Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rumah Rp 20 miliar untuk Megawati

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalah dalam pemilihan presiden tak membuat hidup seseorang menjadi sia-sia. Setidaknya, ia tak boleh dibiarkan melarat. Megawati Soekarnoputri, presiden yang dipastikan kalah dalam pemilu 20 September lalu, membuktikannya. Pekan lalu ia mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Hak Keuangan bagi Mantan Presiden dan Wakil Presiden. Meski sudah diteken, keputusan ini kabarnya belum bernomor. "Keppres itu turunan dari undang-undang lama," kata Sekretaris Negara Bambang Kesowo.

Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan Presiden dan Wakil Presiden serta Para Mantan. Pada Pasal 6 disebutkan, mantan presiden dan wakil presiden mendapat uang pensiun yang besarnya sama dengan gaji pokok terakhir. Dua pasal selanjutnya mengatakan bekas pemimpin eksekutif dan wakilnya diberi tunjangan biaya rumah tangga (biaya air, listrik, telepon, dan seluruh kesehatan sekeluarga), diberi rumah kediaman dan perlengkapan, serta ditanggung biaya perawatannya. Selain itu, mereka juga diberi kendaraan milik negara plus pengemudi.

Keppres yang ditandatangani Mega mempertegas undang-undang itu. Di sana disebutkan mantan presiden dan wakil presiden akan mendapat rumah senilai Rp 20 miliar, mobil, sopir pribadi, sekretaris pribadi, dan biaya kesehatan bagi keluarganya. "Ini bukan hal yang luar biasa," kata Wakil Sekretaris Kabinet, Erman Rajagukguk.

Menurut bekas juru bicara mantan presiden Abdurrahman Wahid, Adhi Massardi, saat Abdurrahman menjabat, presiden tak pernah mengeluarkan keppres semacam itu. Mega, kata Adhi, pernah menawari fasilitas rumah senilai Rp 20 miliar kepada Abdurrahman setahun lalu. Namun, karena sudah memiliki rumah, Abdurrahman meminta "mentahnya" saja. "Tapi, setelah itu tidak ada kabar lagi," kata Adhi.

Syahril Sabirin Bebas

Bekas Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, kini dapat menghela napas lega. Mahkamah Agung akhirnya membebaskan terdakwa kasus Bank Bali ini dari jerat hukum. "MA menolak kasasi jaksa penuntut umum," kata Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Pidana MA, Zarof Ricard, pekan lalu. Putusan itu diambil 21 September 2004 lalu dalam sidang yang diketuai Hakim German Hoediarto dengan anggota Paulus E. Lotulung dan Usman Karim.

Putusan ini memperkuat vonis Pengadilan Tinggi Ja-karta, 12 Agustus 2002, yang membebaskan Syahril. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 13 Maret 2002, Syahril divonis tiga tahun penjara. Saat itu Syahril dinyatakan bersalah karena terlibat dalam pencairan klaim Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia senilai Rp 904,647 miliar.

German tak bersedia menerangkan pertimbangan hakim yang mendasari putusan ini. "Pokoknya, jaksa tidak bisa membuktikan tuntutan," ujarnya di Semarang pekan lalu. Sementara itu, pengacara Syahril, Muhammad Assegaf, mengaku bersyukur atas pembebasan kliennya. "Ini sesuai dengan memori kasasi yang kami ajukan," katanya.

Heri Gulon Pelaku Bom Kuningan

Berhari-hari memeriksa potongan tubuh yang tercecer, polisi akhirnya menemukan identitas pelaku bom bunuh diri yang meledak di depan Kedutaan Australia awal bulan lalu. Dialah Heri Gulon, 30 tahun, warga Kebon Pedes, Sukabumi. Berdasarkan tes DNA, sampel darah orang tua Heri ternyata cocok dengan potongan tubuh yang diperiksa. "Kuat diduga, Heri adalah orang yang membawa bom mobil dan mati bersama bom itu," kata Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar.

Heri adalah anggota "Kelompok Tujuh" yang telah mengirim surat berani mati yang dititipkan kepada istri dan orang tuanya. Ia dan enam orang lainnya direkrut Rois alias Iwan Darmawan untuk menjadi anggota kelompok Islam radikal. Rois adalah tersangka yang kini buron. Sebutan Kelompok Tujuh muncul karena ketujuh orang itu aktif berdiskusi sebelum akhirnya dibaiat menjadi anggota pasukan berani mati. Polisi berkeyakinan kelompok ini memiliki hubungan dengan Azahari dan Noordin M. Top—dua warga Malaysia yang menjadi aktor utama sejumlah peledakan di Tanah Air.

Kostrad zonder Panglima

Baru kali ini pasukan baret hijau seperti anak ayam kehilangan induk. Itu karena Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Letjen Bibit Waluyo, harus pensiun meski penggantinya belum ada. "Sejak September lalu, Bibit Waluyo resmi memasuki masa pensiun," kata Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu.

Keterlambatan penunjukan pengganti posisi panglima komando utama mengejutkan banyak orang. "Baru kali ini Kostrad zonder Panglima," kata seorang perwira tinggi. Menurut sumber Tempo di Badan Intelijen Negara, pencopotan Bibit disebabkan oleh persaingan internal di tubuh TNI. "Permintaan perpanjangan masa dinas Bibit kepada Presiden Megawati dipotong atasannya," kata sumber itu. Rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi—badan TNI yang berwenang mengatur rotasi jabatan—pun baru dilakukan pekan ini.

Menurut KSAD, kekosongan posisi Pangkostrad semata masalah teknis. Ryamizard juga membantah pimpinan TNI mempertimbangkan pergantian presiden sehingga tak segera menunjuk pengganti Pangkostrad yang baru. Menurut Bibit, perpanjangan usia pensiun biasanya dilakukan pada perwira yang masih dibutuhkan atau memiliki potensi untuk mengisi jabatan tertentu. "Karena saya tidak, saya akan pulang kampung saja. Angon bebek (menggembala itik)," katanya.

Boyce Minta 'Delapan Enam'

Duta Besar Amerika Serikat, Ralph L. Boyce, sedang cemas. Warga negaranya—eksekutif PT Newmont Minahasa Raya (NMR)—kini mendekam di rumah tahanan Markas Besar Polri karena terlibat pencemaran Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Pekan lalu Boyce mengunjungi mereka.

Tak sekadar membesuk, Boyce juga meminta Polri agar tidak menahan mereka seperti perlakuan polisi terhadap Presiden Direktur PT NMR, Richard Ness. Mengacu pada Pasal 86 KUHP, meminta semacam ini kerap diistilahkan dengan "delapan enam". Padahal, menurut sumber Tempo di Mabes Polri, keputusan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar untuk tidak menahan Ness telah mempersulit penyidikan. "Kalau ditahan kan tinggal ngebon (pinjam dari tahanan), tidak pakai surat-surat lagi," ujar sumber itu.

Boyce pun menyempatkan diri mengunjungi Presiden Megawati Soekarnoputri untuk membicarakan kasus ini. Di sana, Boyce mengulang permintaannya agar para tersangka tidak ditahan. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, yang mendampingi Presiden, saat itu Boyce pun mengingatkan bahwa kasus Buyat bisa berdampak pada iklim investasi di Indonesia.

Buloggate Akbar Dibongkar Ulang

Masa pensiun yang nikmat tampaknya tidak akan dirasakan Akbar Tandjung. Baru saja meninggalkan kursi Ketua DPR, ia langsung menghadapi ancaman baru: sejumlah musuh politiknya membuka kembali kasus Buloggate II—skandal penyelewengan dana Bulog Rp 40 miliar yang sempat membuatnya menjadi terpidana dua tahun lalu.

Ancaman datang dari sembilan pengurus Golkar yang dipecat Akbar baru-baru ini. "Kami punya novum baru," kata Fahmi Idris, satu di antara sembilan orang itu, dalam sebuah pernyataan pers pekan lalu. Fahmi juga meminta Akbar mundur dari posisi Ketua Umum Golkar.

Bukti itu menurut Anton Lesiangi, pengurus Golkar lain yang dipecat, terutama bersangkutan dengan kesaksian dan sumpah palsu Akbar di pengadilan. Menurut Anton, Akbar memang tidak menerima uang itu, "Namun, uang itu dibagi-bagikan langsung kepada M.S. Hidayat Rp 10 miliar dan Enggartiasto Lukito Rp 10 miliar," kata Anton. Dua yang terakhir adalah bendahara Golkar.

Gerakan kelompok sembilan ini segera bergaung. Sejumlah organisasi massa, yakni Pokja Petisi 50, Komite Waspada Orde Baru, Gerakan Rakyat Marhaen, dan Himpunan Mahasiswa Islam MPO, juga mengadukan Akbar ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kamis lalu. Mereka menilai Akbar telah memberikan keterangan dan sumpah palsu.

Ketua Partai Golkar itu mengancam akan menggugat balik pihak-pihak yang terus membuka kasus tersebut meski Mahkamah Agung telah membebaskannya. "Saya segera mengkonsultasikannya dengan penasihat hukum saya," kata Akbar.

Eksekusi Namsong dan Saelow

Akhirnya terjawab juga teka-teki pelaksanaan eksekusi mati dua narapidana mati kasus heroin asal Thailand, Namsong Prasad dan Saelow Prasad. Di kompleks Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, Jumat pukul 01.40 WIB lalu, keduanya mengembuskan napas karena timah panas satuan Brimob Polda Sumatera Utara.

Saelow Prasad adalah bekas tentara yang lahir di Bangkok, 5 April 1942, sedangkan Namsong Prasad wanita beranak satu kelahiran Bangkok, 24 Agustus 1972. Keduanya telah menjalani hukuman penjara selama 10 tahun.

Awalnya, 21 Februari 1994, dua orang ini ditangkap di Bandara Polonia, Medan, setelah menjalani penerbangan dari Thailand menuju Medan melalui Singapura dengan pesawat Silk Air. Polisi menemukan keduanya membawa 12,19 kg heroin.

Pada 8 September 1994, Pengadilan Negeri Medan memvonis mati keduanya. Putusan itu diperkuat Pengadilan Tinggi Medan dan kasasi Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali dua terpidana ini juga ditolak MA. Selanjutnya, gong kematian itu diperkuat oleh munculnya Keppres No. 7/G Tahun 2004 dari Presiden Megawati, yang menolak grasi mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus