Ansietas diseminarkan. Obatnya dikembangkan sampai ke generasi ketiga. Terapinya holistik. SEORANG eksekutif bank khawatir terlibat kasus seperti di Bank Duta. ~Ia merasa mual. Dadanya sesak. Keringat dingin muncrat. Pandangannya gelap. Dan, bam, ia pingsan. Bankir sukses itu sedang menghadapi persoalan berat. Banyak yang menduga ia terkena serangan jantung. Sesudah diperiksa, ternyata bukan. Jantun~nya bekerja normal. Lalu apa? Setelah dikirim ke bagian psikiatri, baru ketahuan ia mengalami kecemasan hebat atau ansietas (dari anxiely). Ini gejala psikiatris karena dihinggapi perasaan waswas, tidak menyenangkan, dan khawatir -- disertai satu atau lebih keluhan fisik. Derita ini terkadang ditambah lagi dengan kecenderungan mudah terkejut, gelisah, dan tak betah duduk diam. Di masa lalu, penyebab ansietas masih sulit diterangkan secara gamblang, sehingga muncullah berbagai istilah klinis yang menunjukkan kesamaran. Kasusnya itu kebanyakan dikate~gorikan psikosomatis atau keluhan sakit tanpa penyebab kelainan fisik. Sekarang, biarpun belum diketahui pasti, ansietas dapat dijelaskan lebih rasional. Bahkan sudah ada obat penyembuhnya yang manjur, yang disebut antiansietas. Dengan tema "Anxiety: Konsep, Diagnosis, dan Terapi Mutakhir", Sabtu dua pekan lalu terapi obat ini diseminarkan di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta. Hari itu bicara psikiater ternama Dr. Yul Iskandar, psikiater Dr. Sasanto Wibisono, Prof. Malcolm Lader dari Universitas London, dan psikiater senior Prof. Kusumanto Setyonegoro. Ansietas sangat umum dalam kehidupan sehari-hari. Spektrumnya juga sangat luas, dari yang normal sampai yang patologis. "Ini manifestasi langsung dari stres, dan erat kaitannya dengan pola hidup," kata Sasanto. Sementara itu, menurut Kusumanto, seorang penderita ansietas sering mengkhawatirkan bahwa hal terburuk akan terjadi pada dirinya. Ia sangat menderita. Penyakit ini biasanya datang bergelombang -- dan punya kecenderungan memburuk. Akibatnya, penderita tidak mampu mengerjakan tugasnya secara efektif. Kualitas hidupnya bahkan merosot. Malapetaka atau peristiwa besar juga bisa membuat ansietas memuncak, lalu membuahkan panik atau ketakutan yang terbuka. Tanda-tandanya: kepala dan tengkuk menjadi kaku, mata kabur karena lelah, mulut dan leher terasa kering. Frekuensi napas naik, tapi tarikan napas justru tak lega. Denyut nadi menjadi cepat dan tekanan darah naik. Semua kelainan ini, menurut Kusumanto, tidak nyata dan sulit dibuktikan lewat pemeriksaan fisik atau laboratorium. Penyebab ansietas sangat kompleks dan rumit. Bisa saja akibat faktor psikologis yang terpendam atau faktor biologis. "Kalau ada seorang dokter bisa menemukan penyebabnya secara lengkap, ia bisa mendapat hadiah Nobel," ujar Malcolm Lader. Menurut Sasanto, penyebab ansietas tidak tunggal. Berat dan ringannya tergantung banyak faktor, apakah itu biologis, kemampuan adaptasi yang tergolong perilaku, dan stres yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Lazimnya, ansietas selalu melibatkan komponen psikologis (afektif, kognitif, behavioral) dan biologis (somatik, neurofisiologis). Proses terjadinya selalu bermula dari adanya rangsangan berupa konflik, baik internal maupun eksternal. Rangsangan akibat persoalan ini akan menyebabkan reaksi neuroendokrin, yaitu terganggunya keseimbangan senyawa otak. Semua ini tentu menimbulkan reaksi fisiologis. Terdapat sejumlah pendekatan untuk mengatasi ansietas. Misalnya psikodinamik, behavioral, eksistensial, dan biokimia. Kini yang paling berkembang pendekatan biokimia. Dasar pendekatan biokimia adalah ditemukannya perubahan fungsi otak pada penderita ansietas. "Walaupun belum diketahui persis apakah perubahan itu merupakan faktor primer atau sekunder," Sasanto menjelaskan. Pendekatan biokimia merupakan upaya mengembalikan keseimbangan senyawa otak yang disebut neurotransmiter. Neurotransmiter yang secara khusus berkaitan dengan ansietas adalah serotonin. Ketika ansietas terjadi, jumlah serotonin naik di otak, di samping neurotransmiter yang disebut GABA. Senyawa otak ini berhubungan dengan kedaruratan dan kegairahan. Bila jumlah GABA menyusut, sistem saraf tertentu jadi sangat aktif. Ini penyebab gejala fisik pada ansietas. Dan serotonin, menurut Yul Iskandar, selain berfungsi mengatur kegiatan tubuh seperti tidur dan dorongan agresif, juga punya kaitan luas dengan neurotransmiter lain, seperti adrenalin, dopamin, dan astilkholin. Keseimbangannya ini harus terjaga dan berhubung-hubungan, agar tidak mendorong ansietas. Upaya terapi biokimia adalah bagaimana mengurangi serotonin. Pada antiansietas generasi pertama upaya itu dilakukan melalui preparat alkohol dan opiat. Tapi obat ini terbukti mempunyai banyak efek samping. Karena itu, muncul obat generasi kedua: Benzodiazepine. Obat ini ternyata tidak selektif dalam mencari sasaran di otak. Sejak tahun 1980-an, muncul obat generasi ketiga, yaitu golongan Azaspirone. Di antaranya Buspirone. "Buspirone ini bekerja langsung pada serotonin. Dan terbukti secara klinis tidak menimbulkan dampak samping," kata Yul Iskandar. Evaluasi klinis menunjukkan wanita lebih banyak mengalami ansietas dibandingkan laki-laki. Di Inggris, menurut Malcolm Lader, p~enderita wanita dua kali lebih banyak dibanding pria. Mereka selain sering menghadapi masalah kejiwaan, organisasi hormonnya lebih kompleks. "Wanita sering mengalami gangguan hormonal, seperti pada siklus menstruasi," kata Kusumanto. Gangguan ini sangat berpengaruh pada produksi serotonin. Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini