TIGA bulan setelah peristiwa Madiun pada tahun 1948 ditumpas, Bung Karno, dalam pidato Kepada Bangsaku, menilai pemberontakan itu sebagai putsch. Putsch ialah suatu gerakan perebutan kekuasaan dengan kekerasan, tetapi pelaku dan jangkauannya hanya menyangkut lapisan terbatas. Misalnya yang dilakukan oleh gerakan Nazi Hitler di Muenchen, Jerman, pada tahun 1923. Dalam masa pergerakan nasional Indonesia, setelah percobaan pemberontakan komunis terhadap pemerintah kolonial Belanda tahun 1926 gagal, PKI terpukul hebat. Partai itu tak tampak menonjol. Juga sampai persiapan proklamasi. Menurut Bung Karno, kegagalan di tahun 1926 itu karena PKI mengira sudah saatnya melancarkan revolusi sosial. Akibatnya, ia ditindas oleh pemerintah kolonial Belanda, tanpa perlawanan yang berarti. Gara-gara putsch itu, barisan kaum nasionalis kocar-kacir, dan ratusan yang dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Digul, di Irian Jaya. Di lain pihak, PKI kehilangan peluang untuk jadi pelopor revolusi. Dalam pidatonya di Madiun, 10 hari sebelum pemberontakan meletus pada 18 September 1948, Musso (pimpinan PKI ketika itu) juga mengakui kegagalan kepeloporan PKI itu. "Pimpinan revolusi," katanya, "jatuh ke tangan kaum borjuis." Kudeta pada tahun 1948 itu terkenal sebagai "Peristiwa Madiun". Pemberontakan itu dikritik oleh tokoh-tokoh PKI yang lebih senior sebagai ulangan belaka dari putsch 1926. Misalnya Tan Malaka dalam bukunya Dari Penjara ke Penjara yang terbit stensilan di tahun 1948 dan Roestam Effendi dalam buku Sedikit Penjelasan tentang Soal-soal Trotskisme, yang terbit di tahun 1947, juga dalam buku Strategie dan Taktiek, yang terbit di tahun 1950. Tan Malaka adalah tokoh komunis kaliber internasional asal Sumatera Barat yang sama seniornya dengan pemimpin Vietnam, Ho Chi Minh. Ia bekas anggota Komite Eksekutif Komintern (Komunis Internasional) Biro Timur Jauh. Roestam adalah penyair, juga asal Sumatera Barat, yang kemudian jadi anggota parlemen Belanda. Di tahun 1946 ia dipecat dari Partai Komunis Belanda, CPN, karena menentang kebijaksanaan CPN yang mendukung agresi Belanda ke Indonesia. Tan Malaka pulang pada tahun 1942, Roestam pada 1947. Bagaimana dengan peristiwa 30 September 1965? Sampai menjelang hari itu, menurut anggota Politbiro CC PKI Sudisman kemudian, dalam artikelnya di Indonesian Tribune (terbitan Albania, 1967), PKI tidak berhasil mandiri dan berperan dalam kepemimpinan nasional, karena, "terlalu banyak memberi konsesi kepada kaum borjuis nasional". Ketidakmandirian itu sudah tampak setelah putsch 1926. Beberapa waktu kemudian PKI menyadari posisinya yang ilegal. Maka Semaun (pimpinan PKI ketika itu) menyerahkan pimpinan perjuangan kepada kaum nasionalis, dalam hal ini Moh. Hatta dari Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda. Maksudnya agar PKI sempat konsolidasi. Konvensi rahasia itu belakangan dikecam Moskow. Dan pada tahun 1962, Lembaga Sejarah PKI juga mengkritik taktik Semaun itu s~ebagai "kecenderungan likuidasi". Kaum komunis kemudian mencoba mengembalikan posisi kepemimpinan dari tangan kaum nasionalis -- yang dalam kategori PKI termasuk dalam golongan "borjuis nasional". Tapi caranya pun tidak menunjukkan kemandirian, melainkan dengan meminta "testamen politik" pada 1 Oktober 1945 dari Soekarno-Hatta. Testamen itu konon dimaksudkan untuk mengatur bahwa bila suatu saat pimpinan revolusi ditangkap Sekutu, kepemimpinan diserahkan kepada Tan Malaka. Tapi hal itu tak terlaksana. Soekarno-Hatta tetap memimpin, sementara Tan Malaka malah ditangkap di Tawangmangu, Solo, dan dipenjarakan di Wirogunan, Yogyakarta, sebelum Madiun meletus, karena dikabarkan hendak kudeta. Apakah itu berarti Tan Malaka berusaha mendahului peristiwa Madiun? Tidak jelas. Yang pasti, ia waktu itu sudah bukan anggota PKI lagi karena konflik antara Tan Malaka dan PKI sudah terjadi sejak 1926. Pada tahun 1927 ia mendirikan PARI (Partai Rakyat Indonesia) di Bangkok, dan belakangan ia mendirikan Partai Murba di Indonesia. Menurut Lembaga Sejarah PKI, kegagalan pemberontakan 1926 gara-gara "pengkhianatan Tan Malaka" itu. Ketika itu Tan Malaka, yang mempunyai hak veto dalam gerakan komunis internasional, memang menolak rencana pemberontakan karena ia menilai hal itu hanya akan menghasilkan putsch. Tapi Alimin dan Musso, yang ketika itu sudah memimpin PKI, nekat. Anehnya, PKI tak merasa bersalah, bahkan membela kegagalan-kegagalannya. Pada 1956 misalnya, Aidit -- yang pada tahun 1926 itu masih berumur tiga tahun -- menulis bahwa pemberontakan 1926 adalah "pemberontakan nasional antikolonialisme yang pertama". Putsch Madiun juga dibela oleh Aidit, yang mulai aktif dalam lapisan kepemimpinan PKI di tahun 1948 pada umur 25 tahun. Setiap bulan September sepanjang tahun 50-an, majalah resmi PKI Bintang Merah selalu memperingatinya. Bukan sebagai pemberontakan, tapi sebagai "teror putih" dan "provokasi kaum imperialis dengan perantaraan pemerintahan Soekarno-Hatta". Pada tahun 1950, PKI hidup lagi berkat selembar SK Pemerintah RIS. Meski dihadang Kabinet Sukiman dengan penangkapan-penangkapan, tapi Aidit berusaha konsolidasi sampai tahun 1955 hingga PKI berhasil tampil sebagai satu dari empat besar pemenang dalam pemilu, yakni PNI, Masyumi, NU, PKI. Itu sebabnya ia lebih galak. Ketika itu, ia diadili karena menyerang Wakil Presiden Hatta sehubungan dengan pernyataan CC PKI mengenai peristiwa Madiun. PKI tak mau menyebut "peristiwa 18 September", saat meletusnya, tetapi "peristiwa 19 September", yaitu saat penumpasannya, ketika Bung Karno berseru, "pilih Musso dengan PKI-nya atau Soekarno--Hatta". Sikap itu sama dengan pembelaan PKI terhadap putsch 1965. Mereka tidak mau menyebut "peristiwa 30 September" tapi "peristiwa 1 Oktober". Mereka juga berusaha cuci tangan dengan menyatakan bahwa kejadian itu merupakan "masalah intern Angkatan Darat". Di antara tiga kali putsch, hanya pemberontakan 1926 yang berusia sebulan -- itu pun terjadi secara sporadis dan kecil-kecilan. Tak sebanding dengan Perang Vietnam atau Revolusi Cina yang berlangsung bertahun-tahun. Hal itu, menurut kritik Roestam Effendi, karena PKI mengabaikan kaum tani, dan "tidak dapat menarik dan mempengaruhi rakyat Islam". Analisa itu cocok dengan kenyataan pada 1965 ketika G30S gagal: PKI yang beranggota lebih dari tiga juta orang itu diganyang oleh sebagian terbesar rakyat, juga di desa-desa. Dengan sinis Sudisman menulis, " . . . slogan integrasi total dengan petani itu omong kosong". Dan inilah pengakuan Suripno, salah seorang penggerak peristiwa Madiun, dalam Mengapa Kami Kalah, buku harian selama dalam penjara pada tahun 1949. Ia menulis: "Pelajaran yang kami peroleh sangatlah mahal serta sangat berat, ialah bahwa rakyat tidak membantu kami...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini