SAMUDRA pasir itu tiba-tiba menyajikan pemandangan yang tidak
lazim. Mencuat dari perut bumi, tampaklah seonggok bangunan batu
-- raksasa dan anggun perkasa.
Itulah serambi makam peninggalan kaum Nabatez, dari zaman
pra-Islam yang makmur --tatkala bangsa ini mengekspor rempah dan
dupa ke Roma, dari tahun 150 SM hingga sekitar 100 M. Bergaya
Hellenis, dengan pintu-pintu berbingkai tiang berukir,
bertatahkan hiasan triglyph, rosette, pilaster, rajawali dan
tempayan. Puncak makam itu sendiritak pernah ditimbun pasir.
Tapi gerbangnya terpendam hingga abad ke-19, tatkala para
petualang Barat mulai menggali dan menemukan inskripsi di dasar
monumen.
Arab Saudi kini memang tak hanya sibuk mengeduk minyak.
Melainkan juga menggali masa lampaunya. "Sampai sekitar tahun
7000 SM, pedalaman negeri ini ternyata merupakan kawasan subur
dengan danau dan padang rumput, tempat menjangan dan badak
sungai berkeliaran dengan damai," ujar Abdullah H. Masri.
Berusia 34 tahun, doktor antropologi lulusan Universitas Chicago
ini sedang memimpin proyek yang akan menyingkapkan sejarah
bangsanya jauh ke belakang. Kesibukan memang segera terlihat di
samudra pasir yang hernama Madain Salih itu--15 mil dari kota
oasis Al 'Ala, di barat laut Saudi. Ini adalah wilayah yang,
sebelum zaman Nabatea, diduga merupakan daerah Nabi Salih
pengganti Nabi Hud --yang berdiam di tengah kaum Tsamud
(Tamudea) sesudah kehancuran bangsa 'Ad.
Banyak pengunjung asing, di antaranya para arkeolog, sudah
melihat runtuhan ini. Dua ribuan peninggalan lain yang terserak
di seantero kawasan kerajaan gurun yang luas. Semuanya sisasisa
peradaban pra-Islam yang jaya, yang kemudian hancur dan
terhampar begitu saja sepanjang padang dan perbukitan sahara.
Persis seperti yang disebut dalam Al Quran: "Betapa banyaknya
Kami hancutkan negeri yang makmur kehidupannya itulah
bekas-bekas tempat tinggal mereka, tak lagi dihuni di belakang
hari kecuali sedikit" (Q. 28 : 58).
Namun hingga belum lama berselang, wilayah ini tinggal kosong
dalam peta arkeologi dunia. Ia bagai dikucilkan oleh iklim yang
tidak ramah plus berbagai persoalan agama dan politik.
Para ulama dan pemimpin agama yang berpengaruh, anehnya dalam
kenyataan tak begitu suka berbicara mengenai zaman
jahiliah--justru bila zaman itu menyimpan peradaban yang
mengesankan. Duabelas tahun lalu, pemerintah Saudi sendiri
melarang semua penggalian budaya pra-Islam itu --demi memberi
imbalan pada kesediaan para ulama menerima modernisasi industri.
Tapi kini, seraya melangkah dalam gemuruh abad ke-20, kerajaan
yang bersimbah minyak dan duit itu mencoba menemukan kebanggaan
masa silamnya.
Jutaan dollar dicadangkan untuk eksplorasi ratusan obyek
arkeologi-termasuk survei sistematik atas reruntuhan seperti
yang terdapat di Madain Salih. Dalam skala menyeluruh, usaha ini
dipusatkan pada penggalian, pencagarbudayaan dan peragaan relik
yang menyangkut sejarah Saudi--baik pada zaman purba maupun
Islam.
AGAKNYA juga terdapat hasrat lain di balik kesibukan ini. Boleh
jadi untuk membantah pandangan yang "populer" di Barat, bahwa
orang Arab hanyalah saudagar minyak pemboros dan keturunan
bangsa pengembara yang tidak punya akar' kebudayaan--kata Robert
Reinhold, reporter ilmu pada biro Washington The New York Times.
Dalam hubungan ini pun pekerjaan Dr. Masri dan rekan-rekannya
menjadi penting.
Lahir di Mekah, dan bersekolah di Amerika, Masri menggunakan
teknik arkeologi Barat untuk menjangkau secara riil masa lampau
negerinya yang belurn terjamah--serangkaian kurun yang selama
ini lebih banyak diketahui hanya melalui bacaan baik keagamaan
maupun sekular.
Kini, berbagai tim arkeologi Saudi, Amerika dan Inggris sedang
mengendus di seluruh negeri. Mereka terlibat dalam persiapan
untuk menyongsong apa yang oleh sementara ahli Amerika dinamakan
"ekspedisi arkeologi terbesar sejak Napoleon tiba di Mesir."
Toh perbandingan tersebut sebenarnya tak sepenuhnya tepat.
"Kesibukan yang kini berlangsung di negeri-negeri Timur Tengah
yang (baru) kaya, tak bisa disamakan dengan yang terjadi pada
zaman para arkeolog Barat memimpin penggalian di Mesir, Turki
dan negeri kuna lainnya," kata Robert Reinhold. Dulu, tak
sedikit harta karun itu diangkut para penggalinya--untuk
kemudian ditemukan terpajang di berbagai museum di Paris,
London, New York. Kini Saudi sendiri membiayai dan mengawasi
dengan ketat jalannya penelusuran.
Bahkan dalam waktu bersamaan, para sultan dan amir berbagai
negeri minyak di sekitar Teluk Persia terangsang pula untuk
mengail masa lampau mereka yang selama ini tetap tersimpan.
Mereka seakan berlomba mendatangkan ahli asing, membangun museum
dan menggali monumen, di samping memugar benteng, waduk dan
masjid.
Sebagian penguasa memang benarbenar berminat terhadap sejarah
purba tanah air mereka. Sebagian lagi mencoba mencari lambang
yang bisa mempersatukan, di kawasan yang untuk waktu panjang
dikuasai suku dan puak yang terpisah-pisah dan masing-masing
memerintah diri sendiri itu. Ada pula yang mencari akar kuno
untuk mengesahkan rezim yang tengah berkuasa.
Sultan Oman, misalnya, November tahun lalu mengundang selusin
sarjana asing menghadiri sebuah semirar mengenai sejarah Arab,
yang diselenggarakan merayakan 10 tahun pemerintahannya. Semua
mereka dibayar mahal.
Qatar membangun museum yang luar biasa--dalam satu kompleks luas
yang mencakup sebuah istana kuna dan danau buatan, tempat
menambatkan empat sekunar Arab. Museum itu dirancang Michael
Rice & Company, konsultan Museum London yang juga mendisain
museum nasional di Oman dan Riyadh, ibukota Saudi. Sementara itu
para arkeolog sedang menggali-gali pasir pula di Kuwait, Abu
Dhabi, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, bahkan Yaman Selatan yang
marxis.
Para arkeolog Barat memang menyambut hangat usaha ini. Apalagi
sejak para ahli tersebut tak diperkenankan lagi mengunjungi
"padang perburuan" arkeologi mereka di Iran, Irak dan Suriah.
Namun tak selamanya anak negeri setempat memberi dukungan
positif.
Di kantornya yang sibuk, di lantai atas Museum Nasional
Arkeologi dan Etnografi Arab Saudi, Abdullah Masri dibantu 120
orang staf multinasional. Wajahnya yang kekanak-kanakan
ditudungi koffiyeh. Menjabat Direktur Dinas Purbakala dan
Museum, keprib.adiannya bagai bergayut antara citra aristrokrasi
Arab dan hasil tempaan pendidikan Barat.
Ia mungkin lambang yang tepat untuk kontradiksi sosial dan
intelektual masyarakat muslim ortodoks-yang dahaga akan
pengetahuan dan teknik Barat tanpa mau kehilangan nilai-nilai
asli yang sudah bertahan berabad-abad. "Sejak 1975, dialah
katalisator utama Arab Saudi dalam mencari warisan purbakala,"
kata Reinhold.
Sebuah dewan yang dibentuk tak lain oleh almarhum Raja Faisal
yang saleh itu, memberikan kekuasaan yang besar kepadanya. Ia
berhak menyetop sebuah proyek industri, misalnya, bila proyek
tersebut dikhawatirkan akan merugikan penggalian arkeologi. Juga
untuk itu kalau perlu boleh menggusur penduduk. Dewan itu
sendiri berhak menuntut hukuman penjara dan denda bagi siapa
saja yang merusak atau mencuri relik.
Di antara negeri yang sedang berkiprah menggali masa silam, Arab
Saudi memang yang paling berambisi, paling rapi organisasinya di
samping paling berduit. Berbagai museum segera berdiri di
kota-kota utama negeri ini --termasuk museum nasional yang baru
di tanah 100 ha, tepat di jantung Kota Riyadh.
Sebaliknya, juga usaha arkeologikal Saudi yang paling tidak bisa
melepaskan diri dari pelbagai masalah politikdan tradisi
keagamaan. Patut diingat, sampai 1950 kerajaan ini hanya
memiliki tak lebih dari 50 mil jalan beraspal. Kini pesawat jet,
simpang-siur di angkasa. Busana Paris terbaru bisa dibeli di
Riyadh atau Jeddah. Modernisasi kilat yang melanda cara hidup
berabad-abad ini bagaimanapun mengguncangkan susunan masyarakat
tanah kelahiran Islam itu.
Karena itu Dr. Masri dan' rekan-rekannya, termasuk Menteri
Pendidikan Dr. Abdul Aziz al-Khuwaitir, bagai berjalan meniti
tali. Di satu pihak mereka berhadapan dengan semangat
pembangunan yang, tidak urung, ingin mengeduk masa lampau
lengkap dengan keagungannya. Di pihak lain berdir/semangat
agama yang terheran-heran memandang modernisasi dan usaha
menggali sejarah purba yang, menurut mereka, barbar alias
jahili.
Tapi, sebenarnya, "segalanya berubah," seperti kata Ali Ibrahim
Hamid, mahasiswa arkeologi Universitas Riyadh berusia 22 tahun.
"Al Quran banyak menyebut kebudayaan kuna," katanya. Bukan hanya
'Ad dan Tsamud, tapi juga misalnya Saba, Iram, secara
samar-samar Himyar dan Ma'rib, di samping seperti Sodom dan
Gomorrah yang juga disebut dalam Bibel.
Karena itu, "kami harus menyimak sejarah ini untuk mengenal
kehidupan nenek moyang. Para arkeolog Barat telah memberikan
kesan keliru mengenai bangsa kami. Kami ingin melakukan koreksi.
Kami ingin menulis sejarah kami sendiri."
Maka bukan kebetulan, sementara mempersiapkan penggalian di
Taima --lokasi arkeologi yang paling diharapkan di seluruh
Saudi--Dinas Purbakala dan Museum juga memugar kota tua
Dar'iyah, sebuah oasis 15 mil dari Riyadh, pusat gerakan Wahhabi
pada abad ke-18. Inilah kota bersejarah yang penuh riwayat
periuangan kaurn puritan, tulang punggung ideologi Saudi sampai
kini.
Pemerintah juga akan memugar, misalnya, Istana Murabba' Istana
Persegi) di pusat Kota Riyadh, kediaman almarhum Raja Abdul Aziz
ibn AbdurRahman al-Faisal As-Sa'ud, ayah Raja Khalid, Pangeran
Fahd dan almarhum Raja Faisal--pendiri Saudi modern. Begitu pula
sisa-sisa Darb Zubaidah, persinggahan dan suplaier air sejak
1000 tahun lalu bagi jamaah haji antara Baghdad dan Mekah.
Penggalian yang dipimpin Dr. Masri memang belum berusia panjang.
Tapi bukti yang muncul begitu banyak. Paling tidak sudah bisa
diungkapkan, negeri ini ternyata jauh dari anggapan klise yang
mengiranya tak lebih dari sekedar sebuah wilayah tandus.
Dijepit Lembah Nil dan Eufrat, Semenanjung Arab terkait erat
pada tanah air dua peradaban besar: Mesir dan Mesopotamia. Kini
terbukti, pantai timur semenanjung ini sudah padat didiami
manusia neolitik--sejak 5000 SM.
Pada medio 1970-an, misalnya, Dr.Masri mengguncangkan para ahli
Timur Tengah dengan sebuah penemuan. Di tiga tempat--Ain Qannas,
Dausariyah dan Abu Khamis, di Teluk Persia--penggalian
mengisyaratkan kehidupan yang lebih kompleks dari yang pernah
dibayangkan di situ.
Penduduk purba lokasi ini adalah petani. Mereka membangun rumah
dari plester kapur dan gelagah. Mengandangkan domba dan kambing.
Dantampaknya pandai pula memancing di laut.
Di lokasi itu juga ditemukan keramik--dibuat ratusan mil di
utara, di ,tempat yang kemudian bernama Irak. Kenyataan ini
membawa para ahli pada kesimpulan: penduduk purba itu juga para
saudagar antarnegeri--yang menjalin hubungan dagang erat dengan
orang Mesopotamia.
"Tak perlu disangsikan, Arab Saudi sudah tercatat dalam peta
bumi yang didiami sejak 7000 tahun lampau," ujar Masri. "Dengan
sistem pengolahan tanah, pengandangan lembu, domba dan kambing.
Ternyata kami mempunyai kebudayaan pemukiman--di tanah yang
penduduknya selalu dihubungkan dengan kebiasaan kaum nomad."
ARA arkeolog meramalkan, penggalian di masa depan akan
membuktikan betapa orang Arab purba terpengaruh dan mempengaruhi
peradaban besar yang terdapat di Mesir, Mesopotamia, Lembah
Indus an Bulan Sabit--yang terbentang antara Teluk Persia dan
Teluk 'Aqabah. Berabad-abad mcreka menguasai lalulintas
perdagangan rempah dan wangi-wangian, yang di masa itu sama
pentingnya dengan minyak sekarang ini.
Ada pula dugaan, jutaan tahun lalu semenanjung itu berfungsi
sebagai jembatan antara Asia dan Afrika Timur--bagi makhluk yang
kemudian berkembang menjadi Homo erectus. Konon pada suatu masa
para pemburu Paleolitik berkeliaran melintasi Rub'ul
Khali--'Tanah Kosong' di selatan Saud, kawasan yang kini
demikian tandus dan kerontang hingga nyaris tak menjamin syarat
kehidupan.
Pada zaman ketika hujan berhenti turun, dan danau-danau
mengering, para pemburu malang itu pun hijrah ke utara--mencari
air dan makanan. Akhirnya mencapai pantai Teluk Persia, tempat
yang kini dikenal sebagai provinsi timur Saudi yang kaya minyak.
Di sinilah, jauh di bawah pasir, Masri dan rombohgannya
menemukan isyarat peradaban dari 7000 tahun silam. Berbagai
perkakas batu yang indah, mangkuk, cawan dan jambangan dari
lempung berwarna kuning kehijauhijauan, berhiaskan ukiran merah
kecokelatan. Itulah ciri keramik daerah 'Ubaid di Irak, tanah
air nenek moyang bangsa Sumeria yang menciptakan tulisan pertama
dan peradaban yang sesungguhnya di dunia!
Penemuan seperti itu sangat merangsang kaum muda Saudi. Fakultas
Arkeologi Universitas Riyadh sendiri kini memiliki 300
mahasiswa--dengan anggaran tahunan $330 ribu untuk usaha
penggalian. Dan ini termasuk perkembangan luar biasa. Apalagi
bila diingat, Prof. Abdur Rahman al-Ansari yang mengepalai
fakultas tersebut tahun 1966 masih dicela mahasiswa dan para
pemimpin agama--lantaran mendirikan Lembaga Arkeologi dan
Sejarah Arab Saudi. Setidaknya karena menurut mereka, sia-sia.
Kini fakultas itu memiliki ahli-ahli asing terkemuka. Di
antaranya Dr.Gamal Mokhtar, bekas Direktur Dinas Purbakala
Mesir. Banyak mahasiswanya dikirim ke luar negeri untuk
mengikuti latihan lanjutan. Berbeda dengan Iran, Irak, Mesir dan
Yordania yang sebenarnya memiliki banyak kader arkeologi, Saudi
memang masih miskin tenaga terlatih.
Profesor Ansari sendiri memimpin penggalian di lokasi arkeologi
yang paling penting sekarang ini--di kota dagang purba, Fao.
Kota itu ditemukan di bawah bukit pasir--di tepi tebing curam
Tanah Kosong. Bekerja di tengah suhu yang hampir tak
tertahankan, Profesor Ansari dan mahasiswanya sudah berhasil
menemukan pasar kota tersebut. Usaha selanjutnya ialah mencari
daerah pemukiman.
Kota Fao berkembang sejak abad ke-2 SM hingga abad ke-4 M. Boleh
jadi Fao ibukota kerajaan purba Arab Selatan, Kindah. Kindah
sendiri tetap terkenal sampai zaman Islam. Dari sinilah misalnya
lahir satu-satunya filosof yang murni Arab dan yang pertama
dalam Islam, Al-Kindi.
Profesor Ansari juga sudah menemukan ribuan artefak, termasuk
keramik Romawi, patung dada alabaster bergaya Hellenik dan satu
inskripsi di situ. Yang terakhir ini menyebutkan bahwa wilayah
itu bekas persinggahan utama kafilah yang mensuplai Imperium
Romawi dengan rempah dan wangi-wangian.
Banyak ahli mengharap, studi sistematik dan terarah Arab Saudi
ini akan mengisi kekosongan sejarah Arab pra-Islam--yang
biasanya hanya dimulai secara jelas dari "beberapa saat" sebelum
abad kelahiran Nabi Muhammad. Juga akan menjawab banyak
pertanyaan. Misalnya: bagaimana sebenarnya proses perubahan
iklim di sini--sehingga tanah subur yang pernah dihuni singa,
menjangan dan manusia zaman batu ini kok lalu jadi samudra pasir
kering kerontang. Sejauh mana Arab berfungsi sebagai jembatan
pengaruh Mesopotamia yang tampak pada kebangkitan dinasti Mesir
selama millenium keempat SM. Mengapa pula jumlah- penduduk lebih
banyak pada tahun 2000 SM ketimbang pada saat kelahiran Nabi
Isa. Dan siapa sesungguhnya nenek moyang orang Badui? Bagaimana
hubungan Arab dengan negeri-negeri yang disebut dalam Taurat?
Begitu banyak lokasi arkeologi, hingga para ahli bingung dari
mana harus mulai. Di pantai timur, dekat Dhahran sekarang,
terdapat Pulau Tarut -- pelabuhan dagang penting pertama pada
millenium ketiga. Seribu tahun kemudian, berkat invasi Yunani,
Tarut berjaya kembali.
Terdapat pula persimpangan perjalanan dagang melalui darat di
Thaj, Najran, Madain Salih, dan di dataran tinggi Ophir, "tempat
emas ditambang untuk Nabi Sulaiman." Tak syak lagi, suatu ketika
para arkeolog bakal menemukan Gerrah--kota dongeng yang hilang,
pelabuhan pantai timur yang dibangun demi perdagangan dengan
Yunani. Menurut para ahli ilmu bumi Yunani dari abad ke-2 SM,
kota ini ditempati rumah-rumah dengan "pintu, dinding dan atap
berhiaskan ukiran gading, emas, perak dan batu mulia."
Lokasi di barat laut saja menyajikan sejarah Arab dalam.satu
millenium. Di situ terdapat reruntuhan waduk Qasrul Bint dari
zaman Nabi Muhammad, yang algunaKan orang Arab menampung air
hujan yang sangat befiharga. Ada kota dagang purba yang bernama
Dedan--yang menguasai lalu lintas rempah dari Arab Selatan ke
Laut Tengah, sekitar tahun 1000 SM. Kota ini punya hubungan erat
dengan Kerajaan Saba dari Ratu Bilqis dan Kerajaan Mina di
selatan yang masyhur oleh wangi-wangian.
Dedan kelak jatuh ke dalam dominasi kaum Nabatea yang berpusat
di utara--di Kota Petra, Yordania. Serambi cadas perkasa yang
menaungi pemandangan ke reruntuhan Dedan yang terbungkus pasir
itu, bagai bukti dramatik peradaban Dedan. Di sana, di balik
batu kemerahan, bersemayamlah makam yang dikawal dua patung
singa. Profesor Ansari segera akan melakukan penggalian tepat di
depan makam tersebut.
Taima, pusat perdagangan Madyan purba di Saudi Barat Laut, masih
didiami sampai sekarang. Inilah Madyan yang disebut dalam Al
Quran, wilayah Nabi Syu'aib yang menjalin kisah dengan Musa.
Sebagian penduduknya hidup di sekitar tembok batu berusia 3000
tahun, terentang empat mil membelah gurun.
Para arkeolog sudah lama tertarik pada Taima. Kota ini di
belakang hari menjadi pusat penyembahan bulan-dan tanah air
kedua Nabonidus, raja terakhir Babilonia, yang menjadikannya
markas besar selama sepuluh tahun sejak 550 SM. Menurut sebuah
inskripsi kontemporer, dialah yang menjadikan Taima megah dan
mendirikan sebuah bangunan "seperti istana Babilonia". Istana
itu mungkin terpendam di bawah kota modern yang sekarang. Masih
merupakan teka-teki mengapa raja itu meninggalkan Babilonia.
Untuk Dr. Masri, pekerjaan menggali Taima bukan perkara gampang.
Hampir tiap hari penduduk yang berang mengirim telegram kepada
Raja Khalid, mengadukan nasib mereka yang mungkin tergusur.
"Taima membuat kami naik pitam," kata sang doktor. "Kota ini
dilanda urbanisasi. Kami kehabisan akal untuk meyakinkan betapa
pentingnya penggalian."
Tapi masalah hak milik bukan hambatan satu-satunya. Penggalian
di daerah Madyan di barat laut Arab hampir pasti membuktikan
sangkutpaut yang erat dengan bangsa Yahudi zaman perunggu dan
masa-masa yang disebut dalam Taurat. Para ahli asing mengira,
masalah ini bisa menambah ketegangan politik dengan Israel.
Bagi Profesor Ansari sendiri, tampaknya tak ada batas untuk
pekerjaan penyelidikan. "Kami tak bisa membantah bahwa orang
Yahudi pernah bermukim di tanah Arab," katanya. "Al Quran
sendiri berbicara mengenai orang Yahudi di Madinah. Kami tidak
berkongkalikong dengan sejarah. History is history."
"Memang terdapat kekeliruan di Barat," sahut Dr. Masri. "Islam
sebenarnya selalu memelopori penyelidikan. Bila dulu arkeologi
terisolasi di sini, hambatannya sebetulnya politis dan
historis--bukan religius."
Ahli Barat sendiri banyak yang menyadari, Islam sebenarnya lebih
terbuka terhadap penyelidikan ilmiah. Ini pernah dikemukakan
antara lain oleh Prof. Robert Mc. Adams dari Institut Ketimuran
Universitas Chicago. Pernah ikut memimpin survei lapangan ada
1976-1977, ia mengaku "menemukan keterbukaan Islam terhadap
perubahan penjelasan sejarah."
Di negeri-negeri Islam umumnya, profesor itu katanya tak melihat
sikap yang memusuhi ilmu--seperti yang tampak pada beberapa
kelompok Kristen fundamentalis di Amerika Serikat umpamanya.
MESKI demikian, kaum Wahhabi yang teguh itu V-- tak begitu saja
bisa diajak menerima perubahan, bila itu berarti teknologi Barat
"dengan segala eksesnya". Ini membuat para arkeolog asing
bekerja dengan penuh pertimbangan.
Dr. Masri sendiri, dan rekan-rekannya, melihat pekerjaan yang
dibebankan pada pundak mereka sebagai suatu misi. "Kami memiliki
penduduk yang sebagian besar tidak terlatih, dan umumnya tidak
akrab dengan teknologi," katanya. "Museum yangakan kami bangun
bakal mengisi kekosongan akan penetahuan populer dan membantu
mereka membentuk gagasan tertentu." Ia banyak mengirim tenaga
muda Saudi berlatih di luar negeri. Di antara mereka sudah ada
yang kembali.
Sementara itu Masri juga 'mengimpor' berbagai tim survei yang
dikepalai ahli-ahli Timur Tengah terkemuka. Misalnya Peter Parr
dari Universitas London, Karl Lamberg-Karlovsky dari Harvard,
Juris Zarins dari Universitas Missouri Barat Daya. Para tokoh
ini memuji Masri yang membuka seluruh anak benua itu bagi
jamahan tangan para ilmuwan, lengkap dengan usaha pelacakan
dengan radio-aktif dan analisa kimiawi pada hasil penggalian.
Tapi justru karena seriusnya proyek tersebut, di antara mereka
juga tumbuh semacam kesangsian: apakah Saudi benar-benar siap
untuk penyelidikan yang sungguh luas dan menuntut spesialisasi
tinggi itu. Negeri ini adalah 'pendatang baru' dalam disiplin
ilmu jenis ini. Sedang sebagian besar mahasiswa berotak
cemerlang, kenyataannya tetap memilih karir bisnis dan industri
minyak. Universitas Minyak dan Mineral di Dhahran misalnya
tergolong yang maju di dunia.
Meski banyak anak muda sedang men jalani latihan kilat dalam
arkeologi, Dr. Masri sendiri masih bekerja dengan staf yang tak
terlatih--dan tak sepadan dengan aspirasi yang ingin I mereka
penuhi. Ini kata Profesor Adams dari Universitas Chicago.
Profesor Adams sendiri, beserta timnya, tak melanjutkan
penyelidikan mereka di Saudi. Soalnya, katanya, tak ada
kepastian tentang pengawasan proyek. Di samping itu tradisi
Saudi tak mengizinkan mahasiswaputri ikut bekerja di
lapangan--bertentangan dengan kebijaksanaan Universitas Chicago
yang melepas mereka.
Banyak pula anggota tim mengeluh menghadapi birokrasi di negeri
ini-yang konon lebih ruwet ketimbang di Oman, Bahrain, Irak dan
negeri-negeri berdekatan. Tak semua ahli pula senang dengan
ketatnya usaha Dr. Masri mengontrol publikasi hasil penggalian.
Sebagian lagi tak sabar melihat langkah Masri yang "lamban",
yang lebih dulu menyelidiki segala sesuatu sebelum bertindak.
Tapi sang doktor mantap. "Kami mulai dengan tabula rasa,"
ujarnya. "Kami tidak tahu apaapa mengenai tanah air ini. Begitu
banyak lokasi menarik yang didongengkan rakyat. Maka kami harus
mempertimbangkan segala hal sebelum mulai menggali."
Mungkin juga ada alasan lain. Semacam hasrat untuk lebih dulu
mencetak kader Saudi sendiri. "Sungguh tak sedap, melihat
warisan budaya nenek moyang kami ditangani sepenuhnya oleh
orang-orang asing," ujar Masri lalu.
Sesungguhnya tak ada ironi dalam pernyataan tersebut. Sampai
sekarang, orang-orang asinglah yang paling berminat terhadap
pusak yang terpendam di padang gurun itu. Adalah para pekerja
Arabian American Oil Company (Aramco) yang menemukan--puluhan
tahun lalu--bahwa pantai sepanjang Teluk Persia, di sekitar
ladangladang minyak, sebenarnya penuh dengan guci, mata panah
dan patungpatung kecil.
Lantaran iseng di akhir minggu, lagi pula tak ada hiburan, orang
Amerika itu pada menggali pasir. Beberapa di antara amatir ini
kemudian sadar betul akan kegiatan tersebut. Terutama Marny
Golding, istri seorang insinyur Arnerika dan satu di antara
beberapa arkeolog amatir yang mendapat penghargaan para
profesional.
Pada medio 1960-an Ny. Golding sadar: keramik dengan hiasan
garis cokelat, zigzag dan melingkar yang baru digalinya itu,
bukan berasal dari kebudayaan Islam yang baru. Melainkan sangat
mirip keramik purba'Ubaid --yang dipercaya berasal dari Irak,
Iran dan Suriah.
Mula-mula para profesional menyatakan pendapatnya keliru. Tapi,
nah--Dr. Masri tertarik. Pada awal 1970-an, sang nyonya
dimintanya menunjukkan lokasi penggaliannya. Peristiwa inilah
yang kemudian mengawali ekspedisi di Teluk Persia.
Namun Aramco kena getahnya. Menurut taksiran Dr. Masri, para
penggali amatir--karyawan Aramco-sudah menggunduli lebih separuh
lokasi Provinsi Timur. Padahal inilah kawasan arkeologi
terpenting di seantero Kerajaan.
Pemerintah Saudi lalu menjadi sangat peka menghadapi perusahaan
tersebut--plus setiap orang asing yang menggali peninggalan
budaya mereka. Harap diingat sekali lagi, di masa-masa kemarin
bukan main banyaknya barang purbakala kita yang digali para
sarjana Barat dan langsung diangkut ke negeri para penjajah
itu--dan itulah yan kini muncul di berbagai museum Eropa dan
Amerika.
Hanya memang agak janggal, bila beberapa tahun lalu pemerintah
Saudi sampai-sampa.i melarang sebuah tim survei arkeologi
Amerika menggunakan peta pemotretan udara buatanAramco. Tim itu
sendiri bekerja berdasar kontrak dengan Dr. Masri.
Peta pemotretan udara tersebut dibuat untuk eksplorasi minyak,
namun penting pula bantuannya bagi kerja penggalian. Banyak
anggota tim mengeluh oleh kejadian ini. Salah seorang berkata,
"kami tidak mendapat fasilitas yang diperlukan untuk pekerjaan
yang baik. Sedang di Irak, tempat kami dituduh mata-mata, kami
toh dibekali peta udara."
"Hampir dapat dipastikan, para arkeolog yang sedang bekerja di
Semenanjung Arab akan terlibat lebih banyak kesulitan di masa
depan," kata Robert Reinhold lalu. Pengungkapan misteri purba,
menurut dugaannya, tak selamanya serasi dengan agama yang sudah
mapan.
Atau mungkin akan keliru. Sebab sudah terbukti bahwa
faktor-faktor politik, adat-istiadat dan karakter orang
setempatlah yang lebih menentukan. Tapi memang usaha ilmiah ini
bisa saja dibayangkan berhenti bila faktor-faktor tersebut makin
mengeras.
Seratus tahun lalu, teori Darwin dianggap merongrong dasar-dasar
iman kekristenan. Meski badainya sudah teduh, sampai sekarang
riaknya masih terasa.
Kini Islam bagai sedang menghadapi batu ujian. Para ahli Saudi
sendiri berharap, hasil penggalian yang mengungkapkan kekayaan
dan kebanggaan tradisi ini bukannya akari merongrong Islam,
melainkan justru semakin mengagungkan. Hanya sedikit sarjana
Barat yang bisa paham tentang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini