Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rumah Baru, Rumah Kontrakan

Kekayaan pimpinan dan anggota KPU bertambah. Sudah empat tahun laporan kekayaan mereka belum juga diverifikasi.

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN rumah dua lantai itu belum rampung. Dindingnya masih telanjang, bata merah belum diplester, lantainya tanah. Onggokan material masih memenuhi halaman depan rumah di Jalan Minyak Raya Nomor 13, Kelurahan Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Didirikan di atas lahan seluas 400 meter persegi, rumah itu sudah beratap. Lantai dasar dipakai buat garasi yang muat dua mobil, ruang tamu, ruang utama dan dapur. Di lantai atas dibangun tiga kamar, sebuah ruang keluarga dan teras. Agar terkesan alami, pemilik rumah memilih kayu merbau sebagai penopang bangunan. Sebuah kolam renang juga akan dibuat di lahan sisa di belakang rumah.

Pemilik rumah ini adalah Nurnida, 57 tahun, istri Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nazaruddin Sjamsuddin. Rumah baru ini sempat mengundang gunjingan karena dibangun bersamaan dengan heboh kasus suap dan korupsi di KPU. Akhir April lalu, tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangi rumah itu.

Bangunan itu diakui Nurnida dibeli dari Hassan Basri, 13 Mei 2004, sebulan setelah pemilihan anggota badan legislatif usai. Bangunan dan tanah itu harganya Rp 607,37 juta. "Semua dibayar lunas dan atas nama saya, bukan Bapak," katanya. Setelah itu, rumah itu dirobohkan dan pembangunan kembali dilakukan dengan biaya Rp 917 juta.

Untuk membeli rumah itu, Nurnida menjual dua rumahnya yang lain. Satu di Jalan Swadaya II RT 002/005 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang dijual pada 20 April 2004 dengan harga Rp 1,2 miliar. Lalu rumah di Beji, Depok, atas nama Nazaruddin dengan harga Rp 87,86 juta. Semua pembayaran dilakukan via transfer Bank Mandiri. "Dari hasil penjualan itu, kami baru bisa membangun rumah ini," kata Nurnida.

Sambil menunggu rumah selesai, keluarga Nazaruddin minta keringanan masih bisa tinggal di rumah yang sudah dijualnya di Pasar Minggu. Di rumah itu, Nazaruddin sekeluarga boyongan dari Beji pada Januari 1987. Mereka tinggal di Beji sejak 1979. Kata Nurnida, pendapatan suaminya cukup besar. "Jadi, bukan hasil korupsi."

Lain Nazar, lain pula Ramlan Surbakti. Sebidang tanah, rumah di Malang, Jawa Timur, serta sebuah mobil baru menambah daftar kekayaan Wakil Ketua KPU yang akan disetor ke KPK. Rumah baru itu baru saja dibayar uang mukanya sebesar Rp 40 juta, dan sisanya akan diangsur selama 10 tahun. "Rencananya untuk peristirahatan," kata Veronika Surbakti, istri Ramlan.

Sehari-hari, keluarga Ramlan Surbakti menempati rumah tipe 70 di ujung gang buntu di Jalan Semolowaru Tengah XIII Surabaya. Rumah itu dibeli pada 1983 dari uang tabungan mereka sebagai dosen di Universitas Airlangga. Ramlan adalah dosen di Fisipol, Veronika di Fakultas Psikologi.

Rumah bercat krem itu nyaris tak punya pekarangan. Terasnya yang tak seberapa luas sekaligus difungsikan sebagai garasi. Sebuah Toyota Vios cokelat muda keluaran terbaru tampak diparkir di depan rumah ketika Tempo berkunjung ke sana, Kamis dua pekan lalu. Mobil itu dibeli sesudah mereka menjual Taruna, salah satu dari dua mobil mereka. Saat itu, Ramlan sudah menjadi anggota KPU. "Jadi, dari duit pribadi meskipun banyak yang menyangka itu hasil korupsi Mas Ramlan," kata Veronika dengan tertawa.

Setelah menjadi anggota KPU, selain mobil, Ramlan juga membeli tanah di Sidoarjo. Juga, sebidang tanah dekat Kampus Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Sayangnya, Veronika enggan memerinci luas dan lokasi tanah itu.

Di Jakarta, Ramlan memang tak perlu repot mencari tempat tinggal. KPU telah menyewakan sebuah apartemen di Kuningan, Jakarta Selatan, dan menyediakan sebuah Toyota New Camry. Veronika menyangkal suaminya korupsi. "Saya percaya suami saya tidak senista itu," ujarnya.

Yang punya rumah baru di Depok adalah Chusnul Mar'iyah, anggota KPU. Selain bangunan, perangkat furniturnya pun masih mengkilap. Barang-barang itu sengaja dipesan Chusnul dari Ngadino, perajin asal Solo yang juga kenalan Nanik, adik Chusnul.

Belum lama Chusnul boyongan ke rumah yang baru direnovasi habis-habisan pada Juni 2004 itu. Aslinya rumah itu tipe 42 di atas tanah 198 meter persegi, senilai Rp 200 juta. Rumah itu dibeli Chusnul secara patungan dengan adiknya pada 2001. Rumah atas nama Nanik itu "tukar guling" dengan rumah Chusnul tak jauh dari sana. Rumah di blok D itu bertipe 70 dengan luas tanah 120 meter persegi.

Jadilah renovasi besar-besaran dilakukan. Biayanya sekitar Rp 393 juta. Dibandingkan rumah tetangga, bangunan itu tampak jauh lebih besar. Di belakang masih tersisa lahan 6 X 3 meter. Lahan terbatas itu disulap menjadi kolam renang berukuran 5 X 2,5 meter dengan kedalaman 0,5_1 meter. "Bisa jadi tempat belajar renang adik dan keponakan saya," ujarnya. Ketika ditanya perihal tudingan korupsi kepadanya, Chusnul menjawab, "Semua akan saya laporkan ke KPK."

Yang juga punya rumah gedong adalah anggota KPU Valina Singka Subekti. Tempatnya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Rumah itu adalah rumah baru pasangan Valina Singka dan Iman Subekti, dokter dan pengajar Fakultas Kedokteran UI. Di atas lahan 396 meter persegi, rumah itu dibeli Iman pada Februari 2002 senilai Rp 738 juta secara kontan. Sertifikat rumah itu atas nama Valina. "Itu dibeli dari semua duit tabungan suamiku yang dikumpulkan tahun demi tahun," kata Valina.

Meski sudah atas nama Valina, mereka tak bisa langsung menempati. Mereka terpaksa menunggu beberapa bulan untuk merenovasi rumah tua itu. Biayanya Rp 100 juta. September 2002, mereka pun boyongan.

Sejak menikah pada 1985, Valina tinggal di Depok. Setahun kemudian, mereka membeli rumah di Pamulang Permai secara mencicil. Sepuluh tahun lebih di situ, mereka memutuskan membeli rumah agak ke tengah kota. Setahun mencari, akhirnya dapatlah rumah di belakang Cilandak Town Square itu.

Rumah baru itu memang belum dilaporkan kepada negara. Dalam laporan kekayaan yang dikirimkan pada 2001, Valina hanya melaporkan rumahnya di Pamulang. Juga dua mobil serta tabungan senilai Rp 800 juta dan beberapa simpanan dolar. Karena kasus tudingan korupsi ini semakin serius, Valina ingin buru-buru mengirimkan laporan tambahan kekayaan itu ke KPK. "Supaya tidak jadi fitnah," ujarnya.

Ada yang berumah besar, ada pula yang masih mengontrak. Golongan terakhir ini Mulyana W. Kusumah. Keluarga itu sudah tiga tahun mengontrak di kawasan Condet dengan harga Rp 24 juta setahun. Ini adalah rumah ketiga yang disewa. Sebelumnya, hidup keluarga Mulyana nomaden dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain.

Gina Santiyana, anak Mulyana, tahu persis ayahnya bermimpi punya rumah sendiri. "Tapi gimana lagi, uang Papa habis untuk membiayai sekolah anak-anaknya," katanya. Menurut Gina, ayahnya sempat bingung ketika harus mengisi formulir kekayaan di awal menjabat di KPU. Saat menjawab isian, berapa sih total aset kekayaan mereka, ayahnya tertawa. "Apa yang mau diisi?" kata Gina.

Tak mudah memang membuktikan secara terbalik—dengan memeriksa harta yang dimiliki—apakah anggota dan Ketua KPU terlibat korupsi di badan negara yang mereka kelola. Meski tak semuanya mencatatkan kekayaan mereka kepada KPKPN, para pengelola KPU itu mengaku bisa mempertanggungjawabkan harta yang mereka miliki.

Menurut Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, semua anggota KPU, kecuali Mulyana, melaporkan kekayaan mereka kepada KPKPN pada 2001. Setelah empat tahun lewat, daftar itu belum diverifikasi ulang. Akibatnya, belum diketahui pertambahan kekayaan mereka.

Gosip berdesing keras. Chusnul Mar'iyah, misalnya, disebut-sebut memiliki sejumlah properti di Jakarta Selatan dan sebuah mobil mewah. Tapi, katanya, "Saya tak punya mobil. Nissan yang saya pakai itu mobil KPU." Apartemen di Kuningan, menurut dia, disewakan oleh kantornya.

Belum puas, Chusnul malah mengambil bundelan kuitansi: bon bangunan dan slip gaji 2001-2005. Setiap bulan, sesuai ketentuan, Chusnul menerima gaji Rp 12,5 juta. Ditambah uang kelompok kerja, pendapatan Chusnul per bulan Rp 18- 20 juta.

Sebagai doktor ilmu politik di UI, Chusnul punya tambahan gaji Rp 5 juta. Ditambah "mengamen" di seminar-seminar ia mendapat Rp 1-5 juta sekali bicara. Total jenderal, satu bulan ia bisa mengantongi sekitar Rp 25-30 juta. "Mbak Us (panggilan Chusnul), nggak punya tanggungan anak atau keluarga. Ia juga nggak neko-neko. Sebulan paling pengeluarannya hanya Rp 3 juta," kata Nanik.

Pengeluaran minimal ini juga ditunjang berbagai fasilitas yang diterima Chusnul sebagai anggota KPU. Misalnya, dana telekomunikasi Rp 1 juta, kupon bensin maksimal 200 liter per bulan, juga mobil dinas plus sopir yang digaji negara. Semua itu diterima selama empat tahun menjadi anggota KPU. "Tinggal hitung saja berapa jumlahnya. Wajar kan kalau ternyata bisa membangun rumah baru dengan harga segitu?" kata Nanik.

Valina memilih enggan berkomentar. "Semua itu dibeli suami saya. Ingat, gaji dia jauh lebih gede dibanding gaji saya," ujarnya

Widiarsi Agustina, Agriceli, Yohannes Adi, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus