KALAU tak pandai menari janganlah ~lantai yang disalahkan. Lain pula Wayan Misi, 40 tahun, penduduk Denpasar, Bali. Ia telanjur "menari" di rumput laut. Ayah satu anak ini mencoba berniaga rumput laut. Dalam tempo setahun bukan hanya modal, malah rumah dan mobilnya ikut ditelan gelombang. Padahal, menurut hitungan di atas kertas, untungnya lumayan. "Saya beli Rp 200 sekilo. Di Surabaya laku Rp 275. Setelah dipotong angkutan dan buruh, saya bisa untung Rp 50 per kilo. Coba kalikan 20 ton per hari, saya mestinya jadi orang kaya," begitu ia bercerita kepada Nengah Wedja dari TEMPO. Yang terjadi adalah sebaliknya. Kerugian yang dialaminya, kata Misi, karena tak direstui Ida Bethara -- yang dipercaya sebagai penguasa laut selatan. Sebagai penganut Hindu, ia melaksanakan upacara korban: itik berbulu hitam dan ayam putih dicemplungkan ke laut. "Memang, untuk sekejap saya bisa bekerja tenang. Tapi mungkin karena masih kurang syaratnya, saya akhirnya hancur," katanya. "Saya barangkali salah, kenapa barang milik orang saya jual. Dan saya difitnah," ujarnya. Ia ini seraya membenarkan sas-sus bahwa dewata murka padanya karena memperdagangkan hasil laut itu. "Mana ada orang kaya dari menjualbelikan hasil laut," tambahnya. Misi agaknya lupa bahwa orang Jepang, misalnya, bisa kaya tak sekadar main rumput dewa, eh, rumput laut. Bahkan, bila mungkin melego seantero hasil laut yang ada sejauh ini toh tidak pernah terdengar mereka rugi. Hayo, ya kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini