Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IKLAN End Year Sale, Midnite Sale, Late Night Sale, dan diskon besar-besaran bertebaran. Lampu warna-warni yang meriah dan megah di mal-mal dan pusat belanja Jakarta menambah semarak suasana libur akhir tahun. Semua itu menjadi daya tarik penduduk kota untuk datang. Gedung-gedung raksasa dengan konsumsi energi listrik superjumbo itu pun menjadi sasaran warga berkerumun dan beraktivitas.
Jakarta pascakrisis ekonomi 1998 memang memiliki rapor pertumbuhan pusat belanja yang impresif. Hanya dalam tiga tahun, sebelum 2008, misalnya, sudah muncul 16 pusat belanja baru seluas sekitar satu juta meter persegi. Demam mal ini juga mewabah hingga ke kota-kota di daerah. ”Ruangan kosong” di kota-kota kecil dianggap tidak produktif sehingga disulap jadi pusat belanja meniru Jakarta. Aktivitas penduduk kota kecil pun berpindah, dari alun-alun, pinggir sungai, dan taman kota ke mal.
Kondisi seperti itu sebenarnya bukan hal yang membanggakan. Kota yang baik bukan lanskap yang susah bernapas karena dikepung beton, baja, dan kaca. Sehingga warganya pun akhirnya tidak punya pilihan untuk beraktivitas di ruang terbuka. Seperti kata Enrique Penalosa, kota yang sakit adalah bila warganya tidak bisa menikmati ruang terbuka publik. Mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, yang sukses membuat transformasi kota menjadi lebih ramah lingkungan dan proruang terbuka termasuk dengan moda transportasi umum yang manusiawi itu percaya bahwa fasilitas untuk pejalan kaki, sepeda, juga aktivitas di luar, bisa memperbaiki kualitas hidup orang.
Kita tahu dari berita atau kisah-kisah para pelancong kelas dunia tentang daya tarik kota-kota yang kaya akan festival di ruang terbuka publik. Perayaan di kota-kota itu tidak hanya menjadi magnet penduduk setempat atau kawasan lain, tapi juga dari negara lain. Tidak sedikit orang dari berbagai negara datang di Rio de Janeiro untuk menikmati Mardi Gras, atau ke Pasadena untuk melihat arak-arakan bunga di jalan-jalan kota. Untuk sampai ke jajaran kota kreatif dunia, ”kota-kota festival” itu pasti sudah memiliki sinergi bagus antara pemerintah dan komunitas kreatif kota.
Untuk menunjukkan dukungan pada ruang terbuka publik, Tempo memberikan penghargaan kepada tokoh arsitek tahun ini untuk komunitas atau/dan pemerintah kota yang berupaya menghidupkan kota dengan festival rakyat di ruang terbuka publik. Karena, dengan ide dan usaha mereka, lanskap kota bisa lebih cair dan hangat berkat pemanfaatan ruang-ruang kota untuk kegiatan seni, budaya, musik, olahraga, pameran, atau wujud ekspresi kreatif lainnya. Tercipta selebrasi di ruang terbuka publik kota.
Dengan pertimbangan agar muncul unsur ide orisinal dan semangat menumbuhkan identitas diri tidak meniru kota besar atau Jakarta Tempo memilih kota yang memiliki festival kreasi sendiri. Yogyakarta, Singkawang, Solo, dan kota kota lain yang sudah memiliki festival tapi berdasar pada tradisi, juga agama, tidak dimasukkan dalam pemilihan ini. Mengapa? Ya, karena kota-kota itu sudah ”dimudahkan” lantaran ada tradisi tersebut. Singkawang sudah pasti punya daya tarik dengan perayaan Cap Gomeh, dan Yogya sudah sejak zaman dulu punya Sekatenan dan Syawalan.
Maka Tempo memutuskan memilih Jember, Bandung, dan Samarinda. Penghargaan diberikan untuk Dynand Fariz dan komunitasnya yang berhasil membuat fashion di jalanan, yang mengubah Jember menjadi kota ”hidup”. Memang Jember Fashion Carnaval hanya berlangsung sehari dalam setahun. Namun, setelah tujuh kali berlangsung, dampak positifnya sudah mulai tampak.
Apresiasi juga diberikan kepada berbagai komunitas kreatif Bandung yang berhasil menggairahkan kembali aktivitas di ruang terbuka publik. Melalui Helarfest, jejaring komunitas kreatif Bandung yang menjadi kekuatan utama kota itu berhasil memberikan warna baru pada kota yang sebenarnya sudah memiliki daya tarik historis. Namun anugerah yang didapatkan Kota Kembang ini tidak dimanfaatkan oleh pemerintahnya. Nah, berkat perjuangan komunitas kreatiflah, ruang-ruang kota di Bandung kembali semarak.
Yang terakhir adalah Samarinda, yang pemerintah kotanya rutin menggelar Festival Mahakam. Samarinda dipilih karena di situ ada contoh memberdayakan air sebagai bagian dari ruang terbuka publik. Air—sungai atau pantai—tidak sekadar dijadikan halaman belakang kota atau kawasan privat yang, untuk mengaksesnya, harus bayar.
Selain kota-kota yang memang secara tradisi sudah memiliki acara selebrasi, seperti Yogya, Singkawang, dan kota-kota di Bali, memang diperlukan usaha menularkan virus kreatif ke kota-kota lain. ”Virus” Jember, Bandung, dan Samarinda diharapkan bisa meluas. ”Semakin banyak warga bergerak berkolaborasi, semakin banyak muncul ide besar untuk perbaikan kota. Juga semakin membuat kota menjadi sehat,” ujar Ridwan Kamil, salah satu penggerak komunitas kreatif Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo