Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Laporan Hitam Menjelang Perubahan

Human Rights Watch menerbitkan laporan tentang penyiksaan terhadap anggota GAM yang ditahan. Harapan untuk pemerintahan baru.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIKAYAT panjang itu bernama Aceh. Sejak masa kolonial hingga menjelang "era perubahan" ini, provinsi di ubun-ubun Pulau Andalas itu seperti tak sudah dirundung duka. Pekan lalu, meluncur cerita baru dari New York, Amerika Serikat, tempat bermarkas Human Rights Watch, lembaga pemantau hak-hak asasi manusia yang kredibilitasnya tak bisa diremehkan. Cerita itu dikemas dalam sebuah laporan setebal 55 halaman dengan judul Aceh at War: Torture, Ill-Treatment and Unfair Trials.

Kita tahu, pada 19 Mei 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri memberlakukan darurat militer di Aceh. Menurut perkiraan, sekitar 40 ribu personel militer dan polisi diterjunkan di provinsi itu untuk menghadapi sekitar 5.000 anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersenjata, kelompok separatis yang ingin membebaskan diri dari Indonesia. Setahun kemudian, Mei 2004, status darurat militer itu diubah menjadi darurat sipil.

Bukan rahasia sama sekali jika konflik bersenjata yang mendekati "perang tertutup" itu menimbulkan korban di kedua pihak, baik GAM maupun anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Bahkan penduduk sipil yang tak tahu apa-apa ikut terimpit bagaikan pelanduk di antara dua gajah bertarung.

Menurut laporan Human Rights Watch, selama periode itu, aparat keamanan Indonesia menahan sekitar 2.000 tersangka anggota GAM. Sebagian di antara mereka dihadapkan ke pengadilan. Sebagian dipindahkan ke penjara dan rumah tahanan di Pulau Jawa. Para pelapor Human Rights Watch mewawancarai 35 tahanan—dewasa dan di bawah umur—di lima penjara terpisah di Pulau Jawa, dan itulah bahan dasar Aceh at War.

Dari sini pula cerita bermula. Menurut tuturan para tahanan itu, selama berada di bawah kekuasaan aparat keamanan Indonesia, mereka mengalami penganiayaan yang bertentangan dengan harkat kemanusiaan. Sebagian besar mengalami pemukulan, tapi beberapa menerima perlakuan lebih hina: disundut api rokok dan pemantik, bahkan dikuliti (skinned). Perlakuan ini, kalau benar terjadi, tentu bertentangan dengan konvensi apa pun mengenai hak-hak asasi manusia dan perlakuan terhadap tahanan.

Human Rights Watch sendiri tak menafikan kekerasan GAM terhadap penduduk sipil. Tapi, itulah, mereka tak mendapat keleluasaan untuk meliput daerah operasi militer. Markas Besar TNI segera mempelajari temuan Human Rights Watch ini dan berjanji menyelidiki perlakuan atas tahanan GAM. Sebaliknya, Markas Besar TNI juga akan meminta pertanggungjawaban Human Rights Watch jika laporan itu ternyata tak benar.

Masalah yang paling mendesak, sebetulnya, adalah keterbukaan. Menutup akses bagi lembaga pemantau malah bisa menguntungkan salah satu pihak secara tidak proporsional. Dalam kasus laporan Human Rights Watch ini, yang diuntungkan jelas pihak GAM karena kekerasan dan penganiayaan yang mereka lakukan justru tak terungkap sampai ke detail.

Menarik pula diingat, laporan ini diluncurkan dekat menjelang pergantian pemerintahan di Indonesia. Tersirat harapan Human Rights Watch, pemerintahan yang baru, di bawah Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla, akan mengambil sikap yang baru pula bagi penyelesaian bukan saja masalah GAM, melainkan juga semua konflik separatisme di Indonesia. Kata kunci yang dikibarkan pasangan SBY-MJK selama masa kampanyenya, "perubahan", tentu pula akan menyentuh masalah peka yang bisa menistakan kita di mata dunia itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus