Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Stasiun kecil, di tengah sawah

Stasiun kereta api kecil, sepi dan terpencil. tapi ditangan petugasnya banyak tergantung keselamatan kereta api. suka duka para petugas stasiun kereta api. (sd)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STASIUN tak selamanya menjadi lambang kesibukan. Buktinya stasiun keretaapi Sentolo. Terletak di tengah sawah, 17 km di barat Kota Yogyakarta atau 13 km di timur Wates (Jawa Tengah), stasiun ini bukanlah tempat lalu-lalang penumpang. Pemandangan sehari-hari di sana: bangunan stasiun yang berukuran 6 x 6 meter dengan dua pasang rel yang membentang lurus di depannya. Lalu sawah. Kemudian Soetomo. Akhirnya seorang juru telegram yang bisa merangkap berbagai tugas lain. Di malam hari, stasiun kecil itu bagai sebuah kubu di tengah hutan gelap, dikerubungi kunang-kunang dan suara kodok. "Meski stasiun kecil, jangan dianggap sepele," kata kepala stasiun (KS) Sentolo, Soetomo "sebab, keamanan perjalanan keretaapi di sekitar ini, banyak tergantung pada kami." Soetomo mengingatkan peristiwa tabrakan KA di antara stasiun Notog dan Kebasen (Purwokerto) Januari lalu. Kejadian itu, tambah Soetomo, menunjukkan betapa penting peranan petugas-petugas di stasiun kecil, khususnya KS dan PPKA (Pimpinan Perjalanan KA). Bukan Nampang Dan memang, menurut Kepala PJKA, Ir. Pantiarso, kecelakaan yang menewaskan 7 penumpang dan puluhan luka-luka itu, disebabkan kelalaian PPKA Kebasen. Kata Pantiarso, seperti diberitakan Sinar Harapan pekan lalu, "PPKA stasiun Kebasen tidak cermat menghentikan KA-21 yang datang dari jurusan Yogya." Dan itu satu kesalahan besar, tambah Kepala PJKA itu. Karenanya PPKA Kebasen itu dibebas-tugaskan tak lama setelah kejadian tadi dan akan segera diadili. Karena itu, meskipun bertugas di stasiun kecil, sebagai KS yang merangkap PPKA, Soetomo selalu sibuk. Lebih-lebih malam hari, saat-saat kereta-api banyak lewat. "Yang paling berat antara pukul 8 malam sampai pukul 4 pagi," tutur Soetomo. Karena pada jam jam sibuk itu pula kantuk susah dilawan. Di stasiun Sentolo hampir tak pernah ada KA yang berhenti, kecuali kalau kebetulan harus bersilangan. Namur yang selalu menyibukkan KS maupur PPKA adalah melayani alat-alat komunikasi yang berhubungan dengan stasiun sekitarnya: adakah rel aman, artinya tidak sedang dilewati KA. Jika aman, kereta boleh terus. Sebaliknya kalau sedang dilewati KA, kereta yang lain harus menunggu. Dan seterusnya. Di Sentolo terdapart 3 macam alat komunikasi. Telepon, telegrap dan yang terakhir sistem blok -- satu sistem sinyal yang akan menyala dengan sendirinya bila suatu jalur rel sedang dilewati kereta. Dari ketiga jenis alat ini, paling tidak 2 yang harus dipakai untuk pengecekan. "Tapi setelah terjadi tabrakan di Purwokerto, ketiga alat ini dipakai terus berganti-ganti, agar lebih meyakinkan," kata Soetomo lagi. Untuk menghentikan kereta jika rel tidak aman, PPKA juga menggunakan 3 macam cara. Yaitu sinyal, bendera merah (untuk siang hari) dan lampu ting merah (untuk malam). "Kalau semua cara untuk menyuruh berhenti sudah dipakai, kereta masih juga berjalan, itu berarti masinisnya sudah benar-benar gila," ucap Soetomo. Tapi ia senang juga mendengar rencana PJKA untuk memakai radio yang dapat menghubungkan awak kereta dengan stasiun terdekat. Dalam keadaan apa pun, setiap ada kereta lewat, Soetomo berdiri di pinggir rel. "Tugas itu bukan untuk nampang," ungkapnya pula "tapi semata-mata untuk mengawasi kereta, kalau-kalau ada rangkaian yang tak beres dan masih adakah semboyan akhir." Semboyan ini, atau lazim juga disebut semboyan 21, adalah tanda merah pada gerbong terakhir kereta itu. Kalau tanda itu tak ada, berarti ada rangkaian KA yang terlepas dan PPKA harus menghentikan kereta dengan menggoyang-goyangkan sinyal di ujung rel stasiun. Soetomo yang berasal dari Godean, Kab. Sleman, Yogyakarta, juga merangkap sebagai KS Rewulu, beberapa KM di timur Sentolo. Ia lulus SPG Yogya tahun 1973. Tapi rupanya ia tak berniat jadi guru, "karena saat itu masa depan guru masih suram," katanya. Karena itu ia melamar di PJKA Eksploitasi Tengah di Semarang dan diterima. Begitu selesai masa pendidikan, ia ditempatkan di stasiun Rewulu dan Sentolo, sampai sekarang. Dengan masa kerja 8 tahun (termasuk masa pendidikan), setiap bulan ia mendapat penghasilan Rp 57.000 -- termasuk tambahan Rp 150 setiap berdinas dan uang lembur yang Rp 125 per jam. Dengan seorang istri dan satu anak, cukupkah? "Jelas cukup," jawabnya tegas. Sebagai KS ia menempati rumah dinas. Yang paling menyenangkannya seba ai karyawan PJKA adalah disiplin. "Karena disiplin PJKA begitu ketat, saya merasa telah menjadi orang yang paling berdisiplin," ungkapnya. Satu contoh kecil saja: kalau PPKA lupa memakai topi merah ketika berdiri di depan stasiun, masinis ada hak untuk tetap melarikan kereta, walaupun sinyal ditutup. "Artinya, karena disiplin, tak ada istilah lupa," tambah Soetomo. Kelancaran sarana perhubungan darat sedikit banyak telah mempengaruhi jumlah penumpang KA. Terutama kereta jarak dekat yang biasa berhenti di stasiun-stasiun kecil. Apalagi karena KA jarak dekat ini kebanyakan masih dibawa lokomotif tua yang kalau sudah kepayahan tak segan-segan mogok di tengah sawah. Padahal, sementara itu, mobil-mobil angkutan umum, terutama kolt, bagai kesetanan menganjurkan penumpang sampai ke pelosok-pelosok desa. Karena itu tak heran jika stasiun Sukorejo selalu sepi. Stasiun kecil di antara Surabaya-Malang ini, dilalui KA 10 kali setiap hari. "Tapi penumpang dari Sukorejo lebih senang naik kolt atau bis dari pada kereta, untuk ke jurusan Malang maupun Surabaya," tutur KS Sukorejo, Slamet. Dan loket di stasiun itu pun jarang buka. Kalau ada satu-dua calon penumpang, mereka langsung masuk ke ruang kerja Slamet untuk membeli karcis. Tak beda dengan stasiun-stasiun lain, Sukorejo juga sudah memiliki alat komunikasi lengkap, termasuk sistem blok. Karenanya Slamet beranggapan, hampir tak mungkin terjadi tabrakan. "Kalau pun terjadi juga, pasti ada sesuatu yang sangat tidak beres," ucapnya. Slamet, 54 tahun, sejak 1966 menempati posnya di Sukorejo. Dengan 8 orang anak, ia mengaku lebih seperdua dari usianya habis di sela-sela rel kereta. "Tapi tahun ini saya sudah MPP," ungkapnya dengan suram, "sebab tahun 1982 saya dipensiun." Dengan gaji Rp 96.000 sebulan, tak ada pengalaman luar biasa yang didapatnya selama di PJKA. "Paling-paling tak enak hati, kalau dimaki penumpang, karena kereta terlambat datang atau mogok di tengah jalan," katanya. Misalnya terjadi akhir tahun lalu. Sebuah loko keretaapi Surabaya-Malang mogok di tengah malam tak jauh dari stasiun Sukorejo. Meskipun Slamet sudah berpayah-payah mencari kolt dan bis untuk mengangkut para penumpan yang tak sabar, tak urung ia kena pisuh juga. "Seakan-akan saya yang menyebabkan lok itu mogok," keluhnya. Namun Slamet menerima saja semua makian itu. "Saya sudah tua dan toh tak lama lagi pensiun," ia menambahkan. Hallo Cirebon, bagaimana 120, nongkrong? Sindanglaut 120 . . . nongkrong Cirebon, bagaimana 121, . . . aman Songgom. O, ya, ya. Hampir setiap hari kata-kata itu menvembur dari mulut Sumedi ke arah alat telepon yang dipegangnya. Pada saat-saat seperti itu KS Luwung tadi sedang mengecek kereta-api yang akan melintas, baik dari Cirebon maupun Sindanglaut. Stasiun Luwung terletak di lintasan jalur KA Jakarta-Yogyakarta, antara Cirebon dan Sindanglaut. Bertugas di Luwung sejak 1972, Sumedi, 44 tahun, mengaku memang lebih senang berada di stasiun kecil. Karena, katanya, dengan gaji Rp 80.000 sebulan untuk menanggung istri dan 10 anak, tak mungkin ia dapat tenteram hidup di kota besar. Bahkan di tempat tugasnya sekarang, ia mengh abiskan waku senggangnya untuk mengolah sawah di tanah PJKA tak jauh dari stasiun. "Hasilnya, 1,5 ton padi setiap panen, cukup untuk makan," tutur Sumedi. Stasiun itu selalu sepi. Karenanya Sumedi merasa senang juga kalau terjadi persilangan dan ada KA cepat yang harus berhenti di stasiunnya. "Suasana jadi ramai," katanya. Hanya di saat serupa itu ia bisa susah kalau ada penumpang yang menanyakan kamar kecil. "Soalnya WC di sini sudah lama mati," tambah Sumedi menyesal. Ia dan teman-teman sekerjanya, harus menyelinap di tengah sawah, tiap kali hendak buangair. Sudah 24 tahun Sumedi hidup dengan kereta-api. Sejak di Luwung memang tak banyak yang dia kerjakan. Tak ada kereta yang berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang di sini. Semua ditampung stasiun Cirebon dan Sindanglaut. Bahkan, mulai pukul 15.00, nyaris tak ada lagi yang perlu diawasi Sumedi dan anak buahnya di stasiun ini. Sebab sesudah jam itu, tugas stasiun Luwung diambil-alih Cirebon dan Sindanglaut. Tapi lewat jam itu, di rumah juga hampir tak ada yang dikerjakan Sumedi --selain bercengkerama dengan anak-anak dan istrinya. "Malam di sini sangat sepi, tak ada hiburan," kata Sumedi. Mungkin karena itu, hampir tiap 2 tahun sekali istrinya melahirkan anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus