PERANG-perangan memang mainan, tapi perang di Aceh perang sungguhan. Apalagi bagi anak seusia Azhari M. Isa, 10 tahun. "Bunyinya keras sekali. Sambil berdoa, saya sempat menghitung ada 12 kali letusan. Bukan rentetan, tapi satu-satu," papar bocah kelas 4 SD yang sekolahnya telah menjadi arang dan abu itu tentang salah satu pertempuran yang terjadi di sekitar kampungnya.
Anak Desa Cot Tarom Baroh, Peusangan, Bireuen, ini terlalu kecil untuk memahami jalan pikiran orang dewasa dari kedua pihak yang berperang. Azhari suka perang-perangan, tapi tidak perang sungguhan.
Ia tidak sendirian. Kegetiran menimpa hampir setiap orang di Aceh. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, sampai minggu terakhir, sudah ada 20 kasus pelanggaran dilakukan kedua belah pihak yang bertempur. Korbannya rata-rata anak-anak dan perempuan. Adakah cara menghindarinya?
Untuk memantau pelanggaran, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh, yang terbang ke Aceh Kamis lalu. Tim pimpinan M.M. Billah itu akan memantau, mengumpulkan data, dan menginvestigasi dugaan pelanggaran hak asasi terhadap rakyat sipil di Nanggroe Aceh Darussalam selama operasi militer.
Menurut Billah, penerapan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam, yang sudah berjalan hampir setengah bulan, telah menimbulkan summary killings. Salah satunya terjadi di Lawang, Bireuen, 27 Mei lalu. Kejadian ini melanggar pasal tiga Konvensi Jeneva, khususnya tentang extrajudicial punishment and execution (perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan penyiksaan). Selain itu, kejadian tersebut menabrak hak asasi manusia: hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 39/1999.
Sebelum Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian bekerja, banyak korban telah jatuh. Ambil contoh Sakdiah binti Ismail, 55 tahun. Warga Desa Lamcok, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen, ini tewas didor di rumahnya saat berdoa seusai salat magrib, Senin malam pekan lalu. Almarhumah adalah Kepala Sekolah Dasar Blang Bladeh, Bireuen. Sedangkan anak keduanya, yang malam itu ikut tertembak, Yunizar, 25 tahun, guru honorer SMP di Bireuen pula. Meski ia selamat, sebutir peluru menerjang pantatnya. Ia kini tergolek lemah di Rumah Sakit dr. Fauziah, Bireuen.
Waktu kejadian, malam belum larut. Namun suasana sesepi di kuburan, apalagi listrik sudah beberapa hari padam setelah tiang penyangga kabelnya dirobohkan orang. Hanya diterangi lampu templok, Sakdiah dan Yunizar berdoa selepas salat magrib sambil menunggu isa. Tiba-tiba pintu rumah mereka digedor. Mereka terperanjat.
Ketika mereka memberanikan diri bertanya, si tamu menjawab dengan gedoran lebih gencar. Menduga mereka penjahat, ibu dan anak itu berteriak "maling." Namun tak ada tetangga yang hirau—sedangkan tamu tak diundang malah memecahkan kaca jendela. Dari sana pistol dijulurkan dan… dor, dor! Sakdiah tersungkur di atas sajadah bersimbah darah.
Yunizar mengaku tak pernah, dan tiada alasan, ada teror atas keluarganya. Ia juga tidak tahu kesalahan mereka. "Yang pernah kami lakukan hanyalah mengikuti upacara Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei lalu, di depan pendapa bupati. Pada saat itu memang tidak ada warga lain dari kampung yang ke sana," paparnya kepada TEMPO. Sakdiah adalah korban pertama dari kalangan pendidik di Aceh dalam masa darurat militer.
Juru bicara Komando Operasi TNI di Aceh, Letkol CAJ Ahmad Yani Basuki, menuding pelakunya anggota GAM, dan pihaknya berupaya mengejar mereka. "Tapi bisa jadi yang kita tangkap di tempat lain merupakan pelaku di tempat itu," katanya. Setelah beraksi, kata Yani, anggota GAM kerap berpindah tempat.
Derita versi lain dialami Mariani. Ibu muda dengan se- orang bayi ini harus hidup terlunta di pengungsian Kaway XVI, Aceh Barat. Ia tak menyangka akan ditinggal suaminya, Firdaus, 30 tahun, yang bergerilya di belantara Bukit Barisan. "Saya dinikahinya setahun lalu dan sebelumnya tak tahu kalau ia anggota GAM," katanya. Ia tampaknya sakit, atau mengalami stres. Di bagian wajahnya tertempel koyok. Dan di kening bayinya, yang belum bernama, ada gerusan kunir untuk menangkal demam.
Sakdiah yang tewas mungkin sudah di haribaan Tuhan. Tapi, bagi Azhari, Yunizar, Mariani, dan bayinya, penderitaan masih panjang jika perang tetap dikobarkan. Jadi, hentikanlah!
Edy Budiyarso, Zainal Bakri, TNR (Lhokseumawe, Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini