Tiga hari sebelum pemilu presiden, Megawati datang ke Bangkalan, Madura, untuk meresmikan bentang tengah jembatan Surabaya-Madura atau yang dikenal dengan sebutan jembatan Suramadu. Megawati, yang datang selaku presiden, memang tidak melakukan kampanye dan sama sekali tidak menyinggung adanya pemilu presiden dalam pidatonya. Namun, suasana sangat berbau kampanye. Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron, secara terang-terangan menyatakan dukungan masyarakat Bangkalan terhadap kepemimpinan Megawati di masa depan. Pidato bupati yang sarat dengan kampanye ini mendapat tepuk tangan pengunjung.
Tetapi, tak jauh dari tempat upacara, ratusan warga Madura yang tergabung dalam Forum Komunikasi Cendekiawan Madura (FKCM), Lembaga Studi Pengembangan Madura (LSPM), Forum Komunikasi LSM Madura, dan Forum Kajian Santri untuk Masa Depan Madura melakukan aksi demo menolak kedatangan Presiden Megawati. Mereka menilai kehadiran Megawati itu sarat dengan kepentingan politik.
Proyek Suramadu sendiri bisa disebut sebagai "mercusuar" di era pemerintahan Megawati. Tadinya direncanakan ada tiga proyek sejenis, dua lainnya adalah jembatan Merak-Bakauheni yang kini sedang dalam kajian dan jembatan Banyuwangi-Gilimanuk. Yang terakhir ini mendapat tentangan keras dari masyarakat Bali sehingga tidak dilanjutkan.
Karena Suramadu menjadi proyek kebanggaan, ada kesan jadwal pengerjaannya dibuat sedemikian rupa sehingga bertepatan dengan kegiatan politik. Ada yang menilai proyek ini dikerjakan dengan terburu-buru. Ketika terjadi musibah di sana, enam girder (balok beton) jembatan itu ambruk dan menewaskan seorang pekerja, kesan pengerjaan yang terburu-buru itu mendapat pembenaran.
Musibah itu sendiri memang masih dikaji penyebabnya. Yang jelas, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Ir. Soenarno, membantah penyebabnya soal mutu balok beton yang tidak memenuhi standar. Menteri menyebutkan, penyebabnya adalah soal peralatan dongkrak yang tidak terpasang dengan semestinya. Belakangan diketahui dongkrak yang menjadi penyangga itu bocor olinya.
Kecelakaan kerja itu memang tidak mengganggu proyek. Kerugiannya "hanya" Rp 1,2 miliar dari nilai proyek yang besarnya Rp 2,4 triliun. Tetapi, persoalannya, apakah benar proyek ini dikebut pengerjaannya untuk tujuan-tujuan politis. Apakah itu hanya kebetulan seperti banyak sekali "kebetulan-kebetulan" yang dilakukan Presiden Megawati di saat-saat pemilu presiden ini?
Yang juga tidak mencuat ke permukaan adalah sejauh mana masyarakat Madura menyikapi jembatan raksasa itu. Selama ini masyarakat Madura dikesankan senang dengan jembatan yang akan menyatukan Jawa dan Madura itu. Beda dengan ketika ide jembatan Banyuwangi-Gilimanuk dilontarkan, masyarakat Bali menentang keras "penyatuan Jawa-Bali" yang akan merusak Bali.
Ternyata di Madura sendiri ada penentangnya. Menurut Ketua LSPM, Ir. H.R. Soelaiman, konsep pembangunan jembatan raksasa itu belum jelas dan belum pernah dibahas dengan elemen masyarakat Madura, khususnya ulama, para tokoh masyarakat, dan cendekiawan Madura. Ia menyebutkan, masyarakat Madura belum siap menghadapi persaingan karena 70 persen orang Madura yang menetap di pulaunya itu berpendidikan SD atau malah ada yang masih buta huruf. Menurut Soelaiman, yang dibutuhkan Madura adalah sekolah, bukan penyatuan pulau itu dengan "induknya" di Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini