ANGKA sensus 1980 tentang pertambahan penduduk cukup
mengejutkan. Juga mengecewakan. Karena lama ini perkiraan laju
pertumbuhan penduduk. berkisar pada angka 1,8%. Nyatanya, sensus
menunjukkan 2,34% ias jisamsu. Kalau 1,8 dianggap angka
"sukses", tentu angka jisamsu berrti sebaliknya.
Meskipun bukan gagal total. "Melihat hasil sensus 1980, itu
berarti kita harus rja keras," kata Soetjipto Wirosardjoo, Ketua
PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), badan swasta
perma yang menggalakkan KB di Indonesia. Dia kemudian
menyarankan agar program KB ditinjau kembali secara menyeluruh.
Selama ini, program baru berkisar pada KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi).
Hal ini juga diakui Dr. Haryono Suyono, Deputi I Bidang KB dari
BKKBN, badan pemerintah yang menangani masalah KB. Bahkan Suyono
berucap: "Selama ini kami menjual pakaian luarnya saja, belum
menjual hal yang ditutupi.' Maksud Suyono ialah baru menanamkan
bagaimana keluarga kecil itu suatu norma yang baik. Istilah
populernya di kalangan BKKBN ialah Panca Warga yang mempunyai
dasar anjuran: anak dua atau 3 sudah cukup.
Legalisasi ?
Sedangkan maksud terselubung dari ucapan Suyono tentang hal yang
ditutupi ialah program yang lebih nyata, tegas dan melihat
realita dari kegagalan-kegagalan selama ini. Yaitu angka
kelahiran yang tidak diharapkan sebagai alasan mayor, sedangkan
penanganan keluarga yang ingin mempunyai anak dianggap sebagai
masalah minor. Berapa banyak kelahiran di Indonesia yang
dianggap sebagai kelahiran yang tak diharapkan? "Sulit
mendatanya," lanjut Suyono lagi, "karena yang sudah telanjur
lahir dianggap takdir."
Dari angka peserta KB, BKKBN mencatat bahwa pemakai kontrasepsi
kondom mengalami kegagalan terbesar. Yaitu 25% dari jumlah
pemakai kondom (resmi) 500.000 orang. Suyono mengungkapkan
kegagalan KB lewat kondom ini bukan karena buruknya kualitas
kondom, melainkan si pemakai kurang memahami cara pemakaiannya.
Spiral mencapai 2 - 3% kegagalan dari jumlah pemakai sebanyak 2
juta orang lebih. Sedangkan pil, tercatat cuma 0,1% dari 5,5
juta orang pemakai. BKKBN belum mencatat persentase kegagalan
dari peserta KB suntikan yang mempunyai pengikut 170.000 orang
dan kontraseptik lainnya sekitar 240.000 orang.
"Sebenarnya, cukup besar juga kegagalan dari spiral," lanjut
Suyono lagi, "yaitu sebesar 40 - 50 ribu orang." Karenanya,
pemerintah membebaskan ongkos kelahiran bagi si pemakai spiral
yang gagal itu, atau mengganti ongkos melahirkan (sekitar Rp
10.000). Kegagalan pemakai kontraseptik lainnya tidak diberi
penggantian. "Tak ada jaminan, apakah mereka benar-benar minum
pil atau memakai kondom waktu itu," kata Suyono lagi.
Kemudian bagaimana cara penanggulangannya? Suyono secara samar
cuma berkata: "Ide sebuah rumah sakit untuk KB khusus, sudah ada
sejak dua tahun yang lalu." Rupanya Suyono enggan membicarakan
masalah legalisasi abortus. Sedangkan Soetjipto yang lebih
berani karena melihat berbagai kegagalan pemakai kontrasepsi
berkata
"Pengguguran kandungan itu sendiri, sudah menjadi kenyataan."
Untuk mereka yang karena alasan kesehatan takboleh melahirkan,
di Jakarta misalnya, Klinik Raden Saleh, Wisma Pancawarga telah
dikenal umum. Bahkan 80% dari pasien di klinik Raden Saleh
adalah penderita yang sebelumnya telah mencoba dengan caranya
sendiri unuk menggugurkan kandungan. Entah lewat dukun pijat
atau minum jamu.
Sebegitu jauh, masyarakat Indonesia beranggapan bahwa
pengguguran adalah masalah peka. "Pengguguran sama sekali tidak
dibenarkan oleh agama kami," kata dr. D. Riberu, seorang
Katolik. Sedangkan Aisah Amini SH, meskipun katanya pendapatnya
tidak mewakili umat Islam, berkata: "Harus diberi penjelasan dan
pengertian yang jelas tentang KB yang gagal itu." Tambahnya:
"Dengan demikian tidak ada dalih untuk asal menggugurkan saja,
karena KB tidak bertentangan dengan Islam."
Menurut Haryono Suyono, "kalau pengguguran diterima secara resmi
sebagai kebijakan, akan menimbulkan soal dan orang akan semaunya
sendiri." Rupanya, dia cenderung untuk tetap dengan alasan yang
selama ini berlaku: alasan medis. Tetapi "praktek abortus sudah
merupakan kenyataan sekarang," tukas Soetjipto. Karena itu dia
tetap menekankan praktek abortus yang jelas dan terang, daripada
yang gelap dan dilakukan secara tak betul.
- Soetjipto berkata lagi: "Dengan perkembangan masyarakat
sekarang, apakah tak perlu hukum atau aturan tentang abortus itu
ditinjau lagi?" Menurut pendapatnya, kesenjangan antara
kesadaran melaksanakan KB di satu pihak, dengan kegagalan
melaksanakan program di pihak yang lain, harus dijembatani
dengan sesuatu yang jelas.
Kabarnya, RUU tentang hal ini masih disimpan di DPR. Kalau
Indonesi nanti melegalisasikan hal ini, "akan matilah pencarian
dokter yang mempunya sarapan jutaan rupiah selama ini," ucap
seorang dokter. Di Jakarta (dan mungkin di kota lain), "sarapan
jutaan rupiah" ini berarti dokter yang melakukan praktek abortus
gelap. Kalau setiap pagi dia melakukan hal itu terhadap empat
atau lima pasien saja (dan tiap pasien cukup 10 menit) paling
tidak dia akan menerima Rp 1 juta.
Dalam buletin Population Crisis Community di AS, April 1979,
pernah dimuat artikel yang berjudul World Abortion Trends,
Indonesia (dan Mesir, Birma, Belgia) termasuk negara yang
melakukan praktek aborsi secara ilegal tanpa kekecualian apa
pun. Sedangkan yang melakukan aborsi legal bersyarat Malaysia,
Pakistan, Irak, Bangladesh, Madagaskar, Malawi dan Belanda.
Buletin lain yang diterbitkan Universitas John Hopkins (AS),
Population Reort, Juli 1980, pernah memuat suatu penelitian
wanita Malaysia berusia 150 tahun. Hasilnya: Tahun 1973 dari
9.506 wanita usia itu, ada 11% yang melakukan aborsi dengan
sengaja, paling tidak satu kali. Diperkirakan dari 1000
kelahiran, selalu ada 190 aborsi yang disengaja Dan jumlah di
tahun 1973 ini meningkat sebanyak tiga kali pada 1970.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini