Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Merumuskan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Akhirnya Indonesia memiliki Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada yang pernah menjanjikan bahwa kehidupan rumah tangga adalah sebuah surga (kecuali film Hollywood). Tetapi, tak pernah ada peradaban ataupun kebudayaan mana pun di planet ini yang pernah menghalalkan atau mengizinkan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga. Syahdan beberapa tahun silam, dalam sebuah lokakarya yang diadakan sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk berkampanye tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, seorang psikolog berkisah tentang pasiennya. Seorang istri yang dalam keadaan babak-belur digebuk sang suami selama bertahun-tahun akhirnya tertatih menuju pos polisi, mengadu. Yang terjadi adalah para polisi menyuruhnya kembali ke rumah dan meladeni sang suami dengan baik.

Apa boleh buat, ini kisah "klasik", ini kisah "klise" yang terjadi di Indonesia, sebuah negara merdeka yang memakan waktu sungguh lama untuk menyadari bahwa kekerasan (fisik) adalah suatu tindak kriminal. Dan omong punya omong, kekerasan itu bukan hanya monopoli rumah tangga kelas bawah belaka seperti yang sering diungkap media dan tayangan kriminal, tetapi menjadi "penyakit" di seluruh strata masyarakat ini.

Lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah sebuah perjalanan panjang yang merupakan gagasan para aktivis perempuan yang selama ini mendampingi korban kekerasan rumah tangga. Siapakah korban kekerasan rumah tangga? Seorang kawan (pria) dengan nada mengejek lagi-lagi melontarkan pertanyaan klise itu: bukankah lelaki bisa menjadi korban? Tentu saja. Namun, fakta yang tercantum dalam studi berbagai lembaga hak asasi maupun lembaga swadaya masyarakat, korban kekerasan dalam rumah tangga yang tertinggi adalah perempuan dan anak-anak. Kasus Ari Hanggara puluhan tahun silam masih belum berhenti, seperti juga kasus pemukulan dan penyiksaan seorang suami terhadap istri.

Yang menarik dari undang-undang ini adalah, untuk pertama kali, negara ini juga mengakui secara formal bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya persoalan pemukulan atau penyiksaan fisik belaka, tetapi juga melingkupi kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Di masa lalu, sebelum Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga lahir, kekerasan dalam rumah tangga lazimnya ditangani dengan mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Akibatnya, ada beberapa hal yang menyebabkan sulit menyeret pelaku kekerasan dalam rumah tangga ke meja hijau, misalnya jika terjadi "marital rape" atau kekerasan seksual. Istilah "marital rape" ini oleh beberapa pihak sering dianggap sebagai konsep Barat yang dicangkokkan ke dunia Timur, karena menurut mereka di dunia Timur (yakni Indonesia) istri harus meladeni apa saja keinginan suami. Problemnya, ternyata, menurut laporan dan studi, banyak suami yang menggunakan kekerasan dan ketidakwajaran dalam hubungan seksual (baca: Urusan Ranjang Tak Lagi Soal Pribadi).

Yang patut disambut pula, undang-undang baru ini juga mendorong masyarakat yang menjadi saksi kekerasan dalam sebuah rumah tangga agar melaporkan kekerasan ini kepada yang berwajib. Kekerasan dalam bentuk apa pun adalah sebuah tindak kriminal, bukan persoalan "pribadi" yang cukup diselesaikan oleh permintaan maaf sang suami yang baru saja menendang istri yang hamil atau menghajar putra berusia lima tahun.

Selain menyambut lahirnya undang-undang ini, majalah ini juga menyarankan agar lokakarya yang intensif terhadap polisi, jaksa, dan hakim perlu diselenggarakan agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang sehat, yang memahami hak-hak setiap anggota keluarga untuk menjadi manusia yang senantiasa merasa aman dalam hidupnya. Lahirnya undang-undang ini adalah sebuah langkah awal. Yang penting adalah bagaimana undang-undang ini berhasil melindungi mereka yang selama ini hidup dalam ketakutan dan nista dalam keluarganya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus