Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bedak seks di wajah tetangga bedak seks di wajah tetangga

Tamasya seks di muangthai ternyata menimbulkan kegegeran dimana-mana. bermacam gerakan protes muncul di jepang, eropa barat dan muangthai sendiri.

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA tidak beruntung bila tak mengunjunginya," bunyi sebuah iklan. Di sampingnya terpampang gambar seorang wanita dengan baju mandi-uap, tersenyum dengan aksi yang .... Keterangan di bawahnya: "Di Grace Hotel, si dia akan mengunjungi anda, bermalam-panjang di kamar anda. Atau barangkali anda lebih suka berkenalan dengan kawannya, dan bersama menghabiskan minggu-minggu penuh madu di Park dan Rex?" Hotel-hotel Grace, Park dan Rex - terletak di Bangkok. Namun iklan itu bukannya ditempelkan di sana. Jauh sekali: di Jepang, Jerman Barat, Negeri Belanda, Norwegia dan beberapa negara lain. Inilah bagian dari kampanye industri pariwisata Muangthai yang dikenal dengan nama -sudah menginternasional--sex tour. Setelah berbagai peninggalan sejarah, tari-tarian dan pemandangan alam habis dijual kepada kaum turis, belakangan memang muncul gagasan untuk memasukkan "industri keisengan kaum lelaki" ke dalam jaringan pariwisata. Di mana-mana di dunia ini, gejala tersebut -- seperti ada perjanjian muncul berbareng Konon sampai-sampai di negara-negara sosialis Eropa Timur. Di Eropa Barat memang sudah tak aneh. Taritarian, mulai "tari kesebelasan", "partai tunggal" sampai partai ganda", shopping ke pertokoan yang menjual "perabot-perabot aneh" dan gambar-gambar maksiat, dan tentunya anjangsana ke daerah lampu merah, masuk dalam industri itu. Yang paling belakang muncul di Eropa tawaran pemandu guide--wanita. Keanehannya terletak pada gambar kunci yang tertera pada iklan penawarannya. Entah apa maksudnya, tapi kira-kira ya ke situ-situ juga. BILA sex tour tiba-tiba terdengar muncul di Muangthai, yang aneh sebenarnya cuma istilahnya saja. Istilah itu memang lahir di sini. Adapun yang ada di belakangnya sih bukan barang baru. Namun, entah di mana kesalahan para pengusaha Muangthai menjalankan usaha ini, isu pariwisata seks ini ternyata menimbulkan kegegeran di mana-mana. Bermacam gerakan protes muncul di Jepang, Eropa Barat--dan tentu Muangthai sendiri. Jepang termasuk yang kena guncangan paling keras. Awal tahun ini, ketika Perdana Menteri Zenko Suzuki berkunjung ke Muangthai, ia dihadang sejumlah mahasiswa dan para anggota gerakan wanita. Bukan karena perdana menteri itu "kepergok". Tapi karena, menurut orang Thai, turis Jepanglah yang paling banyak jadi langganan biro-biro perjalanan yang menyelenggarakan tamasya seks ke Muangthai. Tak bisa disangkal memang, belakangan ini, di bagian mana pun di dunia, turis Jepang senantiasa bisa ditemukan. Begitu baiknya tunjangan buruh dan pekerja kelas menengah di sana, sampai-sampai lapisan ini bisa bernikmat-nikmat di luar negeri. Bukan Suzuki saja yang mendapat malu. Kaum buruh Jepang pun seperti kena tempeleng--dan sodokan ini terasa di pertemuan-pertemuan buruh internasional. Dalam forum itu delegasi Muangthai menurunkan himbauan keras pada rekan-rekannya dari Jepang -- supaya "sedikit tahu diri". Entah dengan malu atau mendongkol, Suzuki dan berbagai serikat buruh di sana lantas berusaha keras untuk mengurangi--karena tidak bisa meniadakan sama sekali--piknik gila-gilaan itu. Rupanya berhasil. Dalam beberapa bulan saja, tamasya seks seperti lenyap di Jepang. Setidak-tidaknya iklan "si dia dengan pakaian mandi uap" tak lagi bisa ditemukan di seantero Jepang. Dah yang lebih pasti adalah ini: statistik menunjukkan jumlah turis ke Muangthai turun drastis. Seperti sakit hati, banyak orang Jepang tidak tertarik untuk menengok Muangthai. Namun banyak kalangan di Jepang, terutama biro-biro perjalanan, tak mau menerima salah begitu saja. Mereka menunjuk: di Eropa demam tamasya seks Thai itu berjangkit sama kronisnya. Jadi gagasan itu bukan datangdari mereka. Betul. Di Eropa, tamasya seks ke Muangthai--di sana dikenal juga dengan Erotoers--bukan cuma dikenal, tapi juga laku keras. Dan juga bikin geger--khususnya di Negeri Belanda, sebelum geger Suzuki di Muangthai awal tahun ini. Onze Wereld, sebuah majalah kiri Belanda, pada salah satu terbitannya menurunkan laporan perjalanan ke Muangthai mengikuti sex tour. Isi laporannya sendiri tak menarik. Tahu sama tahulah: model yang begitu-begitu juga. Namun laporan itu ditambahi macam-macam bumbu yang bisa bikin orang panas. Majalah itu meneriakkan: perdagangan seks di Muangthai didirikan di atas penderitaan rakyat. Dengan mengekspos berbagai bentuk kemiskinan, Onze Wereld mencoba mengarahkan: terjadi eksploatasi manusia atas manusia di Muangthai ! Lebih dramatis lagi, majalah bulanan itu mensinyalir banyak pria Belanda sepulang tamasya membawa istri Thai. Namun setelah. beberapa bulan, menceraikannya wanita-wanita ini, setelah terlunta-lunta, kembali berpraktek sebagai pelacur di berbagai pelosok Belanda. Agitasi ini mengenai sasaran. Tamasya seks, eksploatasi manusia, termasuk penjerumusan wanitaThai ke daerah pelacuran gelap di Negeri Belanda, tiba-tiba menjadi isu yang ramai. Onze Wereld yang mendapat angin memperkeras hasutannya dengan memuat sebuah surat keluarga campuran -- suami Belanda dan istri Thai. Sang suami yang menulis surat mengisahkan, ia mengawini gadis Thai sedikit banyak karena (buset) "urusan kemanusiaan". Istrinya sampai kini masih mengirimkan uang kepada keluarganya di Muangthai, yang "digerogoti kemiskinan". Seperti di novel saja, surat itu berkisah: ayah keluarga yang ditinggalkan itu pemadat candu yang sudah dekat ajal, sedang dua anaknya pecandu morfin kelas berat.Tinggallah sang ibu yang sakit-sakitan harus menanggung azab. Entah karena Onze Wereld memang punya pengaruh, berbagai-media massa lalu ikut-ikutan memuat masalah tamasya seks. Dan geger berlanjut: Kedutaan Muangthai di Den Haag didemonstrasi sejumlah mahasiswa dan kaum feminis. Juga sejurnlah badan pemerintahan yang dianggap terkait dengan penyelenggaraan tamasya seks kebagian pernyataan protes. Ricuh ini tercatat cukup besar: terjadi bentrokan dengan polisi. KELAS dipengaruhi demonstrasi ini, tiba-tiba saja iklan-iklan tamasya seks seperti tersapu dari etalase biro perjalanan di seluruh Belanda. Menurut pengakuan di beberapa media massa, para pengusaha biro dengan sukarela menghentikan penyelenggaraan tamasya yang syur itu. "Kami bukan orang suci," kata Sandbergen, pemimpin Holland International, jaringan biro perjalanan terbesar di Negeri Belanda. "Jadi seperti membenamkan kepala ke lumpur umpama Hl tidak menyelenggarakannya sementara biro-biro kecil menjalankannya. Tapi kami sungguh-sungguh tak tahu gadis-gadis Thai dieksploatasi dalam praktek itu," dalihnya. Seperti juga biro perjalanan di Jepang, agen pariwisata di Negeri Belanda juga menolak disalahkan. Mereka mengaku cuma men jual "konsep" yang sudah disusun--entah oleh siapa. Ada yang menunjuk: pusatnya 'tuh di Frankfurt, Jerman Barat. Di sanalah folder iklan Erotoers dicetak. Jadi ada yang berspekulasi: di sana pulalah "acara-acara" direncanakan. Namun ada juga yang menunjuk, urusan maksiat diatur oleh hotel-hotel Muangthai sendiri. "Seperti biasanya penyelenggaraan perjalanan wisata ke mana pun, kami senantiasa menjalin kerjasama dengan sejumlah hotel. Bukan urusan kami kalau hotel dipakai tidak sebagai pos untuk menginap tapi untuk tujuan lain," kata seorang penyelenggara perjalanan. Tapi ia tak menyangkal ikut mengiklankan usaha hotel-hotel Muangthai itu. Dan dia tahu betul apa usaha itu. Jangan jangan sextourisme memang gagasan orang Muangthai sendiri. Onze Wereld menunjukkan, urusan tamasya seks baru jelas ketika si turis sudah sampai di Bangkok. Di Grace Hotel Coffee Shop, acara dan pertemuan disusun dengan cermat dan hati-hati. Tidak sebelumnya. Barangkali inilah kenyataan pahit negara anggota ASEAN itu. Pelacuran dan "industri foya-foya" di mana pun di dunia bukan hal yang bisa ditutuptutupi. Namun jarang sampai jadi cap sebuah negara. Nah, seks seperti sudah |adi bedak wajah Muangthai. Padahal sekitar 40 juta orang luangthai yang hidup di pedalaman, dan masih kuat memegang tradisi, menganggap dagang begituan sebagai hal yang nista.Namun fakta ini seperti tergilas pasukan-pasukan Amerika Serikat yang harus berperang di Vietnam."Sejak itu Muangthai tiba-tiba seperti dijajah kaum lelaki. Seks bisa dibeli di mana-mana. Panti pijat, klub malarn dan bordil bermunculan," tulis harian South China Morning Post. Dan anehnya, cap yang tak patut dibanggakan ini dengan cepat pula meluas ke seluruh dunia. Jauh sebelum diekspor lewat tamasya seks, bayangan Muangthai sebagai sorga kaum lelaki sudah meluas. Sejumlah besar film seks --yang bukan cuma masuk kategori x-rated, tapi sudah masuk golongan pornografi--dibuat di Muangthai. Demam itu dimulai dengan suksesnya film Emmanuelle yang dibintangi Sylvia Kristel. Efisien memang. Di Muangthai segala bumbu yang dibutuhkan mudah didapat. Di samping ada kegairahan besar sutradara Eropa untuk menggambarkan tokoh-tokoh filmnya hidup seperti raja-raja, dikelilingi para pelayan Thai. Juga diharap nampak monumental di tengah kehidupan lusuh di lorong-lorong dan gubuk-gubuk tepi sungai. Seluruh kehormatan bangsa Thai runtuh dalam film-film ini. Makanya tak aneh kalau geger tamasya seks jadi semacam detonator letupan antiseks di negeri itu sendiri, pertengahan tahun ini. Pemerintah, Parlemen dan sejumlah gerakan feminis menyatakan perang. Dan isu yang sudah meluas duluan ternyata betul: terjadi eksploatasi manusia di balik industri kesenangan itu(!) Berbagai usaha lalu dirintis untuk menyelamatkan gadis-gadis yang disekap dan diperdagangkan di luar kehendak mereka. "Hukum tentang pelacuran harus diperbaiki," kata anggota parlemen dan bekas menteri pendidikan Dr. Yupha Udoms Akdi dalam sebuah seminar. "Hendaknya disusun pasal-pasal yang melindungi mereka yang dipaksa, dan memisahkannya dari mereka yang berniat cari uang dari pekerjaan itu." Sejak Juni lalu, Komisi Urusan Sosial pada Parlemen Muangthai memang memulai sebuah rencana perubahan hukum bagi pelacuran. Berbagai dengar pendapat dan seminar diselenggarakan. "Pembicaraan lebih banyak ditekankan pada usaha membendung laki-laki yang membuka pelacuran, daripada menangkapi pelacur yang tak banyak punya pilihan karena kesulitan ekonomi," kata Nona Supatra Masdit, sekretaris Komisi yang berumur 32 tahun, pada South China Morning Post. Wanita yang nampaknya anggota gerakan feminis itu yakin, suara terbanyak dari 19 anggota komisi cenderung mengambil jalan mengontrol pelacuran daripada memberantasnya. Langkah pertama: menghaluskan semua pelacur dan tempat pelacuran mengulangi pendaftaran. Dengan begitu, menurut Supatra Masdit, para pelacur lebih mudah diarahkan, diperjuangkan haknya, "termasuk honor yang patut mereka terima". KENDATI sudah membetot kehormatan Muangthai begitu rupa, usaha mengurangi pelacuran dan industri kesenangan lainnya agaknya tak ditempuh Parlemen. Komisi mengkaji pengalaman Muangthai menghadapi pelacuran. Pelacuran resmi diakui kehadirannya 1909. Waktu itu para pelacur diwajibkan mendaftarkan diri. Pada 1960, berdasar undangundang, pelacwran dilarang sama sekali dan dianggap kriminal. Ternyata aturan 1960 tidak lebih baik dari yang 1909. Justru sebaliknya: pelacuran merajalela dan sulit dikontrol. "Tak ada orang yang pro padapelacuran. Semua sependapat dengan kaum konservatif, pelacuran adalah kegiatan buruk. Tapi kami harus menghadapi kenyataan--dan masyarakat sudah berubah," kata Supatra Masdit. Pelacur yang resmi terdaftar di Muangthai seluruhnya 'setengah juta. Namun jumlah yang tak resmi dikhawatirkan sama banyaknya--dan justru yang inilah yang lebih banyak dijual dalam tamasya seks, dan masuk ke pelosok-pelosok misterius. Tak syak di sinilah terjadi eksploatasi manusia. "Faktor kemiskinan memang punya pengaruh," kata Supatra Masdit. Seorang pelacur yang beruntung bisa berpenghasilan 7000 baht sebulan --kurang lebih Rp 228.000 sedang seorang pekerja wanita di desa paling cuma 1000 baht sebulan, kurang lebih Rp 30.000. Dari penghasilan itu para pelacur biasanya mengirimkan separuhnya ke keluarga mereka di pedalaman Dan dengan sisanya masih bisa hidup cukup senang. Namun ini terhitung yang resmi, yang oleh sebuah badan kesehatan diduga bertambah sekitar 10.000 setahun jumlahnya. Yan gelap, sulit untuk diperkirakan. Karena itu sejalan dengan isu tamasya seks, Parlemen mendesak pemerintah untuk memberantas pelacuran gelap. Sepanjang bulan Juli lalu polisi Muangthai lalu nampak aktif menyelenggarakan razia ke semua tempat foya-foya: panti pijat, klub malam, coffee shop dan sebagainya. Salah satu yang paling tragis: pembongkaran sebuah daerah tepi Sungai Thonburi. Dari sana dibebaskan 72 orang wanita yang disekap seperti binatang--entah untuk pertunjukan seks model apa. Tiga di antaranya gadis kecil di bawah 14 tahun! "Parlemen akan menaikkan dengan drastis ancaman hukuman bagi mereka yang mengeksploatasi wanita untuk pelacuran," kata Dr. Yupha Udoms Akdi. Ancaman hukuman 7 tahun bagi mereka yang menyelenggarakan pelacuran gelap dinaikkan jadi 20 tahun. Dan ancaman 5 tahun bagi yang sudah berusaha membujuk, dinaikkan dan disamakan dengan penyelenggara pelacuran gelap. Akhir tahun ini, seluruh rencana pengaturan diharapkan selesai dan disetujui. MENUNGGU penyelesaian hukum pelacuran, dari berbagai razia polisi mengumumkan: 2766 wanita yang menjadi pelacur gelap ditahan. Namun yang janggal, justru jumlah mereka yang mengeksploatasi wanita-wanita ini--yang harusnya juga ditahan--tidak diumumkan. Belakangan kejanggalan ini terungkap--lewat sebuah surat seorang feminis Sukanya Hantrakul kepada Perdana Menteri. Putus asa, wanita ini mengungkapkan pada pers: pejabat-pejabat polisi ternyata makan suap dan melepaskan semua pengusaha pelacuran gelap yang terjaring. Karena ia pekerja sosial yang merawat bekas pelacur gelap di penjara, Sukanya Hantrakul tahu dengan pasti: polisi juga melepaskan sejumlah "wanita terpilih" yang besar kemungkinan akhirnya terperangkap kembali ke dunia eksploatasi gelap. Dengan kaget, Parlemen mengutuk keras tindakan polisi dan mendesak pemerintah membersihkan tubuh polisi dari korupsi. Betapa tidak: hukum yang mereka rencanakan dengan susah payah akan menghadapi ancaman macet justru karena aparat hukum sendiri melenceng. Tragis, bukan? Tapi tidak aneh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus