TENTARA Jepang di Kwantung, tiba-tiba menduduki Manchuria. Di
sana mereka kemudian mendirikan negara boneka Manchukuo.
Pendudukan atas kawasan Cina itu (September 1931) bukan atas
perintah Tokyo. Karenanya kabinet Jepang ketika itu marah.
Tapi kaum militer Jepang tak ingin mundur. Mereka sudah tak
tahan lagi menghadapi depresi ekonomi di dalam negeri. Menjelang
Perang Dunia II itu, impor minyak mentah dan bahan baku industri
berat banyak menguras cadangan devisa -- sementara sebagian
besar rakyat Jepang hidup miskin.
Keadaan suram itu dikenal sebagai periode Kurai Tanima (masa
kegelapan). Mengatasi kesulitan di dalam negeri itu, kaum
militer mencoba mengambil alih wilayah di luar Jepang yang kaya
bahan mentah dengan kekerasan. Pendudukan atas Manchuria itu
merupakan salah satu pernyataan kehendak para perwira radikal.
Dan itulah awal kebangkitan kaum militer Jepang yang direkam
cermat dalam film dokumenter The Rising Sun -- kini diputar di
Jakarta dan Surabaya. Dalam rangkaian gambar hitam putih
tersebut, dipaparkan secara terperinci ambisi kaum militer
Jepang.
Marco Polo
Segera sesudah pendudukan atas Manchuria, kaum militer
melancarkan pembersihan -- membunuh sejumlah politisi oposisi.
Perdana Menteri Tsuyoshi Inukai, penentang pendudukan Manchuria,
dibunuh (15 Mei 1932) di suatu jalan di Tokyo. Pembersihan itu
mencapai puncaknya (26 Februari 1936) ketika 1.500 tentara sejak
subuh mengepung gedung pusat pemerintahan di Tokyo. Sebagian
besar anggota kabinet terbunuh. Admiral Keisuke Okada, PM baru,
nyaris terbunuh. Sejak saat itu sampai 1941, politisi sipil
Jepang hidup di bawah ketakutan.
Bila suatu kabinet tak disukai, kaum militer sewaktu-waktu bisa
menumbangkanya. Kabinet Jepang akibatnya sering berusia
beberapa bulan saja. Kaum militer praktis mengontrol kabinet dan
Diet (Parlemen).
Di Cina, karena suatu alasan dibuat-buat, sejumlah tentara
Jepang (7 Juli 1937) baku tembak dengan tentara Cina di jembatan
Marco Polo, Beijing. Jepang kemudian menjadikan insiden itu
sebagai alasan mengejar tentara Cina ke Shanghai -- bahkan
sampai melampaui wilayah konsesi internasional di Shanghai.
Pertempuran dari rumah ke rumah di kota itu, kepanikan penduduk
menyelamatkan diri ke wilayah konsesi, dikisahkan dalam film
ini.
Buat seorang juru kamera, situasi demikian tentu sangat
menantang. Berkat kerja keras juru kamera itulah, penonton bisa
menyaksikan keuletan Tentara Merah di bawah pimpinan Mao Zedong
dan Zhou Enlai, berkoalisi dengan Tentara Nasional pimpinan
Generalissimo Jiang Khai-shek yang berusaha menghambat ekspansi
musuh.
Tapi Jepang terlalu kuat dan buas. Dalam film ini diperlihatkan
tumpukan ribuan mayat tentara, orang tua dan anak-anak. Malah
tentara Jepang menggunakan mereka untuk berlatih main bayonet
dan menembak. Perkosaan Nanking, demikian peristiwa itu disebut
menelan 40 ribu jiwa.
Walau kapal meriam Panay, milik AS jelas ditenggelamkan pesawat
Jepang Sungai Yangtze, AS sejauh itu hanya mengenakan embargo
bahan makana minyak mentah, besi tua dan persenjataan terhadap
Jepang. Dalam peperangan itu, Jepang semula tak ingin melibatkan
AS. Mereka sadar bahwa kekuatan AS -- apalagi armada Pasifiknya
-- jauh unggul. Tapi kehadiran armada AS, Pearl Harbor itu
justru dianggap sebagai penghalang gerak maju pasukan Jepang ke
Selatan. "Mereka merupakan ancaman langsung di tenggorokan,"
kata Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Armada Gabungan
Kekaisaran Jepang, seperti dicatat sejarah. "Karenanya mereka
harus dilenyapkan."
Rapat gabungan para panglima 6 September 1941 itu yang
menentukan arah sejarah tak difilmkan. Tapi para juru kamera
secara luar biasa merekam pelaksanaan gagasan Admiral Yamamoto
(7 Desember 1941 pagi waktu Tokyo). Yaitu serangan ke Pearl
Harbor, Hawaii. Serangan mendadak selama dua jam itu menewaskan
2.403 dan melukai 1.178 tentara AS, merusakkan 18 kapal perang,
dan menghancurkan sekitar 400 pesawat tempur AS. Sementara
Jepang hanya kehilangan 29 pesawat.
Film itu juga memaparkan kehebatan Divisi ke-25 AD Jepang di
bawah pimpinan Letnan Jenderal Tomoyuki Yamashita ketika
menggulung Semenanjung Malaya dan Singapura secara efisien.
Diperlihatkannya pula bagimana Yamashita -- dikenal sebagai
Harimau Malaya -- membentak-bentak Letnan Jenderal A.E.
Percival. Komandan pasukan Inggris di Malaya itu ingin menyerah
dengan syarat, tapi Yamashita menolaknya.
Kejayaan armada Jepang kemudian runtuh dalam pertempuran
menentukan di Pulau Midway, Lautan Pasifik. Yamamoto tidak
berhasil menjebak AS mempertahankan Pulau Aleutian karena kode
sandinya bocor. Dari pangkalan AU di Midway, sejumlah pesawat
tempur AS berhasil menenggelamkan empat kapal induk utama dan
ratusan pesawat tempur milik Jepang. Mulai 5 Juni 1942 itu,
Jepang kehilangan daya pukul di Pasifik.
Armada Jepang, tanpa pengawalan pesawat tempur, bertarung
habis-habisan dengan armada AS di perairan Pulau Leyte,
Filipina. Bulan-bulan berikutnya ketika armada AS mendekati
perairan Jepang, pilot Jepang yang mengenakan Hachimaki (bebat
kepala, tanda setia pada Kaisar Hirohito) melakukan penerbangan
Kamikaze. Ratusan pilot Jepang hancur bersama pesawatnya. Perang
habis-habisan tersebut tergambar dengan mengerikan.
Film dokumenter semacam itu tentu memerlukan kerja keras editor
dan produser dalam menghimpun materi. Di Hong Kong dan Kowloon
-- kawasan yang pernah juga diduduki Jepang -- film tadi konon
diputar sebulan. Melihat kenyataan itu, PT Darma Putra Jaya Film
lalu mengimpornya 6 rekaman (copy) -- US$ 30 ribu (Rp 18,9
juta). "Saya mengimpornya setengah berjudi. Sebab setahu saya,
belum pernah film dokumenter semacam itu dimasukkan ke
Indonesia," kata Bob Harjanto dari Darma Putra Jaya.
Ketika film itu diputar di New Garden Hall dan Jayakarta
Theater, jalur utama Jakarta, rata-rata 1.000 orang menontonnya
setiap malam sejak awal Maret ini.
Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini