KETIKA Lord Thomson of Fleet mengumumkan Oktober lalu bahwa The
Times, The Sunday Times dan ketiga suplemennya akan dijual,
sejumlah calon pembeli bersaing. Antara lain James Goldsmith
(pemilik majalah NOW dan majalah berita berbahasa Prancis
L"Express), Rovert Maxwell (pemilik Pergamon Press), Lord
Rothermere (Ketua Persatuan Surat Kabar yang menerbitkan Dily
Mail) dan Lonrho Group (konglomerat industri Inggris).
Semua peminat itu jelas mengejar prestise, bukan karena
pertimbangan bisnis. Koran itu, walaupun bermutu, sedang rugi
besar (lihat box). Akhirnya Rupert Murdoch yang selama ini
dikenal sbagai pemilik jenis koran 'kuning' keluar sebagi
pemenang. Namanya melejit sebagai juru selamat,
Siapa Rupert Murdoch? Menyebut namanya sebagai pemilik jenis
surat kabar sensasional saja sebenarnya tidak tepat. Memang
betul, mingguan News of the World di London terkenal sebagai
koran yang royal dengan berita seks dan tetap menampilkan wanita
telanjang dada. Begitu juga dengan The Star di Amerika Serikat.
Tapi The Australian, suatu surat kabar nasional yang terkemuka
di Australia, juga miliknya.
Murdoch -- 11 Maret ini berusia 50 tahun -- tidak hanya bergerak
dalam bidang pers, walaupun mendapat julukan raja koran.
Perusahaannya bernama News Corpn dan berpusat di Sydney. Selain
menerbitkan suratkabar di Australia, Inggris dan AS, perusahaan
itu juga bergerak dalam pengelolaan televisi, film, perusahaan
piring hitam, perusahaan penerbangan dan sumber alam seperti gas
dan uranium. Empatpuluh tiga persen saham di News Corpn adalah
milik keluarga Murdoch.
Suratkabar merupakan operasi utama News Corpn, sejak Murdoch
mulai bertugas di sana tahun 1954. Murdoch yang waktu itu
berusia 23 tahun dan masih kuliah di jurusan filsafat
Universitas Oxford menerima warisan suratkabar sore Adelaide
News yang hampir menemui ajal.
Ayahnya, Sir Keith Murdoch, adalah editor terkenal yang
belakangan menjabat pimpinan eksekutif di Herald and Weekly
Times Ltd, kelompok pers terbesar di Australia yang berpusat di
Melbourne. Rupert menerima tanggungjawab mengelola Adelaide News
satu tahun setelah ayahnya tutup usia. Delapan tahun lamanya
Murdoch junior bertagas sebagai penerbit dan editor koran
Adelaide itu. Orang menduga koran sore itu pasti akan bangkrut.
Dugaan itu meleset. Koran itu bangkit kembali dengan resep
Murdoch yang berhasil. Resep itu tidak lain dari gabungan berita
seks kriminal dan skandal. Murdoch bukan saja menyelamatkan
Adelaide News, tapi berbuat lebih jauh. Ia membeli harian-harian
yang hampir bangkrut di Perth (1956) dan Sydney (1960).
Di Australia saja suratkabar milik Murdoch banyak sekali. Di
Sydney tiga suratkabarnya beredar luas di pasaran, yaitu Doily
Telegraph, Sunday Telegraph dan Daily Mirror. Cumberland merajai
kawasan luar kota Sydney, Sunday Mail dan Adeleide News di
Adeleide, Sunday Times di Perth, Sunday Sun di Queensland,
Nothern Territory News di Darwin dan Northern Daily Leader di
New South Wales. Oplah semua suratkabar itu 2,4 juta.
Sebelum membeli The Times, di Inggris dua koran milik Murdoch
juga telah merajai pasaran. The Sun yang berukuran tabloid dan
isinya melulu tentang seks dan skandal terjual habis 3,8 juta
eksemplar setiap hari. News of the World dengan ukuran biasa
yang juga mengobral topik serupa punya sirkulasi harian 4,4
juta. Tidak ada penerbitan lain di Inggris yang beroplah
sebanyak itu, baik mingguan maupun harian.
Orang Inggris sendiri cukup mengenal Murdoch sejak ia tahun 1968
membeli News of the World. Sembilan bulan setelah itu, Murdoch
memperluas jaringan persnya dengan membeli The Sun. Harian sayap
kiri yang dilanda kerugian ini diselamatkan Murdoch dengan resep
yang pernah digunakannya dengan Adeleide News, seks dan gosip.
Dari Inggris, Murdoch mengalihkan perhatiannya ke Amerika. Tahun
1973, ia membeli San Antonio Express dan San Antonio News. Tak
lama setelah itu ia menerbitkan Star, koran berukuran tabloid.
Mingguan ini laris sekali, paling banyak memberi keuntungan bagi
Murdoch di AS, dengan oplahnya yang mencapai 3,4 juta. Tidak
puas dengan itu saja, Murdoch membeli lagi New York Post dengan
harga $32 juta pada tahun 1976 dan New York Magazine.
Ketika Murdoch menyatakan hasratnya membeli The Times tidak
sedikit kalangan yang curiga. Jangan-jangan Murdoch akan
menggunakan resep seks, gosip dan skandal untuk menyelamatkan
koran Inggris yang terhormat itu. Apalagi Murdoch memang
terkenal tukang cari keuntungan.
Kecurigaan itu akhirnya lenyap sendiri setelah orang menyadari
bahwa The Australian adalah milik Murdoch. Raja koran Australia
ini menerbitkan suratkabar itu sejak 1964. Koran itu baru
belakangan ini saja memperoleh keuntungan, setelah Murdoch
menanam modal lebih dari $ 27 juta. Murdoch di sini tidak
memakai resepnya yang terkenal itu. Bahkan The Australian
terkenal karena mutu redaksinya yang baik.
Orang Inggris juga khawatir dengan kebiasaan Murdoch yang lain.
Ia suka campur tangan dalam urusan redaksi. Karena itulah
Murdoch terpaksa memberikan janji tertulis: Ia tidak akan
mencampuri urusan redaksi di samping memberikan wewenang kepada
direktur independen untuk memecat atau mengangkat wartawan The
Times.
Selama ini memang umumnya koran milik Murdoch di Inggris, dan
Australia, juga New York Post di AS menyalurkan suara Murdoch.
Para redaktur yang bertugas di bawah pengarahannya telah
mengubah berbagai artikel sehingga condong memihak kepada
calon-calon partai politik yang didukung Murdoch. Selain itu
pemberitaan calon favoritnya lebih diprioritaskan penerbitannya.
Mereka yang mengecamnya khawatir, walaupun ia telah berjanji dan
ada sanksi hukum hal yang serupa bisa saja menimpa The Times.
Menghadapi kecaman itu, Murdoch mengatakan ia tidak akan
mengubah format dan kebebasan redaksi The Times.
Kecurigaan terhadap Murdoch sebenarnya bertolak dari pemilihan
umum di Australia tahun 1975. Semua suratkabar milik Murdoch
mengecam Perdana Menteri Gough Whitlam, pemimpin Partai Buruh
yang pernah disokong Murdoch pada pemilihan tahun 1972.
Syd Crosland, bekas sekretaris federal Persatuan Wartawan
Australia mengingatkan kembali, para reporter politik suratkabar
The Australian pernah mengirimkan surat protes kepada Murdoch
karena tulisan dan laporan mereka telah disunting begitu rupa.
Apa yang dinamakan back bench subeditor telah membuat laporan
dan tulisan yang muncul dalam koran itu, merugikan dan mengecam
Whitlam.
Ketika para reporter tersebut tidak mendapat jawaban, mereka
mogok bersama-sama dengan para wartawan dua suratkabar Murdoch
lainnya, The Sunday Mirror dan The Sunday Telegraph. Barulah
melalui perundingan, Murdoch berjanji, back bench tadi akan
tunduk pada kode etik dalam penyajian berita berikutnya.
Namun janji itu diberikan ketika waktu kampanye hampir selesai
dan akhirnya Malcolm Fraser dan Partai Liberal menang. Dua tahun
setelah itu sebuah Dewan Pers Australia menyerang Adeleide News
milik Murdoch yang dalam pemilihan di negara-bagian memihak
kepada Partai Liberal. Itu sekedar contoh kenapa kemudian dalam
omong-omong tidak resmi para politisi di Australia, Inggris dan
New York umumnya mengatakan mereka 'takut' kepada koran-koran
milik Murdoch.
Dalam kampanye pemilihan presiden AS, misalnya. Tajuk New York
Post di halaman depan bersimpati kepada Reagan. Setelah itu
hampir semua beritanya mengejek Carter. Tulisan dan fotonya
memperlihatkan betapa besarnya sokongan rakyat kepada Reagan,
sedangkan artikel mengenai Carter menekankan kegagalan presiden
AS itu di bidang ekonomi dan kasus sandera di Iran.
Manfaatnya bagi Murdoch? Perusahaannya, baik yang berupa
penerbitan maupun yang lain, beruntung karena pengarahannya
dalam bidang pemberitaan itu. Tokoh-tokoh yang pernah
disokongnya ternyata memberikan balasan yang menyenangkan.
Enam hari setelah New York Post memastikan kemenangan Carter
dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat di New York, Bank
Ekspor-Impor federal menyetujui pinjaman sebesar $290 juta untuk
perusahaan penerbangannya, Australian Airline Company, dengan
suku bunga rata-rata 8,1%. Belakangan ini PM Inggris Margaret
Thatcher sangat mendapat sokongan koran Murdoch di negara itu.
Dan Pemerintahan Thatcher memutuskan tidak akan melakukan
penyelidikan untuk menetapkan apakah pembelian The Times
melanggar undang-undang anti-monopoli.
Apakah suratkabar terkenal itu akan menemui masa jayanya kembali
seperti dulu? Murdoch, Raja Koran Australia, jelas berani
mempertaruhkan modalnya untuk itu. Dalam tatap muka dengan
Komisi Pendidikan Parlemen Inggris, Murdoch menekankan, "Sangat
sukar membuat penerbitan itu dapat terus bertahan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini