Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP hari dia harus memakai kaus biru tua dan celana pendekseragam khas tahanan polisi. Ia tak berbeda dengan tahanan lain, kecuali kacamata bulat yang membuat wajahnya gampang diingat sebagai Sussongko Suhardjo, pejabat Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sudah tiga pekan dia berdiam di ruang tahanan sel nomor 3 blok B Polda Metro Jaya.
Sussongko, 56 tahun, adalah tahanan titipan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menjadi tersangka kasus suap auditor Badan Pemeriksa Keuangan, Khairiansyah Salman. Dia menyusul anggota KPU Mulyana W. Kusumah yang ditahan di Penjara Salemba, Jakarta Pusat, awal April lalu. Di Polda Metro Jaya, Sussongko kini mendapat rekan: Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin, yang sejak pekan lalu juga menjadi tersangka.
Menurut rekan-rekan dekatnya, Sussongko adalah seorang pendiam dan sederhana. Ia memang tak banyak bicara. Saat angin ribut kasus itu bertiup ke arahnya, doktor public administration lulusan Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, ini seperti malas menangkis. Sussongko, misalnya, selama ini tak bicara ketika dituduh mendalangi pertemuan Khairiansyah dan Mulyana, yang berbuntut tertangkapnya Mulyana karena perkara suap. "Saya pikir tak ada gunanya ribut-ribut," ujarnya. Di sel tahanan, kalau tak sedang ada jadwal pemeriksaan, dia memang lebih suka baca cerita silat.
Tapi, di balik kasus dugaan aksi penyuapan dan korupsi di KPU, dia rupanya menyimpan banyak cerita. Melalui pendekatan yang intensif, Sussongko akhirnya mau diwawancarai wartawan Tempo Nezar Patria di Polda Metro Jaya, sesaat sebelum ia diperiksa KPK, Jumat pekan lalu. Ketika ditemui, Sussongko tengah menenteng tas plastik putih berisi makanan kiriman keluarga: sebungkus nasi putih dengan lauk telur, tahu, dan tumis kangkung.
Menurut Hamdani Amin, ada dana taktis KPU yang dibagikan kepada para anggota. Dana apa sebenarnya itu?
Saya kira KPU tak pernah punya dana taktis. Itu salah kaprah. Saya selalu bilang tak ada itu dana taktis. Tapi, kalau itu dana terima kasih, ya, ada.
Maksudnya?
Itu dana nonbujeter yang semuanya ada pada Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin. Dana taktis itu formal, misalnya untuk membayar makan tamu, hotel, dan lain-lain yang diambil dari anggaran belanja. Waktu saya datang ke KPU tahun 2002, katanya dana itu sudah ada. Tetapi setelah itu tak ada. Kita biasa pakai anggaran rutin.
Untuk apa saja anggaran rutin itu dipakai?
Kita punya dana untuk rapat, uang makan, transpor, dana panitia atau kelompok kerja. Banyak sekali, ya. (Saya) tanda tangan kuitansi pembayaran itu segini banyaknya. (Sussongko meregangkan ibu jari dan telunjuk tangan kanannya.) Saya juga pusing, ha-ha-ha . Itu semua berdasarkan surat keputusan resmi: bahwa uang makan sekian, transpor sekian, dan lain-lain.
Berapa jumlah total dana terima kasih itu?
Saya kira sekitar Rp 20 miliar. Total kontrak yang saya tanda tangani saja ada sekitar Rp 2 triliun. Jadi, itu kan kurang dari 1 persen. Uang itu setahu saya sukarela, jadi tak mungkin diatur jumlahnya. Saya tak tahu apakah ada deal yang sifatnya personal di luar itu.
Sumbernya dari mana?
Dari perusahaan rekanan. Mereka memberikan secara sukarela. Setahu saya, tak ada deal sebelumnya antara rekanan dan KPU. Kalau memang ada, saya tak tahu. Apakah ada deal antara ketua panitia dan rekanan, itu juga saya tak tahu.
Bukankah Anda yang meneken kontrak dengan rekanan?
Ya, tapi semua kontrak itu kan sudah melewati rapat pleno. Saya cuma tanda tangan saja. Saya juga tak pernah bertemu pengusaha rekanan sebelum kontrak. Bahkan setelah kontrak pun, kalau tak bermasalah, saya tak perlu bertemu mereka. Jadi, tak mungkin saya bisa deal dengan mereka. Yang bertemu mereka adalah para ketua panitia. Saya juga tak percaya ada deal antara mereka sebelumnya. Paling-paling, ya, kalau ada ucapan terima kasih. Itu dugaan saya.
Prosesnya bagaimana?
Panitia itu ketuanya selalu salah satu anggota KPU. Langkah pertama panitia melakukan seleksi perusahaan, verifikasi mana yang mampu memenuhi kebutuhan KPU. Hasil seleksi itu oleh panitia dilaporkan ke rapat pleno KPU. Pada ra-pat pleno, hal itu dibahas. Keputusan yang diambil menjadi keputusan Ketua KPU. Misalnya yang menang perusahan anu, angkanya sekian. Selanjutnya silakan datang ke sekjen untuk menandatangani kontrak. Setelah itu, dikeluarkan SPK (surat perintah kerja) bagi perusahaan yang ditunjuk. Kemudian panitia mengikuti pelaksanaan kerja itu sampai selesai.
Anda turut mengatur pertemuan di Restoran Miyama di Hotel Borobudur antara Khairiansyah dan Mulyana W. Kusumah?
Wah, keliru itu. Sebetulnya sudah lama Mulyana dan Richard M. Purba (Kepala Biro Perlengkapan) tahu bahwa pengadaan kotak suara itu bermasalah. Sebelumnya, kan sudah ada temuan tentang soal itu. Nah, tim ini mencoba memperdalam temuan itu yang sebelumnya sudah dilaporkan pada November 2004. Purba akhirnya dapat nomor telepon Khairiansyah, penyidik BPK itu. Lalu di antara mereka terjadi kontak. Waktu itu Mulyana telepon saya, "Pak, saya mau bertemu Khairiansyah nih di Borobudur." Saya jawab, "Pak Mul jalan lebih dulu saja, nanti saya belakangan."
Jadi, tidak benar saya yang mengatur. Percakapan telepon antara Mulyana dan Khairiansyah itu ada kok di KPK. Bukti semua ada. Waktu Khairiansyah bertemu dengan Mulyana di restoran juga ada gambarnya (videoRed) di KPK.
Jadi, Anda menyusul ke Hotel Borobudur?
Iya. Soalnya (waktu dikontak Mulyana) saya masih ada kerjaan. Saya jalan ke Borobudur dengan anak saya yang kebetulan waktu itu mampir ke kantor KPU. Biasanya urusan yang begini ini diurus Mubari (staf Sussongko di KPURed). Jadi, posisi saya sebetulnya membantu Pak Mul. Makanya saya tak mengerti mengapa ada keterangan dari Mulyana bahwa inisiatif pertemuan itu dari saya. Awalnya, saya tak percaya Mulyana bicara begitu.
Apa saja isi pertemuan itu?
Ada banyak. Dari yang biasa-biasa saja, misalnya ketebalan kotak, dan lain-lain. Tapi ada satu hal, dan itu disebutkan Khairiansyah pada saat terakhir. Itu membuat saya kaget.
Tentang apa?
Khairiansyah bilang ada aliran dana Rp 5 miliar dari satu perusahaan rekanan ke KPU. (Sussongko menduga uang itu dari salah satu perusahaan pemenang tender kotak suara. Ia menyebut nama perusahaan itu, tapi minta tak ditulisRed.) Sebagian di antara dana itu dikirim sebelum perusahaan itu ditunjuk oleh KPU. Jadi, ini pangkal masalah audit itu. Kalau masalah ketebalan kotak suara, jumlah, pabrik, saya bisa jawab itu semua. Tapi, ini soal aliran dana itu.
Kiriman dana itu dalam bentuk cek?
Saya tak tahu. Tapi, waktu Khairiansyah menyampaikan hal itu ke Mulyana, kelihatan sekali Mulyana tampak down. Lalu saya tanya kepada Khairiansyah, "Khairiansyah, apakah data itu bisa dipercaya?" Dia menjawab, "Ya, Pak. Sangat bisa dipercaya."
Mulyana sebelumnya tak tahu bahwa Khairiansyah akan bicara soal aliran dana itu?
Saya menduga Mulyana belum tahu soal itu. Khairiansyah tampaknya sudah mengecek ke sejumlah perusahaan. Sepertinya ada perusahaan yang sakit hati. Mungkin awalnya dia dapat kontrak besar. Tapi dari angka itu lalu dipotong lagi jadi 30 persen, lalu dipotong lagi tinggal 20 persen. (Salah seorang pengacara Mulyana, Robikin Emhas, membantah keterangan Sussongko. "Pak Mulyana tidak pernah menerima uang semacam itu," kata Robikin.)
Dana itu masuk sebelum tender?
Ya, sebelum penunjukan. Kalau setelah tender dan setelah semua urusan beres sih tak terlalu pusing. Dana yang dikirim itu, ya, semacam uang terima kasih.
Jadi, yang dikejar KPK sekarang adalah aliran dana sebelum tender?
Saya kira itu yang menjadi penyebab utama BPK mengejar masalah ini. Soal temuan lain, saya yakin itu bisa dijawab. Mungkin tidak seratus persen, tapi saya yakin bisa menjawab. Ada LSM yang menghitung pemborosan kotak suara itu sampai Rp 60 miliar. Itu tak benar. Paling juga sekitar Rp 1 miliar. Itu semata soal inefisiensi. Saya yakin sekali bisa menjawab.
Dana itu masuk ke rekening KPU atau pribadi Mulyana?
Saya tak tahu. Khairiansyah yang tahu soal aliran dana itu. Yang saya tahu, tak ada sama sekali aliran dana itu ke Hamdani.
Lalu, apa langkah Mulyana pada saat mendengar temuan Khairiansyah?
Waktu itu Mulyana minta Rp 100 juta kepada Ketua KPU (Nazaruddin Sjamsudin) untuk membereskan masalah audit BPK. Jadi, kita bertiga berada di ruang Ketua: saya, Mulyana, dan Ketua KPU. Tapi Ketua diam saja. Ya, artinya kan setuju. Saya lalu teruskan ke Hamdani.
Ketua KPU Nazaruddin Sjamsudin tahu soal dana Rp 5 miliar itu?
Waktu pertemuan itu sama sekali tidak tahu. Mulyana tak menyinggung soal itu. Pak Mul hanya cerita garis besar saja masalah pengadaan kotak suara. Saya juga tak cerita, karena saya anggap ini aib orang, mengapa saya yang harus cerita. Saya hanya cerita soal ini kepada Chusnul Mar'iyah.
Dari audit itu, apa yang paling riskan bagi KPU?
Yang tak bisa kita jawab adalah soal tinta. Banyak kesalahan prosedur. Entah nanti kalau sudah terbuka. Semua dokumen yang ada, misalnya rekanan yang ada 30, lalu jadi 18, lalu jadi 4. Itu tak ada prosesnya, tiba-tiba jadi 4 rekanan. Penentuan harga juga masalah. Yang diambil bukan yang murah, tapi yang mahal. Ada empat rekanan menawarkan dari harga yang mahal dan paling murah. Seharusnya kan diambil yang paling tengah. Tapi ini tetap yang mahal.
Kenapa Anda tak cerita semuanya sejak awal?
Ada pertimbangan lain. Saya hanya menceritakan semua itu ke penyidik. (Sussongko mengatakan bahwa ada anggota KPU yang mendapat pesan pendek dari seseorang berinisial Ag, yang meminta jatah duit dari satu perusahaan pembuat kotak suara yang lolos tender.)
Hamdani kan sudah membuka ke mana saja dana itu dibagi?
Ya, itu kan baru alirannya. Tapi, siapa yang mengatur ke mana aliran itu, kita belum tahu. Menurut saya, aliran dana ke KPU juga tak banyak, kurang dari 1 persen, jadi kecil dibandingkan dengan total proyeknya. Siapa yang membagi dana, itu lebih penting.
Siapa?
Kata Hamdani, itu perintah Ketua. Ya, menurut saya memang benar. Awalnya, Hamdani sempat bilang dana itu diatur oleh Sekretariat Jenderal. Waktu itu dia disuruh ngomong begitu sama Ketua KPU. Sekretariat Jenderal itu kan Pak Safder Yussac, saya, dan Pak Hamdani. Ya, kita yang dituduh.
Tampaknya Anda kecewa dengan Ketua KPU?
Saya ingat, pada tahun 1999, saat KPU dipimpin Rudini, ada kasus serupa. Tapi Pak Rudini segera mengambil alih tanggung jawab. Jadi, ya, tak melebar ke mana-mana dan bisa diselesaikan dengan baik. Sekarang semua orang jadinya ikut disidik. Padahal tujuannya nanti ke Ketua KPU juga.
Anda merasa dilempari kesalahan?
Begitulah. Sekarang kesannya kan jadi frontal antara delapan anggota KPU itu dan sekretaris jenderal. Yang mengelola dana ini-itu kan kesekretariatan. Itu artinya Pak Yussac dan saya. Padahal, saya tak tahu apa-apa berapa jumlahnya dan siapa yang mengatur.
Ke mana arah pemeriksaan KPK selama ini?
Pertama soal penyuapan, lalu soal korupsi, atau yang disebut dana terima kasih itu. Kalau yang penyuapan itu berkasnya sudah selesai semua. Sekarang yang lagi dikejar soal dana terima kasih itu.
Perusahaan mana saja yang mengirim dana terima kasih ke KPU?
Saya tak tahu. Yang mengerti hanya Hamdani dan Ketua KPU.
Anda dapat jatah dari dana terima kasih itu?
Ya, saya terima juga dari Hamdani. Katanya dari Ketua. Karena dari Ketua, ya, saya terima. Ada dua kali kalau tak salah. Tapi jangan tanya kapan. Saya benar-benar lupa soal tanggal dan hari.
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini?
Uang terima kasih itu bisa menjadi sumber perkara. Apalagi, belum selesai tender, uang sudah mengalir. Ini mungkin jadi pelajaran. Sebenarnya, KPU sekarang jauh lebih bersih, juga orang-orangnya jauh lebih baik daripada birokrat dan politisi. Misalnya saja KPU sekarang bisa menghemat lebih banyak duit negara. Misalnya dalam tender kertas suara, kita bisa dapat harga yang jauh lebih murah ketimbang Pemilu 1999.
Kalau bersih, mengapa bisa terjadi kasus seperti sekarang ini?
Saya kira, di masa depan, pengawasan jauh lebih penting.
Sussongko Suhardjo
Lahir:
- Kebumen, Jawa Tengah, 15 Februari 1949
- Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Planologi (1974)
- City Planning (M.Sc), University of Wales, Cardiff, Inggris (1980)
- Public Administration (MPA), Pittsburgh University, Amerika Serikat (1990)
- Public Administration (Ph.D), Pittsburgh University, Amerika Serikat (1991)
- Staf pada Direktorat Pengembangan Perkotaan, Departemen Dalam Negeri (1975-1987)
- Direktur pada Direktorat Pemerintahan Kota (1997-2000)
- Staf Ahli Menteri Dalam Negeri (2000-2002)
- Wakil Sekretaris Jenderal KPU (2002)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo