Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULANYA, beton itu hanya ”bergoyang Inul”. Mendadak tergelincir dari mesin pendongkrak, ia jatuh menimpa lima balok lainnya. Dan, ”Brak...!,” keenam balok beton 40 x 80 meter dan setinggi 2,1 meter ini ambyur ke laut. Tujuh pekerja di atasnya sempat meloncat. Tapi Saifut, pengendali mesin pendongkrak, terimpit balok lalu ikut jatuh. Kedelapan pekerja segera dilarikan ke R.S. Dokter Soetomo Surabaya. Namun nahas, menjelang magrib, Saifut yang asal Peterongan, Jombang, Jawa Timur itu tewas.
Robohnya tiang-tiang jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) ini terjadi Selasa pekan lalu, dua pekan setelah peresmiannya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, awal Juli silam. Uniknya, tragedi itu terjadi antara bentang enam dan tujuh, yang saat peresmiannya diduduki sekitar 6.000 warga.
Menurut pemimpin proyek Suramadu sisi Surabaya, Zamharir Basuni, bencana terjadi karena kecerobohan pekerja—bukan disebabkan mutu balok. ”Ini semata-mata kesalahan teknis ketika meletakkan balok,” katanya. Apa pun penyebabnya, ambruknya balok-balok buatan PT Wika itu merugikan negara Rp 1,2 miliar.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno terbang ke Surabaya dan bersama Gubernur Jawa Timur Imam Oetomo menginspeksi tempat kejadian di sisi Tambak Wedi, Surabaya. ”Kami minta polisi mengusut kenapa insiden ini bisa terjadi,” ujarnya. Prof. Priyo Suprobo, ahli jembatan dari Institut Teknologi Surabaya, menilai bahwa pembangunan jembatan senilai Rp 2,8 triliun itu kurang profesional.
Cukup 31 Menteri
SIAPA pun presiden terpilih, ia tak bisa menetapkan jumlah menteri kabinetnya. Jika memaksa, ia bisa dianggap melanggar undang-undang. Ini karena DPR bakal segera merampungkan Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara.
Selasa pekan lalu, Panitia Khusus RUU itu di DPR menyepakati jumlah kementerian 31 saja. Kementerian negara—begitu akan disebut—terdiri dari 21 kementerian negara portofolio dan 10 kementerian negara nonportofolio. ”Pokoknya, presiden, meski dipilih rakyat dan punya hak prerogatif, tak bisa membubarkan kabinet begitu saja,’’ kata Effendy Choirie, salah satu anggota panitia itu.
Mengingat jumlahnya yang menyusut, ada beberapa kementerian digabung, ada juga yang berdiri sendiri. Misalnya Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menjadi Kementerian Negara Hukum dan Perundang-undangan. Lalu Departemen Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Negara Pendidikan, Departemen Perhubungan menjadi Kementerian Negara Transportasi, meliputi hubungan darat, laut, dan udara.
Ada departemen lama muncul lagi, Kementerian Negara Perumahan Rakyat dan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (yang otomatis menterinya menjadi Ketua Umum KONI). Adapun pendatang baru Kementerian Negara Pengawasan Keuangan dan Pembangunan akan menggantikan BPKP. Posisi Panglima TNI, Kapolri, dan Kejaksaan Agung diatur dalam pasal tersendiri, sedangkan posisi menteri koordinator masih dibahas. ”Ada keinginan menteri koordinator dihapuskan, lalu wakil presiden merangkap koordinator menteri,” ujarnya.
KBRI di Myanmar Disadap
KANTOR Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangoon, Myanmar, disadap. Demikian terungkap setelah tim pemeriksa gabungan (Lembaga Sandi Negara, Badan Intelijen Negara, Departemen Luar Negeri) dari Jakarta memeriksa KBRI di Yangoon, 24 Juni lalu. Mereka menemukan alat penyadap terpasang di dinding kamar kerja dan pesawat telepon Duta Besar RI untuk Myanmar, Wyoso Projowarsito.
Menurut Anggota Komisi Luar Negeri DPR Djoko Susilo, penyadapan itu melanggar asas kepatutan dan etika dalam hubungan diplomatik. Ini membuktikan penguasa Myanmar tak menghargai dukungan politik dan diplomatik RI yang membantu Myanmar menghadapi tekanan Barat di forum internasional maupun regional. ”Kami akan mengusulkan pemerintah meninjau ulang hubungan diplomatik dengan Myanmar,” ujarnya kepada Koran Tempo. Kasus seperti ini sebelumnya juga terjadi di Canberra (Australia), Kanada, dan Washington (AS).
Departemen Luar Negeri Selasa pekan lalu memanggil Duta Besar Myanmar untuk Indonesia Kyaw Myint untuk menerima penyampaian protes. Menurut Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Myint berjanji meneruskan protes itu ke Yangoon. ”Kami meminta pemerintah Myanmar tidak mengulanginya. Tindakan ini melanggar Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik,” katanya.
KPU Minta Duit Lagi
ONGKOS pesta memang besar. Apalagi pesta ”politik”. Untuk tiga kali hajatan demokrasi pada 2004 ini, duit negara yang terkucur Rp 3,9 triliun. Belum cukup juga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta Menteri Keuangan mengabulkan tambahan dana Rp 918 miliar untuk penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua. Jika tidak, mereka meminta dikucurkan tambahan Rp 418 miliar.
Perdebatan di kalangan Panitia Anggaran DPR terpantik, Rabu pekan lalu. Sebab, anggaran pemilu sudah memoroti APBN. Apalagi belum ada laporan pertanggungjawaban penggunaan dana untuk dua kali pemilu. ”Kami tak akan mengeluarkan dana tambahan sebelum KPU melaporkan pertanggungjawaban penggunaan dana pemilu legislatif dan pemilu presiden putaran pertama,” kata Sayuti Rahawarin, anggota Panitia Anggaran DPR. Ia menunjuk sejumlah kasus pengadaan barang pemilu yang bermutu rendah.
Namun KPU mengklaim, pengajuan dana tambahan itu adalah bagian dari total dana Rp 3,9 triliun, yang diminta segera turun untuk membayar tunggakan utang pada rekanannya. ”Dalam pemilu legislatif lalu, dana yang dikeluarkan sangat besar. Saat itu kami mengambilnya dari anggaran pemilu presiden. Akibatnya, anggaran pemilu presiden terpaksa berkurang,” kata Safder Yussac, Sekretaris Jenderal KPU. Anggaran tambahan itu akan dipakai membuat surat suara, pengadaan tinta, dan pengirimannya. ”Jadi itu mutlak, wong duitnya enggak ada lagi,” kata Ramlan Surbakti, Wakil Ketua KPU.
Suara Bohong dari Tawao
PANITIA pemungutan suara di Tawao, Malaysia, kebablasan. Sekitar 8.000 surat suara dicoblos secara tidak sah, yang menguntungkan pasangan calon presiden-wakil presiden nomor 4, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. ”Ini laporan Panitia Pengawas Pemilu Kalimantan Timur, yang bekerja sama dengan penghubung Polri di Malaysia,” kata anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pusat, Mashudi Ridwan, di Mabes Polri, Kamis pekan lalu.
Karena kecurangan itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) memerintahkan adanya pemilu ulang di daerah itu. ”Total sekitar 8.000 suara dicoblos oleh Kelompok Panitian Pemungutan Suara Luar Negeri,” kata Wakil ketua KPU Ramlan Surbakti Jumat lalu.
Menurut Agus Suryatno, anggota Panwaslu Kalimantan Timur, terbongkarnya kasus ini berdasarkan laporan staf keamanan di Konsulat RI kepada Panwaslu Kalimantan Timur. ”Menurut laporan, pemilih tidak hadir sehingga staf konsulat mencoblosnya sendiri,” katanya kepada wartawan Tempo News Room (TNR), Rusman.
Bentrokan di Timika
UPAYA mendamaikan dua kelompok warga Harapan Kwamki Lama di Mimika, Papua, gagal. Oktovianus Komagal, warga kelompok bawah, tewas dengan luka tembus dari dada kanan ke punggung kiri, Rabu pekan lalu. Komagal meninggal sesaat setelah polisi memberi tembakan peringatan buat menghalau massa yang siap perang.
Wakil Kepala Polres Mimika, Komisaris Rhinto Prastowo, menyatakan kematian korban belum bisa dipastikan apakah terkena peluru nyasar polisi. ”Kami belum mendapat keterangan secara resmi dari rumah sakit,” ujarnya kepada Cunding Levi dari TNR. Sehari sebelumnya, bentrokan antarkelompok ini melukai 11 orang dari kedua belah pihak yang terkena panah dan senjata tradisional lain.
Itulah buntut bentrokan sebulan lalu. Keluarga Umo Alom, korban bentrokan saat itu, menuntut uang ganti rugi pada pihak Wemum, yang belum dipenuhinya. Pihak keluarga Umo Alom pun memilih berperang kembali.
Mutasi Pejabat Polri
PERPUTARAN pimpinan kepolisian kembali terjadi. Posisi Kapolda Metro Jaya diserahkan Irjen Makbul Padmanagara kepada Irjen Firman Gani, yang sebelumnya Kapolda Jawa Timur. Makbul akan menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional setelah Komjen Togar Sianipar memasuki masa pensiun.
Posisi Kapolda Jawa Timur akan dijabat Irjen Edi Sunarno. Sedangkan jabatan Edi sebelumnya, Kapolda Sumatera Utara, diisi Brigjen Iwan Panjiwinata. Jabatan Kapolda Kalimantan Barat, yang kosong ditinggalkan Iwan, akan ditempati Brigjen Nanan Suparna, kini Wakil Kapolda Metro Jaya. Posisi lain yang akan dipertukarkan di antaranya Kapolda Jawa Tengah, Wakil Gubernur Akademi Polisi, hingga Wakil Kapolri.
”Tidak ada kaitan politik. Kalau pensiun kan harus diganti, yang lainnya muter,” kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Paiman, Jumat pekan lalu kepada Martha Wartha dari TNR.
Kubu Megawati Menyerang SBY
”PERANG” dua kubu calon presiden, Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri, memanas. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak tim penyidik koneksitas menetapkan SBY—sapaan Yudhoyono—sebagai tersangka. SBY dianggap bertanggung jawab atas penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996. ”Dia yang memimpin ra-pat-rapat penggalangan massa di Kodam Jaya,” kata Ketua TPDI, R.O. Tambunan, Kamis pekan kemarin.
Tudingan Tambunan itu berdasarkan pengakuan Gubernur DKI, Sutiyoso, yang saat terjadinya peristiwa itu menjabat Panglima Kodam Jaya. Kata Tambunan, sebelum pemilihan gubernur kedua, ia bertemu empat mata dengan Sutiyoso. Sutiyoso mengatakan rapat-rapat di Kodam Jaya menjelang penyerbuan itu dipimpin SBY, Kepala Staf Kodam Jaya masa itu.
Namun, Gubernur Sutiyoso menyebut pernyataan Tambunan itu ngawur. ”Seratus persen ngawur,” katanya. Dia mengaku tidak pernah bertemu Tambunan, bahkan tidak mengenal sang Ketua TPDI. Juru bicara Tim Gabungan Kampanye Nasional SBY, Max Sopacua, menuduh TPDI berniat memojokkan Yudhoyono. ”Ini sengaja dilontarkan untuk menyerang SBY yang lolos ke babak final,” ujarnya. Ia menegaskan, SBY selama ini hanya sebagai saksi dan tidak terlibat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo