Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ribut-Ribut Ivermectin Jadi Obat Covid-19

Ivermectin menjadi sorotan karena diklaim bisa menjadi obat Covid-19. Para pejabat di Indonesia mempromosikannya. Dikecam epidemiolog.

4 Juli 2021 | 22.11 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ivermax 12, obat Ivermectin produksi Harsen Labatories. ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah kondisi Covid-19 yang semakin ganas, obat cacing Ivermectin menjadi sorotan. Polemik ini bermula dari Direktur Marketing PT Harsen Laboratories, Riyo Kristian Utomo. Riyo menyebut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah tiga hari melakukan sidak dan memblokir obat Ivermectin keluar dari pabrik mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sudah tiga hari (sejak Selasa) sampai Kamis, BPOM melakukan sidak dan memblokir obat Ivermectin keluar dari pabrik PT Harsen Laboratories. Berhari-hari mereka nongkrong memeriksa semua faktur di pabrik. Sepertinya mereka tidak menginginkan obat ini beredar dan dipakai untuk melawan Covid," ujar Riyo lewat keterangan tertulis, Jumat, 2 Juli 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Harsen Laboratories mengklaim obat cacing produksi mereka dapat menyembuhkan pasien Covid-19. Untuk itu, Riyo meminta BPOM tidak melakukan upaya-upaya yang dinilai dapat mengganggu proses produksi perusahaan yang berlokasi di Ciracas, Jakarta Timur itu.

"BPOM harus berhenti mengintimidasi, kami menyediakan senjata Ivermectin melawan Covid. Jangan ada upaya sengaja agar kita kalah. Kita harus menang melawan Covid. Jangan ada yang menghalangi," tuturnya.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan merazia pabrik karena menemukan sejumlah pelanggaran dalam proses produksi, hingga distribusi Ivermectin buatan PT Harsen, pemegang merek Ivermax 12 mg.

BPOM menyatakan bahan baku yang digunakan PT Harsen diduga ilegal; kemasan siap edar tidak sesuai aturan, yaitu sebagai obat cacing; penetapan kadaluarsa sesuai dianggap juga tidak sesuai aturan yaitu 18 bulan, namun PT Harsen mencantumkan 2 tahun.

Selain itu, distribusi tak melalui jalur resmi termasuk promosi obat keras menyalahi aturan tidak boleh langsung ke publik namun harus di tenaga kesehatan atau dokter. Dengan pelanggaran itu, BPOM mengancam PT Harsen dapat dijatuhi sanksi berupa penutupan pabrik, pencabutan izin, hingga pidana."Harusnya mereka memahami regulasi yang ada," katanya.

PT Harsen bukan satu-satunya produsen Ivermectin di Indonesia. PT Indofarma telah mengantongi izin edar Ivermectin sebagai obat cacing sejak 20 Juni 2021. Indofarma mengatakan bisa memproduksi obat itu 4,5 juta tablet per bulan. Rencana produksi perseroan pada awal Juli hingga Agustus mencapai 13,8 juta tablet.

Namun, banyak lembaga masih meragukan khasiat obat ini untuk melawan Covid-19. Tidak cuma BPOM, WHO, FDA dari Amerika Serikat dan EMA dari Uni Eropa menyatakan belum ada bukti bahwa Ivermectin mampu mengatasi Covid-19.

FDA, misalnya, pada 5 Maret memperingatkan penggunaan Ivermectin secara berlebihan bisa menyebabkan kematian. FDA juga mencatat sejumlah laporan pasien yang harus dirawat di rumah sakit setelah melakukan pengobatan sendiri ivermectin untuk kuda. Resiko dari keracunan Ivermectin adalah darah yang menjadi encer, nyeri, mual, dan diare.

Meski masih menjadi perdebatan, antusiasme masyarakat memperoleh obat ini tak terbendung. Distributor farmasi, apotek, toko obat online dan penyedia aplikasi telemedis kebanjiran permintaan Ivermectin.

Vice President of Pharmacy Halodoc, Satrio Pramudono mengatakan animo pembeli terhadap obat itu terus meningkat seiring dengan naiknya angka Covid-19. Dia enggan merinci jumlah penjualan, namun mengatakan melakukan penyaringan terhadap pembeli. “Sistem kami mengharuskan produk Ivermectin 12 miligram dibeli dengan resep dokter,” kata dia, 2 Juli 2021.

Permintaan yang banyak membuat harga obat itu melambung. Harga eceran obat ini seharusnya dipatok Rp 157.700 atau 7.885 per tablet. Namun, menurut penelusuran Tempo pada 30 Juni 2021 di sejumlah toko online menjual obat itu dengan harga Rp 200 ribu per dus.

Derasnya animo masyarakat terhadap Ivermectin tak lepas dari peran pejabat pemerintah. Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan telah mengkonsumsi Ivermectin. “Saya berkali-kali menggunakan Ivermectin sehat-sehat saja,” kata Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia itu dalam diskusi daring pada 28 Juni 2021.

Lewat jaringan HKTI, Moeldoko mengatakan telah mendistribusikan obat itu ke beberapa daerah, seperti Kudus dan Semasrang. Dia mengklaim obat itu manjur untuk pengobatan Covid-19.

Menteri BUMN Erick Thohir juga gencar mengajukan obat Ivermectin untuk melawan Covid-19. Bedanya, dia mendorong agar obat itu diproduksi oleh Indofarma. “Indofarma berpengalaman memproduksi dan memperoleh izin edar obat terapi penanganan Covid-19,” kata dia Sabtu, 3 Juli 2021.

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono menyemprot para pejabat yang mempromosikan Ivermectin. Dia mengatakan Ivermectin adalah obat keras yang tidak bisa sembarangan dipakai. Ivermectin, kata dia, juga belum lolos uji klinik sebagai obat Covid-19. "Yang membuat saya kecewa adalah obat ini kayak permen dibagi-bagi oleh sekelompok orang bahkan pejabat publik yang enggak etis dan bukan kewenangannya," katanya dalam jumpa pers BPOM Jumat 2 Juni 2021.

Ivermectin, kata dia, jika belum ada izin dari BPOM maka obat ini belum betul-betul aman bagi pasien. Banyak pemberitaan baik di media massa dan media sosial yang menyebut Ivecmertin sebagai obat paten Covid-19. Akibat pemberitaan itu, obat ini banyak dicari orang dan dinyakini mujarabnya. Ia mengingatkan kasus di India pengunaan obat keras justru menimbulkan efek samping.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus