Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menggeber korupsi perminyakan

Jakarta : pt pustaka utama grafiti, 1990. resensi oleh : putu wijaya.

6 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Menggeber korupsi perminyakan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Cerita teladan seorang Angkatan 45 yang jujur di tengah rekan-rekannya yang korup. Novel memihak yang konvensional. LADANG PERMINUS Penulis: Ramadhan K H. Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990, 328 halaman PERMINUS (Per~usahaan Minyak Nusantara) guncang ketika surat kabar Nusa Raya memuat berita yang membuka adanya ketidakberesan di dalam perusahaan itu. Pegawai yang dianggap telah memberi informasi dipecat. Termasuk Hidayat -- yang tak ikut campur -- dirumahkan karena ia dianggap berfamili dengan salah seorang wartawan Nusa Raya. Selama di rumah, Hidayat terus membantu memberi konsultasi kepada rekan-rekannya yang membutuhkan. Beberapa tawaran bekerja ditolaknya karena ia merasa masih terikat Dpda Perminus. Kesetiaan itu berbuah. Akhirnya Perminus memanggilnya kembali. Hidayat bekerja kembali dengan tekun. Dalam perjalanan ke Singapura, Ita -- seorang pramugari -- jatuh cinta pada Hidayat. Cinta itu makin lama makin sarat. Sampai-sampai, suatu ketika, Ita menawarkan kesuciannya kepada Hidayat. Tapi lelaki Angkatan 45 ini teguh. Ita akhirnya surut. Tapi Ita masih mencoba menghubungi Hidayat lagi, beberapa hari sebelum ia menikah. Hanya untuk menawarkan hal yang sama. Hidayat kembali menunjukkan keteguhannya. Ita akhirnya menyerah dan kembali pada kesadarannya. Sementara itu, Hidayat menerima tawaran teman-temannya, yang disokong pula oleh Panglima Ja-Bar, untuk dicalonkan sebagai gubernur Jawa Barat. Tiba-tiba dari Pak Kahar, atasannya, Hidayat mendapat tugas besar. Mengadakan negosiasi dengan utusan dari Belgia, urusan biaya pembangunan pelabuhan untuk pabrik baja di Cilegon. Hidayat berhasil gemilang. Proyek yan~g semula bernilai 632 juta DM ditekannya menjadi hanya 567 juta DM. Tapi apa lacur, belakangan diketahuinya bahwa proyek itu, atas kehendak Kahar sendiri, dinaikkan menjadi 617 juta DM, "Mr. Hidayat, Anda seperti tidak kenal saja pada orang Indonesia. Ini memang mental pembangunan...," kata Onkelinx dari Belgia dengan sinis. Hidayat marah. Ia langsung menemui Kahar untuk menggugat. Kahar lebih marah karena merasa dicampuri. Konflik berkelanjutan ketika di surat kabar muncul berita Hidayat dicalonkan jadi gubernur Jawa Barat. Kahar memanggil Hidayat dan memintanya untuk mengajukan permintaan berhenti karena dianggap sudah main politik tanpa izin atasan. Akhirnya, Hidayat tak berhasil menjadi gubernur karena Panglima mencabut dukunganya, gara-gara sebuah foto Hidayat dengan Ita. Tapi Kahar sendiri pun meninggal karena serangan jantung. Uang depositonya -- hasil korupsi -- di Bank Simbashi sebanyak 36 juta dolar di Singapura disengketakan antara Dewi Widuri istri keduanya, dan Perminus. Sejak awal, novel ini mengingatkan pada kasus Pertamina dan surat kabar Indonesia Raya. Pada akhirnya, mau tak mau, kita teringat kepada peristiwa sengketa simpanan Kartika dan Haji Achmad Thahir di Bank Sumitomo sebesar US$ 35 juta di pengadilan Singapura. Penulis terasa dengan sengaja menuntun pembaca untuk menikmati cerita sambil mengingat-ingatkan kita pada sejarah. Menyalakan kembali emosi melawan budaya korupsi, yang sampai sekarang masih merajalela. Itu membuat cerita yang patriotik ini terasa "penting" karena melibat kita. Ada racikan "data lingkungan sosial" kita. Studi penulis tentang masalah perminyakan -- sehingga dengan fasih menuturkan beberapa detail yang menyangkut soal produksi dengan istilah-istilahnya --membantu meyakinkan. Sebagai pembaca, kita merasa diberi bukti-bukti bahwa kita mendapat informasi dari seorang yang memahami masalah. Hanya kemudian masalahnya, ini adalah sebuah karya fiksi. Sebuah karya fiksi yang buruk pun, bagi seoran~g sejarawan, jadi berharga bila berisi informasi sejarah yang dapat membantu uraiannya. Tetapi sebuah deretan data sejarah tidak dengan sendirinya menjadi fiksi yang baik kalau tidak ada sentuhan ekspresi personal yang "yahud" dari penulisnya. Entah gaya bercerita, bahasa, ungkapan-ungkapan, sudut pandang, plot cerita, atau pemikiran-pemikiran segar, dan sebagainya. Sebuah karya fiksi yang klise bagi citra patriotisme mungkin hebat bila dapat memberi contoh teladan moral yang patriotik. Misalnya, bagaimana seorang manusia tetap teguh pada citra terpuji di zaman edan. Tak peduli keteguhan itu hanya ide yang sulit~ dijumpai dalam realita kehidupan yang kompleks. Sebaliknya, contoh-contoh moral yang jempolan tak dengan sendirinya menjadi fiksi yang baik kalau tidak mendekatkan pembaca pada kenyataan hidup yang sebenarnya. Itulah yang kita hadapi dalam menikmati novel Ramadhan K.H. ini. Buat saya, novel ini informatif meski hanya dari satu sudut pandang Hidayat. Dalam sastra, kita menamakannya sastra berpihak yang konvensional. Seba~gai sebuah cerita hitam-r~utih. Ladang Perminus lancar. Disana-sini muncul adegan kecil biasa tapi tepat, karenanya, mengharukan. Hanya saja, penuh pesan moral yang kadang amat verbal. Dalam fiksi, kita mengenal itu sebagai karya propaganda (baca: moral) atau karya bertendens. Seandainya kepenyairan Ramadhan yang begitu gemilang di dalam Priangan si Jelita merasuki novel ini, informasi-informasi yan~g dimilikinya akan menggigit dengan getaran lain. Mungkin Ladang Perminus tidak hanya menjadi "cerita amat teladan seorang Angkatan 45 yang jujur di tengah rekan-rekannya yang korup". Tapi itu berarti bahwa kita mencampuri kebebasan seorang "pencipta". Sesuatu yang tidak etis. Novel-novel Ramadhan sebelumnya hampir senada. Jadi, ini memang pilihannya. Walhasil, dalam usia 63 tahun -- buku ini ditulis tahun 1982 di Jakarta dan Los Angeles -- penulis masih menyala dengan buku yang tebalnya 328 halaman ini. Buat saya, ini prestasi. Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus