Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rumah lumpur hassan fatthy

Hassan fatthy arsitek mesir, seniman dan penyair. karya-karyanya menjadi persemaian untuk daya ciptanya yang kemudian berkembang, yang memancar kesetiaan pada kaum miskin dan cita rasa keindahan.

3 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH itu kuno, bersebelahan dengan benteng tua Kairo. Didirikan di Darbul Lubanah pada masa Dinasti Mamluk, gapura antiknya mengantarkan para tamu ke sebuah jalan yang membujur ke dalam. Dikenal sebagai "rumah para seniman", di sinilah Hassan Fatthy, arsitek Mesir yang tersohor itu tinggal. Pada ujung jalan, pengunjung akan menemukan tangga batu. Lewat banyak anak tangga, sampailah di petak pertama, yakni kediaman Paneran Sadruddin Khan Petak kedua, adalah tempat tinggal Hassan Fatthy. "Sejarah melekat hampir pada semua benda di sini," begitu kesan Mohammad Kandayal, wartawan/Mushawwar. Yang berkunjung ke sana Desember silam. Darbul Lubanah sejak dulu merupakan kawasan kaum fakir non-Arab, biasa juga disebut Ajam. Sisa arsitektur Mesir lama terlihat di manamdna. Tapi yang lebih menonjol adalah kesederhanaannya. Barangkali dua hal itulah yang dicari Hassan Fatthy di sini: arsitektur Mesir dan Kesederhanaan. Kehadiran arsitek ini di kawasan semacam itu seakan lebih mengukuhkan kehadirannya dalam arsitektur Mesir dan juga arsitektur Muslim. Hadiah Agha Khan yang diterimanya pada tahun '80, agaknya sekedar pengakuan resmi untuk semua yang telah dipersembahkannya bagi bumi Mesir. Dalam pengantar penyerahan hadiah itu Pangeran Karim Agha Khan antara lain menekankan bahwa, "Saya dengan senang hati menunjuk pemenang pertama Hassan Fatthy, seorang arsitek Mesir, seniman dan penyair, sebagai pengakuan akan sumbangan dan kesetiaannya seumur hidup pada arsitektur Muslim." Diakui oleh Agha Khan bahwa karya-karya dan ajaran awal dari Hassan Fatthy menjadi persemaian untuk daya ciptanya yang kemudian berkembang, yang memancarkan dua hal: kesetiaannya pada kaum miskin dan citarasa keindahan yang luar-biasa. Dan penghargaan ini mungkin di luar dugaan Hassan Fatthy sendiri, mengingat semua itu dia terima pada usianya yang lanjut, di atas 80 tahun. Tapi bagaimanapun, hadiah Agha Khan telah memperkuat citra dirinya yang sejak lama terwakili oieh bangunan-bangunan sederhana untuk rakyat jelata, rakyat yang menuntut arsitek itu, tidak punya apa-apa. Dalam pandangan Hassan Fatthy, adalah mustahil membangun rumah untuk kaum fakir dan para petani Mesir dengan bahan-bahan modern. Yang lebih mungkin adalah menggali nilai-nilai yang ada pada mereka seperti gotong royong dan cara pemanfaatan bahan alami yang ada. Sebab, itulah juga yang diwariskan sejarah bangsa Mesir yang hingga kini ternyata tak banyak mengalami pergeseran. Toh, menurut Hassan Fatthy, hasil arsitektur lama Mesir masih bisa dinikmati. Sang waktu pun sudah mengujinya. "Sejak bangsa Mesir menemukan cara pembuatan rumah dari batu bata, sejak itu pula sudah dimulai proses kemajuan Mesir," kata Hassan Fatthy mencoba meyakinkan kembali para arsitek modern Mesir yang mencoba meninggalkan tradisi lama. Sejarah itu dimulai saat bangsa Mesir melihat lumpur yang kemudian mengering dan mengeras sedemi kian kukuh. Gagasan tentang "kekukuhan lumpur" itulah yang dimanfaatkannya untuk rumah mereka. Bata-bata yang lebih praktis muncul kemudian tapi tak menggeser fungsi awalnya. Bahkan dalam tahap perkembangan lanjut, fungsi batu bata juga bertambah, untuk atap mereka. Di sinilah babak baru atap kubah dimulai. Bersamaan dengan itu diperkenalkan bentuk rumah tanpa kayu, tanpa atap daun kurma dan lain sebagainya. Padahal, seperti diketahui zaman itu kayu halus dibeli. Tidak seperti lumpur yang bisa dikeruk dari pekarangan rumah mereka. Sejak dulu kala, bangsa Mesir mcmang sudah cukup dikenal dengan pembuatan atap kubahnya yang bulat atau kubah yang sedikit pipih. Kubah seperti itu juga dijumpai pada arsitektur bangsa-bangsa Persia dan Babilon ia yang juga mengenal konstruksi kayu untuk atap mereka. Di daerah pedalaman Persia (Iran) misalnya, hingga kini masih dikenal bentuk itu, seperti di daerah Yazd dan Karaman. Atau di lembah Nil sendiri, seperti daerah Kunuz. Meski di beberapa tempat sekitar Aswan, Abu Reis, rumah seperti itu nyaris tak dikenal. Mesir sendiri banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur dunia yang membuat negeri itu dipuji-puji. Sejak 3000 tahun sebelum Masehi, orang Mesir memaklumkan diri sebagai arsitek piramida, kubah-kubah . . . dan mereka juga dicatat sebagai bangsa yang pertama kali membangun dengan batu. Tidak hanya itu Mesir juga pertama bangsa yang membuat bangunan bertingkat. Mereka punlahu persis cara merobohkan bangun. dalam waktu singkat untuk kemudian mendirikan gedung baru lagi. Pembangunan gaya Mesir lama diawali dengan perencanaan kota yang mulus. KctranPilan ini tidak disimpan sendiri api diajarkan keplda hangsa lain. Sejarah Yunani kuno mencatatnya dalam peninggalan Doria, umpamanya. AGAKNYA tak ada bangsa kuno yang gigih membangun seperti bangsa Mesir, demikian Hassan Fatthy memuji bangsanya sendiri. Apa yang dibangunnya mencerminkan ciri jiwa yang berdaya cipta - tak lagi sekedar bangunan biasa tapi sudah mencerminkan karya seni. Tak salah jika Aristoteles menyebutnya: "Hidup bangsa Mesir itu, hanya untuk membangun." Hassan Fatthy sebagai pewaris arsitekur Mesir Kuno tak tega melihat bangsa Mesir hidup menumpang di kuburan-kuburan purba. Lingkungan di situ jelas tak sehat, belum lagi hawa lembab dan udara segar sulit masuk. Fatthy mempertimbangkan faktor sejarah. Setidaknya. tuk melindungi benda-benda bersejarah yang menumpuk di situ. "Tapi, yang penting adalah manusianya," kata Hassan Fatthy mengawali kisah tentang proyek membantu kaum fakir di Karanah. Tahun 1945 ia mulai membangun Desa Karanah baru dengan gaya arsitektur lama yang dipadu dengan kcbutuhan modern. "Proyek itu saya maksudkan sebagai proyek percontohan untuk rumah murah yang tidak meninggalkan nilai Mesir," kata Hassan Fatthy. Sebab, tak hanya tradisi yang kadangkala lebih cocok dengan kehidupan manusianya, juga faktor ekonomi yang lebih bisa ditekan mengingat pendapatan warga Mesir yang masih rendah. Dalam penelitian PBB 20 tahun yang lalu, di dunia ini terdapat 800 iuta penduduk dunia ketiga yang dihantui kematian karena buruknya pemukiman mereka. Sekarang, menurut Hassan, sudah mencapai 900 juta orang-orang yang sangat terbelengggu ekonominya. "GNP merekasetahun hanya sekitar 50 sampai 60 US$, lalu bagaimana mereka bisa membangun rumah dari semen, batu dan besi?" tukas Fatthy, 82 tahun. "Atau, adakah pcmerintah yang akan membuatkan rumah untuk mereka?" tanya Fatthy pesimistis. CIRI Mesir lama: semuanya bahan tergantung pada batu bata dan lumpur. Tidak terkecuali bentuk kubahnya. Hanya lebih disempurnakan dengan sarana kesehatan, agar udara beralih leluasa. Cahaya yang masuk diperhitungkan hingga pada siang hari tak perlu menyalakan lampu. Kenyamanan berada dalam rumah pada udara yang panas sekalipun, diperhitungkan hingga orang betah dan mengandalkan rumah mereka sebagai tumpuan. Pembangunan rumah lumpur itu tidak tergantung biaya dan kontraktor. Fatthy benar-benar mencoba keampuhan nilai tradisional yang diwarisi bangsanya . Semua dibangun secara gotong royong tanpa mengganggu pekerjaan mereka sehari-hari. Dengan tekun Fatthy mengajarkan bagaimana membangun rumah menurut tradisi nenek moyang mereka. Ketika proyek itu rampung pada tahun 1950, kesibukan lain tiba-tiba muncul. Perpindahan penduduk ke tempat tinggal baru jadi masalah. Juga masalah nilai, yang melekat di hati orang Mesir bahwa memilih tetangga harus didahulukan sebelum memilih rumah. Pilih-pilih pun terjadi. Karanah sendiri menurut Hassan Fatthy adalah satu-satunya pemukiman tradisional Mesir yang memiliki keunggulan dibanding gaya pemukiman di Eropa sekalipun. Bentuk kubah-kubahnya, bentuk pintu tiang dan pembagian ruangnya, "sangat sesuai untuk bumi subur Mesir," kata FatthY yang nampak puas akan karyanya sendiri. Ciri-ciri arsitektur Mesir zaman Firaun dulu, serta ciri perkembamgan Islam masa kini dipadu dengan ciri bangunan Nubia, semua bagai menyatu di Karanah. Sebuah pandangan yang saling menghirup antara gundukan yang belum selesai dengan yang sudah sempurna. Warna teduh dari terpaan sinar matahari dengan warna terang yang kemilau dipanggang panas. Dari jauh melalui sentuhan cakrawala tak ubahnya menyatukan padang pasir dengan langit yang luas. Sekarang, muncul kecemasan di hati Fatthy, karena datangnya penghuni baru yang bukan dari Karanah Lama. Mereka seenaknya saja membangun. Mengubah hal-hal yang sudah paten hanya untuk keindahan sebuah bangunan. Akibatnya jalan-jalan dan lingkungan sekitar tak dihiraukan lagi. Di Amerika sendiri membangun rumah dengan gaya Mesir sudah mulai dikenal. Buktinya bisa dilihat di New Mexico dan Arizona. Biayanya jauh lebih murah. Pcrnah Hassan Fatthy membawa beberapa tukang dari Aswan untuk mengerjakan rumah-rumah di New Mexico. Biayanya hanya AS$ 6 ribu. Padahal, untuk ukuran bangunan biasa habis sekitar AS$ 35 ribu. Ternyata yang menimbulkan kekaguman Amerika adalah bentuk atap kubah yang bahan bakunya lumpur dan batu bata. Setelah berhasil membangun Karanah (tahun '50), tahun '55 Hassan Fatthy.merantau ke Yunani. Sang arsitek konon kecewa. Di Bir Barat, Distrik Kom Umbu, ada sebuah desa bernama Faris. Pemerintah Mesir menetapkan untuk membangun sebuah sekolah di sana. Untuk menyelesaikannya beberapa pemborong minta waktu tiga tahun. Sebab, transportasi bahan bangunan yang sulit. Jauh dari jalan keretaapi dan sulit ditembus dengan truk. Lalu ditawarkan kepada Hassan Fatthy yang menerimanya dengan baik tapi masih bertahan dengan prinsip-prinsip tradisional, tak mau tergantung pada bahan bangunan baru ang harus didatangkan dari jauh. Maka didirikanlah sebuah bangunan dengan 10 ruang kelas, satu perpustakaan, satu ruang peremuan dan satu masjid kecil hanya menghabiskan biaya 6000 punod Mesir (sekitar Rp 7 juta). Sekolah itu disambut baik, oleh rakyat tentu saja. Tapi, tidak oleh pemerintah. Mengapa? MENTERI Pertanian Mesir saat itu, Dr. Abdurrazaq Shidqi menilai karya Hassan Fatthy kurang bisa di pertanggungjawabkan dan harus dibongkar. Arsitek itu kaget. Ada apa? "Saya menerima laporan dari Menteri Pendidikan bahwa bangunan ini harus menghabiskan biaya 17 ribu pound," kata Menteri Pertanian itu kalem hingga Fatthy hampir pingsan. "Tapi, ini kan saya buat dengan biaya lebih murah dan tak kalah mutunya," bantah Fatthy. Sang Menteri cuma berkata, "Anda harus melaporkan kepada Menteri Pendidikan dan jelaskan tentang itu," katanya. Fatthy pun melaporkan dengan tuntas apa yang sudah dibangunnya. Karena ia tidak terbiasa dengan korupsi dan perihal menyulap dana, maka ia meninggalkan Mesir ke Yunani. Di Athena ia bekerja pada sebuah yayasan yang mengurus pemukiman di Negara Ketiga. Lalu pada suatu hari seorang wartawan Mesir, teman Almarhum Gamal Abdul Nasser, memergokinya di Athena. "Bagaimana anda bekerja di sini, sedangkan negara anda amat membutuhkan anda?" tanya wartawan itu. Fatthy pun kembali ke Mesir tahun 1'362. "Mula-mula saya tak mengerti apa yang nanti akan saya lakukan. Di mana-mana, muncul pengganti saya," kata Fatthy merendah. Tahun 1964 ia dipercayakan membangun proyek pemukiman di Baris, di Lembah Kharijah. Tentu masih dalam prinsipnya yang tak berubah sejak tahun 1945. Kemujuran muncul, ketika seorang pejabat tinggi Mesir membangun sebuah villa di Jalan baru Mesir yang luas bangunannya hanya 300 meter menelan biaya 43.000 pound. Bersamaan dengan itu Fatthy membangun pasar seluas 22000 meter dengan biaya hanya 11.000 pound. "Semua hampir melihat saya sebagai saingan. Sebab, sayalah arsitek yang termurah. Dan impian saya hanya menjadikan Baris sebagai tolok ukur untuk sebuah desa daerah tropis," katanya. Sekitar tahun 1979, ia diminta membangun desa Sadat. Penjelasannya pertama adalah bahwa membangun dengan bahan-bahan modern tidak sesuai. Dalam konsepnya ia menyarankan agar membangun corak lama dengan bahan-bahan yang mudah didapatkan di seantero Mesir. Dengan prinsip itu Fatthy dianggap mencemooh dunia arsitektur modern. Tapi dalam pembicaraan akhir-akhir ini dengan Presiden Mubarak sudah terbayang luas kemungkinan untuk membangun pemukiman secara tradisional. Kesulitan tentu muncul. Sebab,bukankah Mesir sejak Ismail Pasha dulu (1830-1895) sudah membuka kran arsitektur Barat selebar-lebarnya dan hampir-hampir mengubah gaya Mesir menjadi gaya Barat. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di kaki langit Mesir mengepung orang-orang lalu lalang yang berjalabib (galabieh: baju khas Mesir yang kedodoran). "Padahal, membangun bagi Mesir, bagai filsafat bagi Yunani dan hukum bagi Romawi," kata Hassan Fatthy. Garis-garis arsitektur Mesir kini sudah merupakan perpaduan Franco-Arab yang tak mengembangkan (bahkan tak mampu) memperkaya gaya arsitektur Mesir asli. "Saya tidak memak sakan kebudayaan tertentu. Juga tidak fanatik dengan Barat dan Timur. Saya hanya fanatik pada ilmu," tutur Fatthy. Di jelaskan olehnya bahwa penjiplakan dari Barat tidak sepenuhnya bisa dilakukan. "Persoalan pembangunan kita hanya bisa dipecahkan oleh arsitek kita sendiri," tegasnya. Memang, ia juga menyayangkan kecenderungan arsitek baru yang sudah kehilangan tempat pijakan. Mereka sepenuhnya mengambilalih dari Barat, lalu menerapkannya tanpa memperhitungkan konlisi negerinya sendiri. "Rumah itu bagaikan tubuh kita juga," kata Fatthy. Ia dibangun dari sel-sel yang berkembang biak. Tubuh kasar kita adalah bentuk fisik rumah kita. Sedangkan rohnya, adalah keluarga." Jika tak berimbang antara dua unsur yang menjadikan rumah itu tegak, tak ada artinya. Di sini, Hassan Fatthy meletakkan psikologi penghuni sebagai nomor satu untuk bisa menyatu dengan sebuah bentuk rumah yang seharusnya mengikuti keselarasan penghuninya. Karena itu faktor kesejarahan Mesir sendiri memegang peranan penting dalam menentukan pola arsitektur. Di sini bersatu era Firaun, era Nasrani dan era Islam. Semuanya pernah lewat. Percobaan membuat rumah lumpur itu, sungguh sederhana. Jika sebuah desa memiliki 1000 ha, maka tanah yang 5 ha digunakan untuk pembuat batu bata, digali dari kedalaman 3 meter. Lumpurnya bisa digunakan untuk membangun 150 buah rumah. Tanah 5 ha itu juga masih bisa digunakan untuk empang. Dan di situlah simpan sumber protein yang di pedalaman sangat jarang dikenali. MUTU rumah lumpur tak usah diragukan. Bisa ratusan tahun. Seperti rumah di Desa Bagwat, di lembah Kharijah yang dibangun dalam konstruksi serupa gaya Hassan Fatthy, tapisudah bertahan dari tahun 1600 hingga kini. Dan ketika oleh Kandayal ditanya tentang cara bagaimana membina arsitek Mesir yang bertumpu dalam kubangan arsitektur Barat, Hassan Fatthy segera menunjuk pada kurikulum pendidikan Mesir sendiri yang sepenuhnya Barat. "Mereka tidak lagi mengenal bagaimana nenek moyangnya bisa membangun selama ribuan tahun hanya dengan benda-benda yang ada di sekitarnya. Mereka sudah dibebani kepercayaan yang kuat akan kemampuan ilmu Barat memecahkan segala persoalan yang ada. Padahal, anda tahu . . . ilmu yang mereka peroleh itu hanya akan membahas alumina, besi beton, kaca yang sama sekali bukan untuk konsumsi kaum fakir." Dia benar. Dan menurut Kandayal, Hassan Fatthy telah berjasa membesarkan hati orang Mesir, serta mengembalikan bangsa itu pada kebudayaannya. Atau lebih tepat lagi, mengembalikan lumpur ke rumah-rumah mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus