ANDA tidak beruntung bila tak mengunjunginya," bunyi sebuah
iklan. Di sampingnya terpampang gambar seorang wanita dengan
baju mandi-uap, tersenyum dengan aksi yang .... Keterangan di
bawahnya: "Di Grace Hotel, si dia akan mengunjungi anda,
bermalam-panjang di kamar anda. Atau barangkali anda lebih suka
berkenalan dengan kawannya, dan bersama menghabiskan
minggu-minggu penuh madu di Park dan Rex?"
Hotel-hotel Grace, Park dan Rex - terletak di Bangkok. Namun
iklan itu bukannya ditempelkan di sana. Jauh sekali: di Jepang,
Jerman Barat, Negeri Belanda, Norwegia dan beberapa negara lain.
Inilah bagian dari kampanye industri pariwisata Muangthai yang
dikenal dengan nama -sudah menginternasional--sex tour.
Setelah berbagai peninggalan sejarah, tari-tarian dan
pemandangan alam habis dijual kepada kaum turis, belakangan
memang muncul gagasan untuk memasukkan "industri keisengan kaum
lelaki" ke dalam jaringan pariwisata. Di mana-mana di dunia ini,
gejala tersebut -- seperti ada perjanjian muncul berbareng Konon
sampai-sampai di negara-negara sosialis Eropa Timur.
Di Eropa Barat memang sudah tak aneh. Taritarian, mulai "tari
kesebelasan", "partai tunggal" sampai partai ganda", shopping
ke pertokoan yang menjual "perabot-perabot aneh" dan
gambar-gambar maksiat, dan tentunya anjangsana ke daerah lampu
merah, masuk dalam industri itu. Yang paling belakang muncul di
Eropa tawaran pemandu guide--wanita. Keanehannya terletak pada
gambar kunci yang tertera pada iklan penawarannya. Entah apa
maksudnya, tapi kira-kira ya ke situ-situ juga.
BILA sex tour tiba-tiba terdengar muncul di Muangthai, yang
aneh sebenarnya cuma istilahnya saja. Istilah itu memang lahir
di sini. Adapun yang ada di belakangnya sih bukan barang baru.
Namun, entah di mana kesalahan para pengusaha Muangthai
menjalankan usaha ini, isu pariwisata seks ini ternyata
menimbulkan kegegeran di mana-mana. Bermacam gerakan protes
muncul di Jepang, Eropa Barat--dan tentu Muangthai sendiri.
Jepang termasuk yang kena guncangan paling keras. Awal tahun
ini, ketika Perdana Menteri Zenko Suzuki berkunjung ke
Muangthai, ia dihadang sejumlah mahasiswa dan para anggota
gerakan wanita. Bukan karena perdana menteri itu "kepergok".
Tapi karena, menurut orang Thai, turis Jepanglah yang paling
banyak jadi langganan biro-biro perjalanan yang menyelenggarakan
tamasya seks ke Muangthai.
Tak bisa disangkal memang, belakangan ini, di bagian mana pun di
dunia, turis Jepang senantiasa bisa ditemukan. Begitu baiknya
tunjangan buruh dan pekerja kelas menengah di sana,
sampai-sampai lapisan ini bisa bernikmat-nikmat di luar negeri.
Bukan Suzuki saja yang mendapat malu. Kaum buruh Jepang pun
seperti kena tempeleng--dan sodokan ini terasa di
pertemuan-pertemuan buruh internasional. Dalam forum itu
delegasi Muangthai menurunkan himbauan keras pada rekan-rekannya
dari Jepang -- supaya "sedikit tahu diri".
Entah dengan malu atau mendongkol, Suzuki dan berbagai serikat
buruh di sana lantas berusaha keras untuk mengurangi--karena
tidak bisa meniadakan sama sekali--piknik gila-gilaan itu.
Rupanya berhasil.
Dalam beberapa bulan saja, tamasya seks seperti lenyap di
Jepang. Setidak-tidaknya iklan "si dia dengan pakaian mandi uap"
tak lagi bisa ditemukan di seantero Jepang. Dah yang lebih pasti
adalah ini: statistik menunjukkan jumlah turis ke Muangthai
turun drastis. Seperti sakit hati, banyak orang Jepang tidak
tertarik untuk menengok Muangthai.
Namun banyak kalangan di Jepang, terutama biro-biro perjalanan,
tak mau menerima salah begitu saja. Mereka menunjuk: di Eropa
demam tamasya seks Thai itu berjangkit sama kronisnya. Jadi
gagasan itu bukan datangdari mereka.
Betul. Di Eropa, tamasya seks ke Muangthai--di sana dikenal juga
dengan Erotoers--bukan cuma dikenal, tapi juga laku keras. Dan
juga bikin geger--khususnya di Negeri Belanda, sebelum geger
Suzuki di Muangthai awal tahun ini.
Onze Wereld, sebuah majalah kiri Belanda, pada salah satu
terbitannya menurunkan laporan perjalanan ke Muangthai mengikuti
sex tour. Isi laporannya sendiri tak menarik. Tahu sama tahulah:
model yang begitu-begitu juga. Namun laporan itu ditambahi
macam-macam bumbu yang bisa bikin orang panas.
Majalah itu meneriakkan: perdagangan seks di Muangthai
didirikan di atas penderitaan rakyat. Dengan mengekspos berbagai
bentuk kemiskinan, Onze Wereld mencoba mengarahkan: terjadi
eksploatasi manusia atas manusia di Muangthai ! Lebih dramatis
lagi, majalah bulanan itu mensinyalir banyak pria Belanda
sepulang tamasya membawa istri Thai. Namun setelah. beberapa
bulan, menceraikannya wanita-wanita ini, setelah
terlunta-lunta, kembali berpraktek sebagai pelacur di berbagai
pelosok Belanda.
Agitasi ini mengenai sasaran. Tamasya seks, eksploatasi manusia,
termasuk penjerumusan wanitaThai ke daerah pelacuran gelap di
Negeri Belanda, tiba-tiba menjadi isu yang ramai.
Onze Wereld yang mendapat angin memperkeras hasutannya dengan
memuat sebuah surat keluarga campuran -- suami Belanda dan istri
Thai. Sang suami yang menulis surat mengisahkan, ia mengawini
gadis Thai sedikit banyak karena (buset) "urusan kemanusiaan".
Istrinya sampai kini masih mengirimkan uang kepada keluarganya
di Muangthai, yang "digerogoti kemiskinan". Seperti di novel
saja, surat itu berkisah: ayah keluarga yang ditinggalkan itu
pemadat candu yang sudah dekat ajal, sedang dua anaknya pecandu
morfin kelas berat.Tinggallah sang ibu yang sakit-sakitan harus
menanggung azab.
Entah karena Onze Wereld memang punya pengaruh, berbagai-media
massa lalu ikut-ikutan memuat masalah tamasya seks. Dan geger
berlanjut: Kedutaan Muangthai di Den Haag didemonstrasi sejumlah
mahasiswa dan kaum feminis. Juga sejurnlah badan pemerintahan
yang dianggap terkait dengan penyelenggaraan tamasya seks
kebagian pernyataan protes. Ricuh ini tercatat cukup besar:
terjadi bentrokan dengan polisi.
KELAS dipengaruhi demonstrasi ini, tiba-tiba saja iklan-iklan
tamasya seks seperti tersapu dari etalase biro perjalanan di
seluruh Belanda. Menurut pengakuan di beberapa media massa, para
pengusaha biro dengan sukarela menghentikan penyelenggaraan
tamasya yang syur itu. "Kami bukan orang suci," kata Sandbergen,
pemimpin Holland International, jaringan biro perjalanan
terbesar di Negeri Belanda. "Jadi seperti membenamkan kepala ke
lumpur umpama Hl tidak menyelenggarakannya sementara biro-biro
kecil menjalankannya. Tapi kami sungguh-sungguh tak tahu
gadis-gadis Thai dieksploatasi dalam praktek itu," dalihnya.
Seperti juga biro perjalanan di Jepang, agen pariwisata di
Negeri Belanda juga menolak disalahkan. Mereka mengaku cuma men
jual "konsep" yang sudah disusun--entah oleh siapa. Ada yang
menunjuk: pusatnya 'tuh di Frankfurt, Jerman Barat. Di sanalah
folder iklan Erotoers dicetak. Jadi ada yang berspekulasi: di
sana pulalah "acara-acara" direncanakan.
Namun ada juga yang menunjuk, urusan maksiat diatur oleh
hotel-hotel Muangthai sendiri. "Seperti biasanya penyelenggaraan
perjalanan wisata ke mana pun, kami senantiasa menjalin
kerjasama dengan sejumlah hotel. Bukan urusan kami kalau hotel
dipakai tidak sebagai pos untuk menginap tapi untuk tujuan
lain," kata seorang penyelenggara perjalanan. Tapi ia tak
menyangkal ikut mengiklankan usaha hotel-hotel Muangthai itu.
Dan dia tahu betul apa usaha itu.
Jangan jangan sextourisme memang gagasan orang Muangthai
sendiri. Onze Wereld menunjukkan, urusan tamasya seks baru jelas
ketika si turis sudah sampai di Bangkok. Di Grace Hotel Coffee
Shop, acara dan pertemuan disusun dengan cermat dan hati-hati.
Tidak sebelumnya.
Barangkali inilah kenyataan pahit negara anggota ASEAN itu.
Pelacuran dan "industri foya-foya" di mana pun di dunia bukan
hal yang bisa ditutuptutupi. Namun jarang sampai jadi cap sebuah
negara. Nah, seks seperti sudah |adi bedak wajah Muangthai.
Padahal sekitar 40 juta orang luangthai yang hidup di
pedalaman, dan masih kuat memegang tradisi, menganggap dagang
begituan sebagai hal yang nista.Namun fakta ini seperti tergilas
pasukan-pasukan Amerika Serikat yang harus berperang di
Vietnam."Sejak itu Muangthai tiba-tiba seperti dijajah kaum
lelaki. Seks bisa dibeli di mana-mana. Panti pijat, klub malarn
dan bordil bermunculan," tulis harian South China Morning Post.
Dan anehnya, cap yang tak patut dibanggakan ini dengan cepat
pula meluas ke seluruh dunia. Jauh sebelum diekspor lewat
tamasya seks, bayangan Muangthai sebagai sorga kaum lelaki
sudah meluas. Sejumlah besar film seks --yang bukan cuma masuk
kategori x-rated, tapi sudah masuk golongan pornografi--dibuat
di Muangthai. Demam itu dimulai dengan suksesnya film Emmanuelle
yang dibintangi Sylvia Kristel.
Efisien memang. Di Muangthai segala bumbu yang dibutuhkan mudah
didapat. Di samping ada kegairahan besar sutradara Eropa untuk
menggambarkan tokoh-tokoh filmnya hidup seperti raja-raja,
dikelilingi para pelayan Thai. Juga diharap nampak monumental di
tengah kehidupan lusuh di lorong-lorong dan gubuk-gubuk tepi
sungai. Seluruh kehormatan bangsa Thai runtuh dalam film-film
ini.
Makanya tak aneh kalau geger tamasya seks jadi semacam detonator
letupan antiseks di negeri itu sendiri, pertengahan tahun ini.
Pemerintah, Parlemen dan sejumlah gerakan feminis menyatakan
perang.
Dan isu yang sudah meluas duluan ternyata betul: terjadi
eksploatasi manusia di balik industri kesenangan itu(!) Berbagai
usaha lalu dirintis untuk menyelamatkan gadis-gadis yang disekap
dan diperdagangkan di luar kehendak mereka.
"Hukum tentang pelacuran harus diperbaiki," kata anggota
parlemen dan bekas menteri pendidikan Dr. Yupha Udoms Akdi dalam
sebuah seminar. "Hendaknya disusun pasal-pasal yang melindungi
mereka yang dipaksa, dan memisahkannya dari mereka yang berniat
cari uang dari pekerjaan itu."
Sejak Juni lalu, Komisi Urusan Sosial pada Parlemen Muangthai
memang memulai sebuah rencana perubahan hukum bagi pelacuran.
Berbagai dengar pendapat dan seminar diselenggarakan.
"Pembicaraan lebih banyak ditekankan pada usaha membendung
laki-laki yang membuka pelacuran, daripada menangkapi pelacur
yang tak banyak punya pilihan karena kesulitan ekonomi," kata Nona
Supatra Masdit, sekretaris Komisi yang berumur 32 tahun, pada
South China Morning Post.
Wanita yang nampaknya anggota gerakan feminis itu yakin, suara
terbanyak dari 19 anggota komisi cenderung mengambil jalan
mengontrol pelacuran daripada memberantasnya. Langkah pertama:
menghaluskan semua pelacur dan tempat pelacuran mengulangi
pendaftaran. Dengan begitu, menurut Supatra Masdit, para pelacur
lebih mudah diarahkan, diperjuangkan haknya, "termasuk honor
yang patut mereka terima".
KENDATI sudah membetot kehormatan Muangthai begitu rupa, usaha
mengurangi pelacuran dan industri kesenangan lainnya agaknya tak
ditempuh Parlemen. Komisi mengkaji pengalaman Muangthai
menghadapi pelacuran. Pelacuran resmi diakui kehadirannya 1909.
Waktu itu para pelacur diwajibkan mendaftarkan diri. Pada 1960,
berdasar undangundang, pelacwran dilarang sama sekali dan
dianggap kriminal. Ternyata aturan 1960 tidak lebih baik dari
yang 1909. Justru sebaliknya: pelacuran merajalela dan sulit
dikontrol. "Tak ada orang yang pro padapelacuran. Semua
sependapat dengan kaum konservatif, pelacuran adalah kegiatan
buruk. Tapi kami harus menghadapi kenyataan--dan masyarakat
sudah berubah," kata Supatra Masdit.
Pelacur yang resmi terdaftar di Muangthai seluruhnya 'setengah
juta. Namun jumlah yang tak resmi dikhawatirkan sama
banyaknya--dan justru yang inilah yang lebih banyak dijual dalam
tamasya seks, dan masuk ke pelosok-pelosok misterius. Tak syak
di sinilah terjadi eksploatasi manusia.
"Faktor kemiskinan memang punya pengaruh," kata Supatra Masdit.
Seorang pelacur yang beruntung bisa berpenghasilan 7000 baht
sebulan --kurang lebih Rp 228.000 sedang seorang pekerja
wanita di desa paling cuma 1000 baht sebulan, kurang lebih Rp
30.000. Dari penghasilan itu para pelacur biasanya mengirimkan
separuhnya ke keluarga mereka di pedalaman Dan dengan sisanya
masih bisa hidup cukup senang. Namun ini terhitung yang resmi,
yang oleh sebuah badan kesehatan diduga bertambah sekitar 10.000
setahun jumlahnya. Yan gelap, sulit untuk diperkirakan.
Karena itu sejalan dengan isu tamasya seks, Parlemen mendesak
pemerintah untuk memberantas pelacuran gelap. Sepanjang bulan
Juli lalu polisi Muangthai lalu nampak aktif menyelenggarakan
razia ke semua tempat foya-foya: panti pijat, klub malam, coffee
shop dan sebagainya. Salah satu yang paling tragis: pembongkaran
sebuah daerah tepi Sungai Thonburi. Dari sana dibebaskan 72
orang wanita yang disekap seperti binatang--entah untuk
pertunjukan seks model apa. Tiga di antaranya gadis kecil di
bawah 14 tahun!
"Parlemen akan menaikkan dengan drastis ancaman hukuman bagi
mereka yang mengeksploatasi wanita untuk pelacuran," kata Dr.
Yupha Udoms Akdi. Ancaman hukuman 7 tahun bagi mereka yang
menyelenggarakan pelacuran gelap dinaikkan jadi 20 tahun. Dan
ancaman 5 tahun bagi yang sudah berusaha membujuk, dinaikkan dan
disamakan dengan penyelenggara pelacuran gelap. Akhir tahun ini,
seluruh rencana pengaturan diharapkan selesai dan disetujui.
MENUNGGU penyelesaian hukum pelacuran, dari berbagai razia
polisi mengumumkan: 2766 wanita yang menjadi pelacur gelap
ditahan. Namun yang janggal, justru jumlah mereka yang
mengeksploatasi wanita-wanita ini--yang harusnya juga
ditahan--tidak diumumkan.
Belakangan kejanggalan ini terungkap--lewat sebuah surat seorang
feminis Sukanya Hantrakul kepada Perdana Menteri. Putus asa,
wanita ini mengungkapkan pada pers: pejabat-pejabat polisi
ternyata makan suap dan melepaskan semua pengusaha pelacuran
gelap yang terjaring. Karena ia pekerja sosial yang merawat
bekas pelacur gelap di penjara, Sukanya Hantrakul tahu dengan
pasti: polisi juga melepaskan sejumlah "wanita terpilih" yang
besar kemungkinan akhirnya terperangkap kembali ke dunia
eksploatasi gelap.
Dengan kaget, Parlemen mengutuk keras tindakan polisi dan
mendesak pemerintah membersihkan tubuh polisi dari korupsi.
Betapa tidak: hukum yang mereka rencanakan dengan susah payah
akan menghadapi ancaman macet justru karena aparat hukum sendiri
melenceng. Tragis, bukan? Tapi tidak aneh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini