Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lamentasi Maria

Semana Santa atau Pekan Suci Paskah adalah masa paling dinantikan di Kota Larantuka, Flores Timur. pada jumat suci, warga kota mengarak patung maria Dukacita. mereka berprosesi keliling kota seraya mengenang kematian Yesus. di bawah cahaya ribuan lilin, kota di tepian timur pulau bunga ini larut dalam ratapan yang menyayat hati.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATANYA sedikit sembap. Ada codet luka menggores mukanya. Dari jidat kanan, codet itu menggurat pojok alis, melewati bagian pipi hingga ke dagu kiri. Membuat rautnya seperti hendak retak. Bibirnya agak menguncup. Hidungnya bangir. Bintik noda kecokelatan tersebar di pipi dan dahi.

Inilah wajah Maria Dolorosa, Bunda Berdukacita, junjungan Kota Larantuka, Flores Timur. Ada keanggunan dalam wajah itu: paras seorang perempuan pedesaan bersahaja Eropa. Air mukanya sendu, betul-betul berduka. Seluruh air matanya seolah-olah baru saja tumpah dan kelopak matanya, andai bisa kita usap, masih kita rasakan basah. Sorot matanya nanar. Tatapannya kosong.

Apalagi hanya muka dan telapak tangan kanan yang terlihat. Jubah bersulamkan ornamen kembang-kembang putih keperakan membungkus seluruh tubuhnya setinggi satu setengah meter. Cara jubah menyelimutinya juga demikian membersitkan pancaran kesedihan. Yang ditangkupkan ke tubuhnya seolah-olah bukan sebuah mantel, melainkan selubung untuk meredam perasaan kehilangan. Kita tak tahu apakah tubuhnya juga telah rusak di dalam.

Asal-usul patung itu masih misterius. Dari mana dan kapan sampai ke Larantuka-ibu kota Kabupaten Flores Timur-tak ada yang tahu pasti. Ada yang mengatakan Maria terdampar di Pantai Ae Kongga. Kapal Portugis abad ke-16 memang banyak yang karam di perairan Pulau Flores. Mungkin, dari sekian kapal yang kandas, ada barang yang terapung-dan salah satunya patung Maria tersebut.

Kalau benar begitu, codet yang membelah pipinya itu bisa jadi lantaran patung tersebut diempaskan gelombang atau terbentur-bentur karang tajam. Kisah lain, tiba-tiba saja patung Maria tersebut muncul tergeletak di pantai jauh sebelum kedatangan para misionaris Portugis.

Patung Maria Dolorosa dianggap amat keramat oleh warga Larantuka. Ia jantung-hati orang Larantuka, pancaran rohani mereka. Sekali setahun pada Pekan Suci Paskah (Semana Santa), ia dikeluarkan dari Kapel Tuan Ma-tempat penyimpanannya. Oktober 2010, ada perayaan pesta lima abad patung itu. Saat Maria hendak diusung ke Katedral Larantuka, terjadi polemik. Sebagian warga takut karena memunculkan Bunda Dukacita di luar Paskah melanggar tradisi atau tidak.

Patung Maria Dolorosa itu maka adalah devosi langka. Di mana-mana di belahan dunia, selama Paskah selalu diwarnai prosesi yang kebanyakan adalah arak-arakan Yesus memanggul salib. Boleh dibilang tradisi mengarak patung Maria berduka tersebut hanya ada di Larantuka. Kota ini tercemplung dalam genangan lamentasi pada hari Jumat Agung-saat perarakan Maria Dolorosa. Seluruh kota seolah-olah terisap ke dalam rasa duka yang menggelantung di wajah patung itu.Hawa laut yang berembus di kota kecil itu terasa memilukan. Imaji penderitaan, rasa penyerahan diri, dan kepasrahan kepada "sesuatu yang tak terlihat" bercampur menjadi satu.

JUMAT Suci. Pukul 7 malam. Mulanya di Katedral Larantuka semua orang berkumpul. Maria, yang akan diarak, disandingkan dengan sebuah peti mati. Peti mati ini bagian yang tak terpisahkan darinya. Peti ini pun hanya dikeluarkan sekali setahun. Bedanya adalah tempat penyimpanan. Patung Maria disimpan di lemari jati di belakang altar Kapel Tuan Ma, sedangkan peti mati ini disimpan di Kapel Tuan Ana, yang letaknya di ruas jalan yang sama berjarak satu kilometer.

Warga Larantuka menyebut patung Maria sebagai Tuan Ma dan peti mati itu Tuan Ana. Seperti Maria, peti mati itu misterius. Peti "purbawi" tersebut tak pernah dibuka ratusan tahun. Entah ada apa di dalamnya, tak pernah ada yang tahu. Dari mana peti mati kuno itu berasal, tabu membicarakannya. Ada kepercayaan, siapa berani membuka, ia bakal mati seketika.

Dan pukul 7 malam itu, bila kita datang ke Katedral, jemaat telah mengular di halaman. Mereka membawa lilin. Pakaian mereka hitam-hitam. Baju hitam, selendang hitam. Ibu-ibu berkebaya hitam dengan motif salib hitam. Anda mulai bisa merasakan bagaimana Larantuka terbenam dalam kesyahduan. Suasana mencekam. Darasan doa sahut-menyahut, menyeret Larantuka ke dalam duka.

Pada malam Jumat Suci, bila kita beruntung melihat wajah patung Maria, parasnya yang sendu makin bertambah sendu. Ia seolah-olah hidup dan memberi getaran sampai jauh ke barisan belakang. Kota hening. Tak ada suara apa pun-deru sepeda motor, suara celoteh manusia-semua binasa, kecuali gumaman doa. Terasa kuat prosesi ini bukan sesuatu yang dibawa dari luar. Ia tumbuh dari dalam, dari akar kultural Larantuka. Ia muncul dari oyot-oyot keringat serta darah petani dan nelayan Larantuka. Kita melihat pintu rumah-rumah di kanan-kiri jalan yang dilalui prosesi selalu terbuka. Di teras diletakkan meja kecil penuh bunga.

Mengawali iringan, seorang berjalan di depan menabuh genderang perkabungan yang disebut genda do dengan ritme tertentu. Bunyi ketukannya menimbulkan perasaan gamang dan miris. Ketukan ini seolah-olah satu-satunya suara yang hidup pada malam itu. Di belakang penabuh, rombongan anak-anak membawa salib hitam, serai, dan dua lilin besar, serta rombongan pembawa lukisan rangka manusia.

Sungguh ini suatu teater kematian. Disusul anak-anak yang membawa alat-alat penyengsara Yesus: krenti (rantai), krona spina (mahkota duri), tiga batang palu besar, dan alat penusuk. Selain itu, tongkat dan bunga karang yang dipakai untuk mencelup cuka yang diminumkan kepada Kristus agar ia bisa mati dalam keadaan tak sadar, juga lembing yang merobek lambung Yesus. Lalu ada tempayan, lambang sikap kemunafikan Pontius Pilatus, wakil pemerintah Roma di Yerusalem yang menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi. Juga ada tripleks berbentuk ayam: perlambang Petrus, murid yang sempat menyangkal setelah Yesus ditangkap.

Perhatikanlah bagaimana peti mati dipikul. Peti mati Tuan Ana beserta tatakannya dipikul empat orang. Mereka mengenakan kostum putih gaya Portugis abad pertengahan dan topi kerucut merah. Wajah mereka tertutup. Hanya ada celah yang memperlihatkan mata. Mereka adalah orang-orang yang bernazar khusus, sering kali orang dari luar Larantuka, seperti Jakarta dan kota lain di Indonesia, bahkan dari luar negeri.

Mereka memerankan Nikodemus, yang menurunkan Yesus dari salib lalu memakamkannya di Bukit Golgota. Nikodemus adalah anggota majelis Farisi yang diam-diam mengasihi ajaran sang Guru. Ia membawa campuran minyak mur dan gaharu. Dan mengafani Isa dengan kain linen. Warga Larantuka dengan lafal lokal menyebut para Nikodemus itu Lakademo.

Sebelum para Lakademo menggotong peti mati dari Katedral, sore harinya mereka menampilkan suatu "teater" di penguburan umum Larantuka. Mereka menyeruak di antara nisan-nisan dan peziarah yang memadati pemakaman. Hari-hari menjelang Paskah, pekuburan Larantuka penuh peziarah. Sanak saudara yang meninggal membersihkan dan memperindah nisan. Lilin-lilin ditancapkan. Di antara keriuhan itu, para Nikodemus berseliweran. Begitu masuk gerbang pekuburan, mereka langsung berjalan lurus menuju titik tengah pemakaman. Mereka berkeliaran dari nisan ke nisan.

Pada saat prosesi, setiap langkah mereka berhenti, prosesi iring-iringan yang mengular sampai lebih dari sekilometer itu pun berhenti . Ada delapan titik perhentian yang disebut armida. Armida melambangkan perhentian jalan salib-perjalanan penderitaan Yesus ke puncak Golgota. Tradisi Kristiani mengenal 14 titik penderitaan Yesus, tapi di Larantuka hanya ada 8 titik.

Pada setiap armida terdapat momen seorang perawan muda bergaun biru melantunkan lagu Ovos.

O vos omnes qui transitis peer viam
Hai kamu sekalian yang lewat di jalan

Suaranya sangat menyayat. Seolah-olah itu satu-satunya suara yang diizinkan Tuhan muncul di bumi. Seluruh iring-iringan prosesi hening, khidmat mendengarkan suara itu. Betapapun jauhnya, sayup-sayupnya yang perih menembus kalbu. Sembari bernyanyi, si penyanyi perlahan-lahan membuka gulungan bergambar simbol wajah Kristus bermahkota duri. Tubuh wanita itu memutar menghadap setiap arah pejalan. Tangannya menunjuk pada wajah sang Kristus. Ecce Homo. Lihatlah manusia ini.

Attendite et videte:
Si est dolor sicut dolor meus
Perhatikan dan lihatlah:
Adakah duka sebesar dukacitaku.

Setiap kali Ovos selesai dilantunkan, satu anggota Konfreria-kelompok kaum pria non-biarawan-memutar alat dari kayu yang berbunyi krek kerek kerek krek. Itu alat yang mengimajinasikan bagaimana paku mulai ditancapkan pada telapak Yesus. Para peziarah pada momen itu bisa membayangkan bagaimana sakitnya Kristus saat disalib. Darah keluar dari telapak tangan dan kakinya. Tiap kali berhenti di armida, dilakukan pemberkatan salib. Lalu umat bersama-sama menyenandungkan lagu sesal tobat. Kasihanilah kami Tuhan Allah, kasihanilah kami, sembari bersimpuh di jalan:

Misericordia Senhor Deus, misericordia.
Kasihanilah, Tuhan Allah, kasihanilah.

Salah satu bagian prosesi yang menarik, seperti saya pernah saksikan, adalah ketika ibu-ibu berkerudung berjalan membawa kain besar hitam yang diangkat ke atas kepala mereka. Kain hitam itu digelombang-gelombangkan. Mereka melambangkan diri sebagai wanita-wanita Yerusalem, satu-satunya kaum yang berani menyatakan belasungkawa atas kematian Kristus. Mereka seolah-olah bermetamorfosis menjadi Maria Magdalena, Maria Kleopas, dan Maria ibu Yakobus, salah satu murid Yesus yang pada saat Yesus berjalan memanggul salib berani menyeruak sampai algojo terkesima melihat keberanian mereka. Bahkan, saat Maria Magdalena tersungkur memeluk salib Kristus, algojo tak menghalangi.

Es Domine
Es Salvator noster
Engkau, O Tuhan
Engkaulah Penyelamat kami

Pupilli facti sumus absque patre
matres nostrae quasi viduae
Kami menjadi anak yatim, tak punya bapa,
dan ibu kami seperti janda

Ibu-ibu itu lalu melakukan gerakan-gerakan tak terduga. Mereka menyerong ke sana-kemari, menyamping kanan-kiri, terhuyung-huyung sana-sini membelah iring-iringan. Kadang mereka membungkus seluruh tubuh mereka dengan kain panjang itu. Lalu, seperti hendak berontak, mereka berlari ke sana-kemari dengan meraung sejadi-jadinya. Salah seorang dari mereka saat itu mungkin dalam keadaan trance.

AGAR bisa utuh memahami Semana Santa, datanglah sebelum Jumat Suci. Minimal dua hari sebelum prosesi. Mungkin hotel-hotel sudah penuh. Larantuka tak punya banyak hotel atau losmen. Namun Anda bisa menginap di rumah penduduk. Atau beberapa biara menyediakan kamar-kamar khusus untuk peziarah. Memang lebih baik menghubungi mereka dulu daripada dadakan. Tinggal di rumah penduduk justru akan memahami bagaimana suasana batin warga.

Susurilah lebih dulu kota mungil ini. Larantuka adalah kota kapel. Di segala penjuru bertebaran tempat ibadah kecil-kecil. Rumah-rumah warga banyak memiliki bilik berdoa. Mereka memiliki kisah-kisah gaib sendiri sehubungan dengan kapel-kapel ini. Kunjungilah pelabuhan. Lihatlah perahu-perahu dan sampan-sampan. Amatilah bagaimana warga bahu-membahu memasang kayu-kayu tempat lilin di rute-rute prosesi.

Pada hari Kamis Putih, para sesepuh memandikan patung Maria. Sepanjang hari itu sampai subuh Jumat, jemaat bersimpuh meminta air bekas cucian. Ribuan orang berbaris tertib memanjang hingga tepi laut. Satu per satu mereka bersimpuh, mengusap kaki dan mencium kaki Maria. Bergantian lima menit, mereka melakukan permesa-permohonan. Sedangkan di kapel itu, ibu tua-para mama muji atau mama pendoa-terus-menerus mendaras doa dengan bahasa Portugis kuno yang orang Portugal sendiri sekarang tak mengerti. Mereka meminta keselamatan Larantuka.

Pada saat bersamaan di Katedral, pada sore hari para Konfreria dalam balutan jubah putih berkalung medali Santo Dominikus melantunkan lagu-lagu dari ratapan Nabi Yeremias:

"Jalan-jalan Sion diliputi dukacita.... Lalu disambut kor bersama: Yerusalem,Yerusalem berbaliklah kepada Allah Tuhanmu."

Jumat pagi, warga mengarak patung Maria dari Kapel Tuan Ma ke Katedral. Dari sinilah pada pukul 7 malam itu inti prosesi dimulai. Dari sinilah kaki Anda seolah-olah ditarik oleh iring-iringan gaib. Mengikuti ke mana saja devosi itu bergerak. Bila esok, setelah bangun pagi, tubuh Anda pegal-pegal, mandilah, lalu bersantai. Seruputlah kopi. Tubuh Anda yang letih semoga segar kembali. Menghamburlah ke jalanan dan hiruplah udara Sabtu pagi. Anda bisa menyaksikan atmosfer Larantuka berangsur pulih setelah prosesi dukacita.

Di sini, pada Sabtu pagi itu, seolah-olah terjadi sebuah katarsis. Larantuka kembali normal. Di mana-mana warga mulai menggemakan Maria Hallelujah, yang mengalihkan suasana murung ke arah gembira yang mengharukan. Perubahan suasana ini terasa menggetarkan dan sangat membekas. Bahkan bagi seorang muslim seperti saya.

Hotel dan Kuliner

Tidak banyak hotel di Larantuka, jadi kamar perlu dipesan sejak jauh hari. Biaya penginapan Rp 200-300 ribu per malam. Ongkos ini sudah termasuk sarapan kue atau roti ala kadarnya plus teh atau kopi. Jika tidak mendapat kamar di hotel, Anda bisa menginap di rumah penduduk dengan tarif lebih murah. Beberapa biara membuka diri bagi tamu luar kota khusus pada hari-hari Semana Santa.

Ikan menjadi lauk utama di kota ini. Menu non-ikan juga tersedia di banyak warung makan besar dan kecil. Larantuka memiliki beberapa rumah makan Padang. Biaya sekali makan sekitar Rp 15-20 ribu.

Waktu Terbaik

Perarakan patung Maria Dolorosa dilakukan pada Jumat Agung di bulan April, tapi upacara Semana Santa sudah mulai digelar sejak Rabu Trewa, sebelum Kamis Putih. Jadi usahakan tiba sebelum Rabu Trewa atau minimal Kamis Putih.

Bagaimana ke Sana:

Ada banyak cara ke Larantuka. Terletak di pesisir selatan Flores Timur-salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur-kota ini bisa dicapai lewat darat, laut, dan udara. Dari luar pulau, Anda bisa naik pesawat, turun di Kupang, Timor. Teruskan perjalananan dengan penerbangan lokal Transnusa dan Susi Air ke Bandara Gewayantana, Larantuka. Tarif pesawat Kupang-Larantuka sekitar Rp 650 ribu.

Cara lain adalah turun di Bandara Frans Seda, Maumere, di Kabupaten Sikka-sekitar 100 kilometer dari Larantuka. Dari Maumere, ada bus antarkota dengan biaya Rp 50 ribu per orang. Mobil carteran juga banyak tersedia. Biayanya agak mahal, sekitar Rp 650 ribu dengan waktu tempuh Maumere-Larantuka sekitar 4 jam.

Bila ingin berwisata bahari, silakan naik kapal Pelni (www.pelni.co.id, hotline 0217980606), turun di Pelabuhan Maumere atau langsung di Pelabuhan Larantuka. Alternatif lain adalah naik feri dari Kupang dengan ongkos Rp 200 ribu per orang. Jarak tempuh 8-10 jam.

Pelancong Jakarta bisa memesan paket wisata Semana Santa-atau Pekan Suci Paskah-melalui Sabda Tour. Paket liburan ini makan waktu enam hari dengan biaya Rp 8,5 juta per kepala. Tur ini meliputi pula gereja tua di Sikka, danau tiga warna Kelimutu di Ende, serta seminari-seminari di Flores. Kontak penyelenggara tur 0216328864, 081380205069.


BUDAYA

Festival Sentani, Papua
Pesta di Atas Danau

DI lereng Cagar Alam Cycloops, sekitar 30 kilometer dari Kota Jayapura, terbentang panorama permai dan mistis: Danau Sentani. Seluas 245 ribu hektare, pulau-pulau hijau menyembul dari permukaan air yang biru-tenang, mirip mangkuk minyak raksasa. Di sinilah Festival Danau Sentani dilangsungkan setiap tahun sejak 2008, selama lima hari.

Berawal pada 19 Juni, pesta rakyat ini bertujuan mengangkat kekayaan budaya suku-suku di sekitar danau. Pantai Kalkhote, Kampung Ohei, Sentani Timur, menjadi pusat perhelatan. Lokasi ini dapat dicapai dalam 15 menit dengan mobil dari Bandar Udara Sentani.

Sebanyak 19 distrik di Kabupaten Jayapura aktif terlibat. Di darat dan di tengah danau, kita dapat menyaksikan atraksi adat, tarian, pergelaran musik, dan pameran kerajinan seni ukir kulit kayu. Aneka kuliner khas Sentani disajikan dengan murah hati.

Acara puncak adalah tarian ratusan pemuda di atas perahu berhiasan daun kelapa. Berbalut baju adat, mereka menari sembari membawa hasil panen dan binatang buruan. Setelah mengelilingi danau sekitar 10 menit, mereka turun dari perahu sembari terus menari dan berpekik-sorak.

Tarian buaya juga amat dinantikan penonton: para penari lelaki berderap ke arena festival sembari memikul buaya besar yang diikat pada sebatang kayu. Penari perempuan menari sambil menggendong buaya kecil.

Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur
Paus Persembahan Lamalera

TRADISI menangkap paus di Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, hadir sejak berabad lampau. Penangkapan mamalia laut itu berlangsung Mei-Oktober setiap tahun. Kebiasaan ini diperkirakan bermula pada 1500-an, bersamaan dengan berdirinya kampung nelayan Lamalera di ujung selatan Lembata.

Adat warga setempat memang menunggu paus lewat dan menangkapnya, bukan memburunya. "Mereka hanya menangkap paus sperma-bukan jenis lain-di perairan dekat Lamalera," kata Bona Beding, 48 tahun, pria asli Lamalera yang aktif di bisnis penerbitan.

Paus yang ditangkap dibagikan ke semua warga desa-sekitar 3.000 jiwa. Dagingnya seolah-olah persembahan kampung bagi para janda, fakir miskin, dan yatim piatu, yang mendapat bagian lebih dulu. Setelah kebutuhan seluruh desa terpenuhi, sisanya dibarter dengan bahan kebutuhan pokok semacam jagung dan beras. Atau dijual untuk biaya sekolah anak dan kebutuhan lain.

Para nelayan Lamalera menggunakan peledang atawa perahu kayu tradisional tanpa mesin dengan layar seadanya. Tali untuk menangkap paus dirajut dari daun pohon gebang dan serat batang waru. Untuk menangkap mamalia laut raksasa itu, para matros alias penangkap paus memakai seutas leo alias tali sakral.

Tali ini terbuat dari kapas yang dipintal dan dilumuri getah kulit pohon turi sebelum dikeringkan. Setelah dipakai, gulungan leo disimpan di bilik khusus rumah adat.

Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat
Doa Syukur di Lereng Halimun

Tadinya digelar setiap tahun di berbagai kampung adat Sunda, kini tinggal sedikit yang merayakan Seren Taun: upacara adat mensyukuri hasil panen. Salah satu yang masih setia menyelenggarakan ritual ini adalah masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul di Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi.

Masuk wilayah Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, Ciptagelar berjarak sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu. Sejak 1383, kampung yang terlindung dalam Taman Nasional Gunung Halimun ini setia mempersembahkan tanda syukur atas hasil panen melalui ritual adat Seren Taun.

Tradisi leluhur masih mereka pegang teguh setelah ratusan tahun. Umpamanya, dalam mendirikan rumah, mereka hanya boleh memakai ijuk. Setiap awal Agustus atau September, pemimpin adat Ugi Sugriana Rakasiwi atau Abah Ugi memimpin warga Ciptagelar memulai ritual syukur.

Makna upacara ini adalah penyerahan hasil panen tahun sebelumnya serta memohon berkat Tuhan agar panen tahun mendatang lebih berhasil. Selama upacara, para lelaki berbusana serba hitam. Kaum perempuan berkebaya dipadu kain panjang. Tamu datang dari jauh dan dekat, menikmati beragam pentas kesenian tradisional semacam calung, seni jipeng, jaipong, dan wayang golek.

Puncak acara adalah prosesi mengantar padi ke lumbung adat. Ritual ini didahului rapalan kiwih: melagukan syukur dan harapan. Doa juga dipanjatkan bagi Nyi Pohaci atau Dewi Sri sebagai lambang kesuburan serta Prabu Siliwangi, leluhur masyarakat adat Banten Kidul itu.

Seren Taun sekaligus menjadi sidang tahunan majelis adat yang dipimpin oleh Abah Ugi.

Papua
Seni Tinggi di Rawa-rawa

Tatkala Michael Rockefeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller, menghilang di wilayah Asmat dalam ekspedisinya pada 1961, nama Asmat tiba-tiba melambung ke dunia luas. Terletak di wilayah selatan Papua, menghadap Laut Arafuru, Asmat amat masyhur dengan ukiran kayu yang bernilai seni tinggi. Selama berabad-abad, suku ini menghasilkan karya seni ukir berupa simbol perang, seperti perisai, tombak, patung leluhur, tifa, kano, dan dayung.

Mengukir adalah cara orang Asmat memelihara hubungan dengan roh para leluhur. Ukiran mereka bahkan diyakini berdaya magis. Kita bisa menyaksikan kekayaan budaya ini dalam Festival Asmat di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, setiap pekan kedua Oktober.

Festival yang berlangsung sejak 1981 ini menghadirkan seniman ukir, tari, dan musik terbaik dari seluruh distrik. Uskup Agats, Mgr Alfons Sowada, adalah penggagasnya. Penyelenggaraan festival pun hasil kerja sama Keuskupan Agats dengan pemerintah kabupaten setempat.

Pengakuan UNESCO terhadap Asmat sebagai salah satu warisan dunia menaikkan daya pikat daerah ini. Tapi akses terbatas masih menjadi sandungan. Alam yang berawa-rawa dan berlumpur membuat daerah ini hanya bisa dicapai lewat udara dari Jakarta atau Bali ke Timika. Dari sini, penerbangan berlanjut dengan pesawat kecil ke Bandara Ewer: gerbang Asmat. Rute terakhir Ewer-Agats bisa ditempuh dalam 15 menit dengan kapal cepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus