Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kecelakaan-kecelakaan kontrasepsi

Setelah kie untuk kb, perlu program lain untuk lebih mantap. bagaimana kalau legalisasi abortus, untuk memperkecil angka "jisamsu".

3 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGKA sensus 1980 tentang pertambahan penduduk cukup mengejutkan. Juga mengecewakan. Karena lama ini perkiraan laju pertumbuhan penduduk. berkisar pada angka 1,8%. Nyatanya, sensus menunjukkan 2,34% ias jisamsu. Kalau 1,8 dianggap angka "sukses", tentu angka jisamsu berrti sebaliknya. Meskipun bukan gagal total. "Melihat hasil sensus 1980, itu berarti kita harus rja keras," kata Soetjipto Wirosardjoo, Ketua PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), badan swasta perma yang menggalakkan KB di Indonesia. Dia kemudian menyarankan agar program KB ditinjau kembali secara menyeluruh. Selama ini, program baru berkisar pada KIE (komunikasi, informasi dan edukasi). Hal ini juga diakui Dr. Haryono Suyono, Deputi I Bidang KB dari BKKBN, badan pemerintah yang menangani masalah KB. Bahkan Suyono berucap: "Selama ini kami menjual pakaian luarnya saja, belum menjual hal yang ditutupi.' Maksud Suyono ialah baru menanamkan bagaimana keluarga kecil itu suatu norma yang baik. Istilah populernya di kalangan BKKBN ialah Panca Warga yang mempunyai dasar anjuran: anak dua atau 3 sudah cukup. Legalisasi ? Sedangkan maksud terselubung dari ucapan Suyono tentang hal yang ditutupi ialah program yang lebih nyata, tegas dan melihat realita dari kegagalan-kegagalan selama ini. Yaitu angka kelahiran yang tidak diharapkan sebagai alasan mayor, sedangkan penanganan keluarga yang ingin mempunyai anak dianggap sebagai masalah minor. Berapa banyak kelahiran di Indonesia yang dianggap sebagai kelahiran yang tak diharapkan? "Sulit mendatanya," lanjut Suyono lagi, "karena yang sudah telanjur lahir dianggap takdir." Dari angka peserta KB, BKKBN mencatat bahwa pemakai kontrasepsi kondom mengalami kegagalan terbesar. Yaitu 25% dari jumlah pemakai kondom (resmi) 500.000 orang. Suyono mengungkapkan kegagalan KB lewat kondom ini bukan karena buruknya kualitas kondom, melainkan si pemakai kurang memahami cara pemakaiannya. Spiral mencapai 2 - 3% kegagalan dari jumlah pemakai sebanyak 2 juta orang lebih. Sedangkan pil, tercatat cuma 0,1% dari 5,5 juta orang pemakai. BKKBN belum mencatat persentase kegagalan dari peserta KB suntikan yang mempunyai pengikut 170.000 orang dan kontraseptik lainnya sekitar 240.000 orang. "Sebenarnya, cukup besar juga kegagalan dari spiral," lanjut Suyono lagi, "yaitu sebesar 40 - 50 ribu orang." Karenanya, pemerintah membebaskan ongkos kelahiran bagi si pemakai spiral yang gagal itu, atau mengganti ongkos melahirkan (sekitar Rp 10.000). Kegagalan pemakai kontraseptik lainnya tidak diberi penggantian. "Tak ada jaminan, apakah mereka benar-benar minum pil atau memakai kondom waktu itu," kata Suyono lagi. Kemudian bagaimana cara penanggulangannya? Suyono secara samar cuma berkata: "Ide sebuah rumah sakit untuk KB khusus, sudah ada sejak dua tahun yang lalu." Rupanya Suyono enggan membicarakan masalah legalisasi abortus. Sedangkan Soetjipto yang lebih berani karena melihat berbagai kegagalan pemakai kontrasepsi berkata "Pengguguran kandungan itu sendiri, sudah menjadi kenyataan." Untuk mereka yang karena alasan kesehatan takboleh melahirkan, di Jakarta misalnya, Klinik Raden Saleh, Wisma Pancawarga telah dikenal umum. Bahkan 80% dari pasien di klinik Raden Saleh adalah penderita yang sebelumnya telah mencoba dengan caranya sendiri unuk menggugurkan kandungan. Entah lewat dukun pijat atau minum jamu. Sebegitu jauh, masyarakat Indonesia beranggapan bahwa pengguguran adalah masalah peka. "Pengguguran sama sekali tidak dibenarkan oleh agama kami," kata dr. D. Riberu, seorang Katolik. Sedangkan Aisah Amini SH, meskipun katanya pendapatnya tidak mewakili umat Islam, berkata: "Harus diberi penjelasan dan pengertian yang jelas tentang KB yang gagal itu." Tambahnya: "Dengan demikian tidak ada dalih untuk asal menggugurkan saja, karena KB tidak bertentangan dengan Islam." Menurut Haryono Suyono, "kalau pengguguran diterima secara resmi sebagai kebijakan, akan menimbulkan soal dan orang akan semaunya sendiri." Rupanya, dia cenderung untuk tetap dengan alasan yang selama ini berlaku: alasan medis. Tetapi "praktek abortus sudah merupakan kenyataan sekarang," tukas Soetjipto. Karena itu dia tetap menekankan praktek abortus yang jelas dan terang, daripada yang gelap dan dilakukan secara tak betul. - Soetjipto berkata lagi: "Dengan perkembangan masyarakat sekarang, apakah tak perlu hukum atau aturan tentang abortus itu ditinjau lagi?" Menurut pendapatnya, kesenjangan antara kesadaran melaksanakan KB di satu pihak, dengan kegagalan melaksanakan program di pihak yang lain, harus dijembatani dengan sesuatu yang jelas. Kabarnya, RUU tentang hal ini masih disimpan di DPR. Kalau Indonesi nanti melegalisasikan hal ini, "akan matilah pencarian dokter yang mempunya sarapan jutaan rupiah selama ini," ucap seorang dokter. Di Jakarta (dan mungkin di kota lain), "sarapan jutaan rupiah" ini berarti dokter yang melakukan praktek abortus gelap. Kalau setiap pagi dia melakukan hal itu terhadap empat atau lima pasien saja (dan tiap pasien cukup 10 menit) paling tidak dia akan menerima Rp 1 juta. Dalam buletin Population Crisis Community di AS, April 1979, pernah dimuat artikel yang berjudul World Abortion Trends, Indonesia (dan Mesir, Birma, Belgia) termasuk negara yang melakukan praktek aborsi secara ilegal tanpa kekecualian apa pun. Sedangkan yang melakukan aborsi legal bersyarat Malaysia, Pakistan, Irak, Bangladesh, Madagaskar, Malawi dan Belanda. Buletin lain yang diterbitkan Universitas John Hopkins (AS), Population Reort, Juli 1980, pernah memuat suatu penelitian wanita Malaysia berusia 150 tahun. Hasilnya: Tahun 1973 dari 9.506 wanita usia itu, ada 11% yang melakukan aborsi dengan sengaja, paling tidak satu kali. Diperkirakan dari 1000 kelahiran, selalu ada 190 aborsi yang disengaja Dan jumlah di tahun 1973 ini meningkat sebanyak tiga kali pada 1970.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus