Film: IQ Jongkok
Sutradara: Iksan Lahardi
Film: Manusia 6 Juta Dollar,
Sutradara: Ali Shahab
DUDUK terjepit antara dua wanita tua dalam bis penuh berjejal,
terpelanting karena menginjak kulit pisang, terjebak guyonan
kawan dan terperangkap dalam kamar karena ulah calon mertua --
itulah jenis lawakan kasar (Slapstick) yang dihidangkan Warung
Kopi (Warkop) dalam film IQ Jongkok.
Meskipun judul film unik, bersuasana intelektual pula, corak
komedi pilihan Warkop kali ni tidak bergeser dari 2 film mereka
sebelumnya: Mana Tahan dan Pintar-Pintar Bodoh. Dialog-dialog
mereka yang dulu membawa warna baru, karena tidak sekedar lucu,
tapi juga bijak menyentak, dalam film ini tidak kunjung
terdengar.
Memang dalam sebuah adegan, ketiga anggota Warkop (minus Nanu)
yang berperan sebagai mahasiswa nampak berbincang-bincang
bagaimana mengisi masa liburan. Kasino enggan pulang kampung,
karena katanya kampung yang di Lampung itu milik orang lain.
Tanpa mimik kocak, ia menyesali mengapa orang-tuanya mau jadi
transmigran. Indro mengejek Dono, karena yang terakhir ini kalau
libur mesti pulang kampung, seperti pembantu rumahtangga saja.
Kalau pembantu rumahtangga pulang, menurut Indro, sebetulnya
cuma mau pamer radio cassette recorder yang lagunya itu-itu
juga.
Nah, itulah contoh dialog bijak khas Warkop, yang dalar film
ini seakan terlepas, terpenggal dari rangkaian slapstick yang
muncul silih berganti. Kemahasiswaan mereka juga rupanya sekedar
cantolan bagi kisah pengejaran harta karun yang bukan saja
kurang seru, tapi juga hampir tidak lucu. Perwatakan tidak
berkembang, padahal komedi yang baik selalu membuka kemungkinan
untuk itu--agak disayangkan. Padahal gagasan cerita ustru
datang dari Warkop sendiri.
Dalam Manusia 6 juta Dollar yang cerita dan skenarionya
ditangani Ali Shahab, komedi Warkop campur-aduk dengan perawakan
serba aneh si Kontet, si Botak dan si Cebol, actin yang
diperagakan Dono sehagai manusia 6 juta dollar yang masih
disempurnakan oleh kehadiran si cantik Eva Arnaz. Di sini Kasino
berperan sebagai otak di belakang operasi pelokis (bahasa prokem
untuk polisi), Dono sebagai agen 6 juta dan Indro agen 600,
maksudnya agen cecunguk yang kurang diperhitungkan.
Dengan semua ramuan ini, Ali Shahab berusaha memancing situasi
lucu, antara lain dengan menghadirkan professor jenius tapi
linglung, mempertentangkan keburukan Kontet dengan kecanl:ikan
Eva Arnaz, mengadu pelokis lembek dengan si Botak bertubuh
tinggi besar yang gigi-gigi besinya siap mencengkeram. Di sini
menonjol konsep jenaka Ali Shahab, yaitu memacu rasa geli dengan
segala yang amat berbeda dan bertentangan. Dan ini masih
dibumbui speed yang dicepatkan untuk frame-frame Dono ketika
lari mengejar penjahat. Pokoknya persis Steve Austin dalam
serial tv yang amat digemari itu. Musik temanya juga persis.
Peniruan itu bukan tidak memancing rasa geli. Sutradara tahu ini
dan dilakukannya dengan sengaja. Tapi bersamaan dengan itu porsi
kejenakaan Warkop dibatasi. Sesuai dengan perannya, Kasino
hampir tidak berkesempatan untuk nampak lucu. Peran itu
memaksanya selalu serius. Indro yang bertampang paling lumayan,
terpaksa konyol. Dan Dono, yang tampil sebagai si 6 juta dollar
itu, tiap kali membuat penonton gerr, kalau ia menyediakan mulut
dan giginya khusus untuk membuka tutup botol. Adegan ini paling
orisinal dan semua penonton, tanpa kecuali, terpingkal-pingkal.
Kendati semua film Warkop bertolak dari konsep yang berbeda
dengan film-film seri Ateng atau Bing Slamet umpamanya, bila
disimak lagi antara kedua jenis komedi itu tidak nampak
perbedaan yang menyolok. Memang Ateng dan almarhum Bing Slamet,
sepenuhnya cukup mengandalkan kelucuan mereka yang alami,
tinggal menggoyangkan kenop-kenop kejenakaan di sana-sini.
Tanpa Korban
Modal alami seperti itu tidak ada pada Warkop, kecuali Nanu
barangkali. Karena itu Warkop harus membina satu pendekatan
tersendiri terhadap komedi, yang lebih mengandalkan otak: dan
ternyata sukses dalam acara lawak di luar film. Dan disadari
atau tidak, pendekatan semacam ini sama sekali tercecer, sesudah
mereka terjun ke film.
IQ Jongkok umpamanya, mungkin semula dipersiapkan untuk film
komedi dengan cerita berbobot, karena jelas ada tema: pengejaran
harta karun oleh 3 mahasiswa yang ingin cepat kaya. Andaikata
digarap lebih matang, bukan mustahil film ini bisa jadi-satire
yang berhasil tanpa mengurangi porsi kejenakaannya.
Tapi agaknya Warkop belum sampai ke sana. Seperti yang dapat
disaksikan, baik dalam IQ Jongkok maupun Manusia 6 Juta Dollar,
fungsi cerita sama sekali tidak dianggap penting. Kalaupun alur
cerita ada, itu hanya dijadikan sekedar cantolan untuk action,
situasi, lelucon-lelucon tanggung yang memang disiapkan untuk
film-film jenis itu.
Tapi jika sebagian kecil penonton yang menuntut film komedi
berbobot kecewa pada Warkop, sebaliknya sebagian besar penonton
malah senang. IQ Jongkok bertahan lebih dari 3 minggu di
Jakarta, belum diperhitungkan pemutaran di bioskop kelas bawah.
Mungkin masih di bawah sukses Pintar-Pintar Bodoh, namun
penghasilan box-office sudah mereka kantungi.
Dalam pada itu sebagai komedian Warkop juga bisa dibilang sukses
karena mereka toh berhasil membuat penonton tertawa, gemas,
gregetan. Dan mereka lakukan itu tanpa korban, tanpa mengejek
atau mengkambing-hitamkan seseorang. Ada kesan Warkop juga masih
berusaha menggali situasi lucu, tapi pada tahap sekarang, masih
terasa dangkal.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini