RUMAH itu kuno, bersebelahan dengan benteng tua Kairo. Didirikan
di Darbul Lubanah pada masa Dinasti Mamluk, gapura antiknya
mengantarkan para tamu ke sebuah jalan yang membujur ke dalam.
Dikenal sebagai "rumah para seniman", di sinilah Hassan Fatthy,
arsitek Mesir yang tersohor itu tinggal.
Pada ujung jalan, pengunjung akan menemukan tangga batu. Lewat
banyak anak tangga, sampailah di petak pertama, yakni kediaman
Paneran Sadruddin Khan Petak kedua, adalah tempat tinggal
Hassan Fatthy. "Sejarah melekat hampir pada semua benda di
sini," begitu kesan Mohammad Kandayal, wartawan/Mushawwar. Yang
berkunjung ke sana Desember silam.
Darbul Lubanah sejak dulu merupakan kawasan kaum fakir non-Arab,
biasa juga disebut Ajam. Sisa arsitektur Mesir lama terlihat di
manamdna. Tapi yang lebih menonjol adalah kesederhanaannya.
Barangkali dua hal itulah yang dicari Hassan Fatthy di sini:
arsitektur Mesir dan Kesederhanaan.
Kehadiran arsitek ini di kawasan semacam itu seakan lebih
mengukuhkan kehadirannya dalam arsitektur Mesir dan juga
arsitektur Muslim. Hadiah Agha Khan yang diterimanya pada tahun
'80, agaknya sekedar pengakuan resmi untuk semua yang telah
dipersembahkannya bagi bumi Mesir. Dalam pengantar penyerahan
hadiah itu Pangeran Karim Agha Khan antara lain menekankan
bahwa, "Saya dengan senang hati menunjuk pemenang pertama Hassan
Fatthy, seorang arsitek Mesir, seniman dan penyair, sebagai
pengakuan akan sumbangan dan kesetiaannya seumur hidup
pada arsitektur Muslim."
Diakui oleh Agha Khan bahwa karya-karya dan ajaran awal dari
Hassan Fatthy menjadi persemaian untuk daya ciptanya yang
kemudian berkembang, yang memancarkan dua hal: kesetiaannya pada
kaum miskin dan citarasa keindahan yang luar-biasa. Dan
penghargaan ini mungkin di luar dugaan Hassan Fatthy sendiri,
mengingat semua itu dia terima pada usianya yang lanjut, di atas
80 tahun. Tapi bagaimanapun, hadiah Agha Khan telah memperkuat
citra dirinya yang sejak lama terwakili oieh bangunan-bangunan
sederhana untuk rakyat jelata, rakyat yang menuntut arsitek itu,
tidak punya apa-apa.
Dalam pandangan Hassan Fatthy, adalah mustahil membangun rumah
untuk kaum fakir dan para petani Mesir dengan bahan-bahan
modern. Yang lebih mungkin adalah menggali nilai-nilai yang ada
pada mereka seperti gotong royong dan cara pemanfaatan bahan
alami yang ada. Sebab, itulah juga yang diwariskan sejarah
bangsa Mesir yang hingga kini ternyata tak banyak mengalami
pergeseran. Toh, menurut Hassan Fatthy, hasil arsitektur lama
Mesir masih bisa dinikmati. Sang waktu pun sudah mengujinya.
"Sejak bangsa Mesir menemukan cara pembuatan rumah dari batu
bata, sejak itu pula sudah dimulai proses kemajuan Mesir," kata
Hassan Fatthy mencoba meyakinkan kembali para arsitek modern
Mesir yang mencoba meninggalkan tradisi lama. Sejarah itu
dimulai saat bangsa Mesir melihat lumpur yang kemudian mengering
dan mengeras sedemi kian kukuh. Gagasan tentang "kekukuhan
lumpur" itulah yang dimanfaatkannya untuk rumah mereka.
Bata-bata yang lebih praktis muncul kemudian tapi tak menggeser
fungsi awalnya. Bahkan dalam tahap perkembangan lanjut, fungsi
batu bata juga bertambah, untuk atap mereka. Di sinilah babak
baru atap kubah dimulai. Bersamaan dengan itu diperkenalkan
bentuk rumah tanpa kayu, tanpa atap daun kurma dan lain
sebagainya. Padahal, seperti diketahui zaman itu kayu halus
dibeli. Tidak seperti lumpur yang bisa dikeruk dari pekarangan
rumah mereka.
Sejak dulu kala, bangsa Mesir mcmang sudah cukup dikenal dengan
pembuatan atap kubahnya yang bulat atau kubah yang sedikit
pipih. Kubah seperti itu juga dijumpai pada arsitektur
bangsa-bangsa Persia dan Babilon ia yang juga mengenal
konstruksi kayu untuk atap mereka. Di daerah pedalaman Persia
(Iran) misalnya, hingga kini masih dikenal bentuk itu, seperti
di daerah Yazd dan Karaman. Atau di lembah Nil sendiri, seperti
daerah Kunuz. Meski di beberapa tempat sekitar Aswan, Abu Reis,
rumah seperti itu nyaris tak dikenal.
Mesir sendiri banyak memiliki andil dalam pengembangan
arsitektur dunia yang membuat negeri itu dipuji-puji. Sejak 3000
tahun sebelum Masehi, orang Mesir memaklumkan diri sebagai
arsitek piramida, kubah-kubah . . . dan mereka juga dicatat
sebagai bangsa yang pertama kali membangun dengan batu. Tidak
hanya itu Mesir juga pertama bangsa yang membuat bangunan
bertingkat. Mereka punlahu persis cara merobohkan bangun. dalam
waktu singkat untuk kemudian mendirikan gedung baru lagi.
Pembangunan gaya Mesir lama diawali dengan perencanaan kota yang
mulus. KctranPilan ini tidak disimpan sendiri api diajarkan
keplda hangsa lain. Sejarah Yunani kuno mencatatnya dalam
peninggalan Doria, umpamanya.
AGAKNYA tak ada bangsa kuno yang gigih membangun seperti bangsa
Mesir, demikian Hassan Fatthy memuji bangsanya sendiri. Apa
yang dibangunnya mencerminkan ciri jiwa yang berdaya cipta - tak
lagi sekedar bangunan biasa tapi sudah mencerminkan karya seni.
Tak salah jika Aristoteles menyebutnya: "Hidup bangsa Mesir itu,
hanya untuk membangun."
Hassan Fatthy sebagai pewaris arsitekur Mesir Kuno tak tega
melihat bangsa Mesir hidup menumpang di kuburan-kuburan purba.
Lingkungan di situ jelas tak sehat, belum lagi hawa lembab dan
udara segar sulit masuk. Fatthy mempertimbangkan faktor sejarah.
Setidaknya. tuk melindungi benda-benda bersejarah yang menumpuk
di situ. "Tapi, yang penting adalah manusianya," kata Hassan
Fatthy mengawali kisah tentang proyek membantu kaum fakir di
Karanah.
Tahun 1945 ia mulai membangun Desa Karanah baru dengan gaya
arsitektur lama yang dipadu dengan kcbutuhan modern. "Proyek itu
saya maksudkan sebagai proyek percontohan untuk rumah murah yang
tidak meninggalkan nilai Mesir," kata Hassan Fatthy. Sebab, tak
hanya tradisi yang kadangkala lebih cocok dengan kehidupan
manusianya, juga faktor ekonomi yang lebih bisa ditekan
mengingat pendapatan warga Mesir yang masih rendah.
Dalam penelitian PBB 20 tahun yang lalu, di dunia ini terdapat
800 iuta penduduk dunia ketiga yang dihantui kematian karena
buruknya pemukiman mereka. Sekarang, menurut Hassan, sudah
mencapai 900 juta orang-orang yang sangat terbelengggu
ekonominya. "GNP merekasetahun hanya sekitar 50 sampai 60 US$,
lalu bagaimana mereka bisa membangun rumah dari semen, batu dan
besi?" tukas Fatthy, 82 tahun. "Atau, adakah pcmerintah yang
akan membuatkan rumah untuk mereka?" tanya Fatthy pesimistis.
CIRI Mesir lama: semuanya bahan tergantung pada batu bata dan
lumpur. Tidak terkecuali bentuk kubahnya. Hanya lebih
disempurnakan dengan sarana kesehatan, agar udara beralih
leluasa. Cahaya yang masuk diperhitungkan hingga pada siang hari
tak perlu menyalakan lampu. Kenyamanan berada dalam rumah pada
udara yang panas sekalipun, diperhitungkan hingga orang betah
dan mengandalkan rumah mereka sebagai tumpuan.
Pembangunan rumah lumpur itu tidak tergantung biaya dan
kontraktor. Fatthy benar-benar mencoba keampuhan nilai
tradisional yang diwarisi bangsanya . Semua dibangun secara
gotong royong tanpa mengganggu pekerjaan mereka sehari-hari.
Dengan tekun Fatthy mengajarkan bagaimana membangun rumah
menurut tradisi nenek moyang mereka. Ketika proyek itu rampung
pada tahun 1950, kesibukan lain tiba-tiba muncul. Perpindahan
penduduk ke tempat tinggal baru jadi masalah. Juga masalah
nilai, yang melekat di hati orang Mesir bahwa memilih tetangga
harus didahulukan sebelum memilih rumah. Pilih-pilih pun
terjadi.
Karanah sendiri menurut Hassan Fatthy adalah satu-satunya
pemukiman tradisional Mesir yang memiliki keunggulan dibanding
gaya pemukiman di Eropa sekalipun. Bentuk kubah-kubahnya, bentuk
pintu tiang dan pembagian ruangnya, "sangat sesuai untuk bumi
subur Mesir," kata FatthY yang nampak puas akan karyanya
sendiri. Ciri-ciri arsitektur Mesir zaman Firaun dulu, serta
ciri perkembamgan Islam masa kini dipadu dengan ciri bangunan
Nubia, semua bagai menyatu di Karanah. Sebuah pandangan yang
saling menghirup antara gundukan yang belum selesai dengan yang
sudah sempurna. Warna teduh dari terpaan sinar matahari dengan
warna terang yang kemilau dipanggang panas. Dari jauh melalui
sentuhan cakrawala tak ubahnya menyatukan padang pasir dengan
langit yang luas.
Sekarang, muncul kecemasan di hati Fatthy, karena datangnya
penghuni baru yang bukan dari Karanah Lama. Mereka seenaknya
saja membangun. Mengubah hal-hal yang sudah paten hanya untuk
keindahan sebuah bangunan. Akibatnya jalan-jalan dan lingkungan
sekitar tak dihiraukan lagi.
Di Amerika sendiri membangun rumah dengan gaya Mesir sudah mulai
dikenal. Buktinya bisa dilihat di New Mexico dan Arizona.
Biayanya jauh lebih murah. Pcrnah Hassan Fatthy membawa beberapa
tukang dari Aswan untuk mengerjakan rumah-rumah di New Mexico.
Biayanya hanya AS$ 6 ribu. Padahal, untuk ukuran bangunan biasa
habis sekitar AS$ 35 ribu. Ternyata yang menimbulkan kekaguman
Amerika adalah bentuk atap kubah yang bahan bakunya lumpur dan
batu bata.
Setelah berhasil membangun Karanah (tahun '50), tahun '55 Hassan
Fatthy.merantau ke Yunani. Sang arsitek konon kecewa. Di Bir
Barat, Distrik Kom Umbu, ada sebuah desa bernama Faris.
Pemerintah Mesir menetapkan untuk membangun sebuah sekolah di
sana. Untuk menyelesaikannya beberapa pemborong minta waktu tiga
tahun. Sebab, transportasi bahan bangunan yang sulit. Jauh dari
jalan keretaapi dan sulit ditembus dengan truk. Lalu ditawarkan
kepada Hassan Fatthy yang menerimanya dengan baik tapi masih
bertahan dengan prinsip-prinsip tradisional, tak mau tergantung
pada bahan bangunan baru ang harus didatangkan dari jauh. Maka
didirikanlah sebuah bangunan dengan 10 ruang kelas, satu
perpustakaan, satu ruang peremuan dan satu masjid kecil hanya
menghabiskan biaya 6000 punod Mesir (sekitar Rp 7 juta).
Sekolah itu disambut baik, oleh rakyat tentu saja. Tapi, tidak
oleh pemerintah. Mengapa?
MENTERI Pertanian Mesir saat itu, Dr. Abdurrazaq Shidqi menilai
karya Hassan Fatthy kurang bisa di pertanggungjawabkan dan harus
dibongkar. Arsitek itu kaget. Ada apa? "Saya menerima laporan
dari Menteri Pendidikan bahwa bangunan ini harus menghabiskan
biaya 17 ribu pound," kata Menteri Pertanian itu kalem hingga
Fatthy hampir pingsan. "Tapi, ini kan saya buat dengan biaya
lebih murah dan tak kalah mutunya," bantah Fatthy. Sang Menteri
cuma berkata, "Anda harus melaporkan kepada Menteri Pendidikan
dan jelaskan tentang itu," katanya. Fatthy pun melaporkan dengan
tuntas apa yang sudah dibangunnya. Karena ia tidak terbiasa
dengan korupsi dan perihal menyulap dana, maka ia meninggalkan
Mesir ke Yunani.
Di Athena ia bekerja pada sebuah yayasan yang mengurus pemukiman
di Negara Ketiga. Lalu pada suatu hari seorang wartawan Mesir,
teman Almarhum Gamal Abdul Nasser, memergokinya di Athena.
"Bagaimana anda bekerja di sini, sedangkan negara anda amat
membutuhkan anda?" tanya wartawan itu. Fatthy pun kembali ke
Mesir tahun 1'362. "Mula-mula saya tak mengerti apa yang nanti
akan saya lakukan. Di mana-mana, muncul pengganti saya," kata
Fatthy merendah.
Tahun 1964 ia dipercayakan membangun proyek pemukiman di Baris,
di Lembah Kharijah. Tentu masih dalam prinsipnya yang tak
berubah sejak tahun 1945. Kemujuran muncul, ketika seorang
pejabat tinggi Mesir membangun sebuah villa di Jalan baru Mesir
yang luas bangunannya hanya 300 meter menelan biaya 43.000
pound. Bersamaan dengan itu Fatthy membangun pasar seluas 22000
meter dengan biaya hanya 11.000 pound. "Semua hampir melihat
saya sebagai saingan. Sebab, sayalah arsitek yang termurah. Dan
impian saya hanya menjadikan Baris sebagai tolok ukur untuk
sebuah desa daerah tropis," katanya.
Sekitar tahun 1979, ia diminta membangun desa Sadat.
Penjelasannya pertama adalah bahwa membangun dengan bahan-bahan
modern tidak sesuai. Dalam konsepnya ia menyarankan agar
membangun corak lama dengan bahan-bahan yang mudah didapatkan di
seantero Mesir. Dengan prinsip itu Fatthy dianggap mencemooh
dunia arsitektur modern. Tapi dalam pembicaraan akhir-akhir ini
dengan Presiden Mubarak sudah terbayang luas kemungkinan untuk
membangun pemukiman secara tradisional.
Kesulitan tentu muncul. Sebab,bukankah Mesir sejak Ismail Pasha
dulu (1830-1895) sudah membuka kran arsitektur Barat
selebar-lebarnya dan hampir-hampir mengubah gaya Mesir menjadi
gaya Barat. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di kaki langit
Mesir mengepung orang-orang lalu lalang yang berjalabib
(galabieh: baju khas Mesir yang kedodoran). "Padahal, membangun
bagi Mesir, bagai filsafat bagi Yunani dan hukum bagi Romawi,"
kata Hassan Fatthy. Garis-garis arsitektur Mesir kini sudah
merupakan perpaduan Franco-Arab yang tak mengembangkan (bahkan
tak mampu) memperkaya gaya arsitektur Mesir asli. "Saya tidak
memak sakan kebudayaan tertentu. Juga tidak fanatik dengan
Barat dan Timur. Saya hanya fanatik pada ilmu," tutur Fatthy.
Di jelaskan olehnya bahwa penjiplakan dari Barat tidak
sepenuhnya bisa dilakukan. "Persoalan pembangunan kita hanya
bisa dipecahkan oleh arsitek kita sendiri," tegasnya. Memang, ia
juga menyayangkan kecenderungan arsitek baru yang sudah
kehilangan tempat pijakan. Mereka sepenuhnya mengambilalih dari
Barat, lalu menerapkannya tanpa memperhitungkan konlisi
negerinya sendiri.
"Rumah itu bagaikan tubuh kita juga," kata Fatthy. Ia dibangun
dari sel-sel yang berkembang biak. Tubuh kasar kita adalah
bentuk fisik rumah kita. Sedangkan rohnya, adalah keluarga."
Jika tak berimbang antara dua unsur yang menjadikan rumah itu
tegak, tak ada artinya. Di sini, Hassan Fatthy meletakkan
psikologi penghuni sebagai nomor satu untuk bisa menyatu dengan
sebuah bentuk rumah yang seharusnya mengikuti keselarasan
penghuninya.
Karena itu faktor kesejarahan Mesir sendiri memegang peranan
penting dalam menentukan pola arsitektur. Di sini bersatu era
Firaun, era Nasrani dan era Islam. Semuanya pernah lewat.
Percobaan membuat rumah lumpur itu, sungguh sederhana. Jika
sebuah desa memiliki 1000 ha, maka tanah yang 5 ha digunakan
untuk pembuat batu bata, digali dari kedalaman 3 meter.
Lumpurnya bisa digunakan untuk membangun 150 buah rumah. Tanah 5
ha itu juga masih bisa digunakan untuk empang. Dan di situlah
simpan sumber protein yang di pedalaman sangat jarang dikenali.
MUTU rumah lumpur tak usah diragukan. Bisa ratusan tahun.
Seperti rumah di Desa Bagwat, di lembah Kharijah yang dibangun
dalam konstruksi serupa gaya Hassan Fatthy, tapisudah bertahan
dari tahun 1600 hingga kini.
Dan ketika oleh Kandayal ditanya tentang cara bagaimana membina
arsitek Mesir yang bertumpu dalam kubangan arsitektur Barat,
Hassan Fatthy segera menunjuk pada kurikulum pendidikan Mesir
sendiri yang sepenuhnya Barat. "Mereka tidak lagi mengenal
bagaimana nenek moyangnya bisa membangun selama ribuan tahun
hanya dengan benda-benda yang ada di sekitarnya. Mereka sudah
dibebani kepercayaan yang kuat akan kemampuan ilmu Barat
memecahkan segala persoalan yang ada. Padahal, anda tahu . . .
ilmu yang mereka peroleh itu hanya akan membahas alumina, besi
beton, kaca yang sama sekali bukan untuk konsumsi kaum fakir."
Dia benar.
Dan menurut Kandayal, Hassan Fatthy telah berjasa membesarkan
hati orang Mesir, serta mengembalikan bangsa itu pada
kebudayaannya. Atau lebih tepat lagi, mengembalikan lumpur ke
rumah-rumah mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini