Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DESA terpencil itu masih menyisakan bekas mala: sebotol Hemaviton, tisu bekas, minuman kotak sari kacang hijau, dan serpihan tengkorak manusia—yang bau anyirnya masih kuat menyengat. Tampak pula abu bekas bakaran di dekat kandang kerbau. Seorang warga menyaksikan, darah, darah manusia, yang tercecer di lokasi kejadian, dibakar dengan janur kering. Seutas tali tenda juga tersisa di sana.
Darah? Tengkorak? Di situlah, di Desa Lhok Gayo, Kecamatan Teunon, Kabupaten Aceh Jaya, Nanggroe Aceh Darussalam, yang penghuninya jarang, terletak 200 kilometer dari Banda Aceh menuju Meulaboh, baru saja tergores bencana—yang salah-salah bisa mencoreng muka tentara, juga pemerintah. Di situlah, Rabu pekan lalu, Luther Hendrik Albert, 54 tahun, dan Elizabeth Margareth, 49 tahun, dua turis asal Jerman, ketiban nahas: tertembak tentara. Albert tewas dan Elizabeth luka-luka.
Pasangan suami-istri itu datang ke Aceh sebagai turis—sesuai dengan cap visa di paspor yang ditemukan di dalam tas mereka. Mereka masuk ke Indonesia pada 20 April lalu, sebulan sebelum status darurat militer diberlakukan. Dari Malaysia, mereka masuk ke Aceh melalui Pelabuhan Belawan, Medan. Rencananya, mereka hendak berkeliling Aceh dengan sepeda—keliling dunia dengan sepeda sudah menjadi hobi tahunan keduanya.
Mereka tak hirau meski di kawasan perang itu banyak tentara siap tempur menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bireuen, Sigli, Krueng Raya, Sabang, dan Banda Aceh telah dilewati tanpa aral. Aceh Barat dilalui selama tiga hari. Mereka hendak tancap ke Aceh Selatan, lalu menuju Tanah Karo, sebelum balik ke negaranya lewat Belawan.
Tapi pelesir berubah jadi mala. Saat berhenti di semak-semak pantai Lhok Gayo, keduanya mendirikan tenda di tanah datar dekat pantai. Tak tahunya, di situlah, di kawasan yang diapit tebing dan laut, saat menjelang beristirahat malam, mereka tertembak tentara. Albert tewas di tempat, sementara lutut kanan sang istri terluka parah.
Bencana berawal dari ulah Zakaria, penduduk Lhok Gayo. Ia mengadu ke pos Batalion Infanteri 521 Kodam Brawijaya, yang bermarkas sekitar satu kilometer dari rumahnya. Menurut Penguasa Darurat Militer di Aceh, Mayor Jenderal Endang Suwarya, Zakaria mengaku mendapat ancaman GAM karena anggota keluarganya dekat dengan TNI.
Pengakuan berikutnya bikin kaget batalion dari Surabaya, Jawa Timur, itu. Zakaria bilang, di belakang rumahnya, ia melihat nyala lampu senter yang mencurigakan. Dilapori soal aneh, sembilan prajurit Batalion Infanteri 521 langsung mendatangi lokasi. Di keremangan malam itu, para prajurit berbagi kelompok: kelompok satu dipimpin Sersan Dua Edi, sementara yang lainnya di bawah komando Kopral Satu Sutomo.
Ternyata benar. Di sana, mereka masih melihat nyala lampu senter itu. Edi sempat bertanya, "Siapa di sana?" Ia juga meminta yang disapa agar berdiri dan mengangkat tangan. Setelah ditunggu, ternyata tetap tak ada jawaban. Bahkan cahaya senter malah dipadamkan. Mereka memberikan peringatan berupa tembakan ke atas tiga kali. "Karena tetap tidak ada jawaban, lalu tembakan diarahkan ke sasaran," ujar Endang Suwarya.
Bruuk, yang di sana terkapar. Tak lama berselang, Sutomo merayap mendekat. Baru pada posisi 30 meter dari sasaran, ia sadar, yang tertembak bukanlah anggota GAM, lawan yang dicari, melainkan dua orang asing. "Satu orang tewas, satu luka," tutur Endang. Seorang prajurit sempat mengikat lutut Elizabeth untuk menghentikan perdarahan. Albert tergeletak bersimbah darah. Korban dievakuasi ke Rumah Sakit Korem Meulaboh, Aceh Barat. Sepeda mereka tergeletak di dekat kemah.
Kedutaan Besar Jerman di Jakarta lalu bertindak. Atase militernya dikirim khusus dan kini sudah berada di Aceh. "Ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Duta Besar Gerhard Fulda menjawab pertanyaan wartawan di Yogyakarta. Hasil penelitian sang atase militer akan dijadikan bahan evaluasi.
Gerhard Fulda mengaku belum menerima informasi cukup tentang apa yang sebenarnya terjadi di Aceh. "Saya kira mereka tertembak karena tak ada komunikasi. Mereka tidak mengerti," katanya. Cuma, ia kaget, betapa orang tak bersenjata dan pelesir sebagai turis sampai bisa tertembak. Jadi? "Saya kira semua informasi harus diteliti secara detail," ujarnya. Ia tak puas dengan penjelasan resmi petinggi TNI, yang menyebut pasukannya sudah benar beroperasi sesuai dengan prosedur.
WM, Tomi Lebang, Yuswardi Ali Suud (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo