengisi kekosongan akan penetahuan populer dan membantu mereka membentuk gagasan tertentu." Ia banyak mengirim tenaga muda Saudi berlatih di luar negeri. Di antara mereka sudah ada yang kembali. Sementara itu Masri juga 'mengimpor' berbagai tim survei yang dikepalai ahli-ahli Timur Tengah terkemuka. Misalnya Peter Parr dari Universitas London, Karl Lamberg-Karlovsky dari Harvard, Juris Zarins dari Universitas Missouri Barat Daya. Para tokoh ini memuji Masri yang membuka seluruh anak benua itu bagi jamahan tangan para ilmuwan, lengkap dengan usaha pelacakan dengan radio-aktif dan analisa kimiawi pada hasil penggalian. Tapi justru karena seriusnya proyek tersebut, di antara mereka juga tumbuh semacam kesangsian: apakah Saudi benar-benar siap untuk penyelidikan yang sungguh luas dan menuntut spesialisasi tinggi itu. Negeri ini adalah 'pendatang baru' dalam disiplin ilmu jenis ini. Sedang sebagian besar mahasiswa berotak cemerlang, kenyataannya tetap memilih karir bisnis dan industri minyak. Universitas Minyak dan Mineral di Dhahran misalnya tergolong yang maju di dunia. Meski banyak anak muda sedang men jalani latihan kilat dalam arkeologi, Dr. Masri sendiri masih bekerja dengan staf yang tak terlatih--dan tak sepadan dengan aspirasi yang ingin I mereka penuhi. Ini kata Profesor Adams dari Universitas Chicago. Profesor Adams sendiri, beserta timnya, tak melanjutkan penyelidikan mereka di Saudi. Soalnya, katanya, tak ada kepastian tentang pengawasan proyek. Di samping itu tradisi Saudi tak mengizinkan mahasiswaputri ikut bekerja di lapangan--bertentangan dengan kebijaksanaan Universitas Chicago yang melepas mereka. Banyak pula anggota tim mengeluh menghadapi birokrasi di negeri ini-yang konon lebih ruwet ketimbang di Oman, Bahrain, Irak dan negeri-negeri berdekatan. Tak semua ahli pula senang dengan ketatnya usaha Dr. Masri mengontrol publikasi hasil penggalian. Sebagian lagi tak sabar melihat langkah Masri yang "lamban", yang lebih dulu menyelidiki segala sesuatu sebelum bertindak. Tapi sang doktor mantap. "Kami mulai dengan tabula rasa," ujarnya. "Kami tidak tahu apaapa mengenai tanah air ini. Begitu banyak lokasi menarik yang didongengkan rakyat. Maka kami harus mempertimbangkan segala hal sebelum mulai menggali." Mungkin juga ada alasan lain. Semacam hasrat untuk lebih dulu mencetak kader Saudi sendiri. "Sungguh tak sedap, melihat warisan budaya nenek moyang kami ditangani sepenuhnya oleh orang-orang asing," ujar Masri lalu. Sesungguhnya tak ada ironi dalam pernyataan tersebut. Sampai sekarang, orang-orang asinglah yang paling berminat terhadap pusak yang terpendam di padang gurun itu. Adalah para pekerja Arabian American Oil Company (Aramco) yang menemukan--puluhan tahun lalu--bahwa pantai sepanjang Teluk Persia, di sekitar ladangladang minyak, sebenarnya penuh dengan guci, mata panah dan patungpatung kecil. Lantaran iseng di akhir minggu, lagi pula tak ada hiburan, orang Amerika itu pada menggali pasir. Beberapa di antara amatir ini kemudian sadar betul akan kegiatan tersebut. Terutama Marny Golding, istri seorang insinyur Arnerika dan satu di antara beberapa arkeolog amatir yang mendapat penghargaan para profesional. Pada medio 1960-an Ny. Golding sadar: keramik dengan hiasan garis cokelat, zigzag dan melingkar yang baru digalinya itu, bukan berasal dari kebudayaan Islam yang baru. Melainkan sangat mirip keramik purba'Ubaid --yang dipercaya berasal dari Irak, Iran dan Suriah. Mula-mula para profesional menyatakan pendapatnya keliru. Tapi, nah--Dr. Masri tertarik. Pada awal 1970-an, sang nyonya dimintanya menunjukkan lokasi penggaliannya. Peristiwa inilah yang kemudian mengawali ekspedisi di Teluk Persia. Namun Aramco kena getahnya. Menurut taksiran Dr. Masri, para penggali amatir--karyawan Aramco-sudah menggunduli lebih separuh lokasi Provinsi Timur. Padahal inilah kawasan arkeologi terpenting di seantero Kerajaan. Pemerintah Saudi lalu menjadi sangat peka menghadapi perusahaan tersebut--plus setiap orang asing yang menggali peninggalan budaya mereka. Harap diingat sekali lagi, di masa-masa kemarin bukan main banyaknya barang purbakala kita yang digali para sarjana Barat dan langsung diangkut ke negeri para penjajah itu--dan itulah yan kini muncul di berbagai museum Eropa dan Amerika. Hanya memang agak janggal, bila beberapa tahun lalu pemerintah Saudi sampai-sampa.i melarang sebuah tim survei arkeologi Amerika menggunakan peta pemotretan udara buatanAramco. Tim itu sendiri bekerja berdasar kontrak dengan Dr. Masri. Peta pemotretan udara tersebut dibuat untuk eksplorasi minyak, namun penting pula bantuannya bagi kerja penggalian. Banyak anggota tim mengeluh oleh kejadian ini. Salah seorang berkata, "kami tidak mendapat fasilitas yang diperlukan untuk pekerjaan yang baik. Sedang di Irak, tempat kami dituduh mata-mata, kami toh dibekali peta udara." "Hampir dapat dipastikan, para arkeolog yang sedang bekerja di Semenanjung Arab akan terlibat lebih banyak kesulitan di masa depan," kata Robert Reinhold lalu. Pengungkapan misteri purba, menurut dugaannya, tak selamanya serasi dengan agama yang sudah mapan. Atau mungkin akan keliru. Sebab sudah terbukti bahwa faktor-faktor politik, adat-istiadat dan karakter orang setempatlah yang lebih menentukan. Tapi memang usaha ilmiah ini bisa saja dibayangkan berhenti bila faktor-faktor tersebut makin mengeras. Seratus tahun lalu, teori Darwin dianggap merongrong dasar-dasar iman kekristenan. Meski badainya sudah teduh, sampai sekarang riaknya masih terasa. Kini Islam bagai sedang menghadapi batu ujian. Para ahli Saudi sendiri berharap, hasil penggalian yang mengungkapkan kekayaan dan kebanggaan tradisi ini bukannya akari merongrong Islam, melainkan justru semakin mengagungkan. Hanya sedikit sarjana Barat yang bisa paham tentang ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus