Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bangkit dan jatuhnya admiral itu

Film dokumenter "the rising sun", mengisahkan ambisi militer jepang. dimulai di manchuria, peranannya menjurus ke perang pasifik. zaman itu periode kaum politisi sipil ketakutan. (fl)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENTARA Jepang di Kwantung, tiba-tiba menduduki Manchuria. Di sana mereka kemudian mendirikan negara boneka Manchukuo. Pendudukan atas kawasan Cina itu (September 1931) bukan atas perintah Tokyo. Karenanya kabinet Jepang ketika itu marah. Tapi kaum militer Jepang tak ingin mundur. Mereka sudah tak tahan lagi menghadapi depresi ekonomi di dalam negeri. Menjelang Perang Dunia II itu, impor minyak mentah dan bahan baku industri berat banyak menguras cadangan devisa -- sementara sebagian besar rakyat Jepang hidup miskin. Keadaan suram itu dikenal sebagai periode Kurai Tanima (masa kegelapan). Mengatasi kesulitan di dalam negeri itu, kaum militer mencoba mengambil alih wilayah di luar Jepang yang kaya bahan mentah dengan kekerasan. Pendudukan atas Manchuria itu merupakan salah satu pernyataan kehendak para perwira radikal. Dan itulah awal kebangkitan kaum militer Jepang yang direkam cermat dalam film dokumenter The Rising Sun -- kini diputar di Jakarta dan Surabaya. Dalam rangkaian gambar hitam putih tersebut, dipaparkan secara terperinci ambisi kaum militer Jepang. Marco Polo Segera sesudah pendudukan atas Manchuria, kaum militer melancarkan pembersihan -- membunuh sejumlah politisi oposisi. Perdana Menteri Tsuyoshi Inukai, penentang pendudukan Manchuria, dibunuh (15 Mei 1932) di suatu jalan di Tokyo. Pembersihan itu mencapai puncaknya (26 Februari 1936) ketika 1.500 tentara sejak subuh mengepung gedung pusat pemerintahan di Tokyo. Sebagian besar anggota kabinet terbunuh. Admiral Keisuke Okada, PM baru, nyaris terbunuh. Sejak saat itu sampai 1941, politisi sipil Jepang hidup di bawah ketakutan. Bila suatu kabinet tak disukai, kaum militer sewaktu-waktu bisa menumbangkanya. Kabinet Jepang akibatnya sering berusia beberapa bulan saja. Kaum militer praktis mengontrol kabinet dan Diet (Parlemen). Di Cina, karena suatu alasan dibuat-buat, sejumlah tentara Jepang (7 Juli 1937) baku tembak dengan tentara Cina di jembatan Marco Polo, Beijing. Jepang kemudian menjadikan insiden itu sebagai alasan mengejar tentara Cina ke Shanghai -- bahkan sampai melampaui wilayah konsesi internasional di Shanghai. Pertempuran dari rumah ke rumah di kota itu, kepanikan penduduk menyelamatkan diri ke wilayah konsesi, dikisahkan dalam film ini. Buat seorang juru kamera, situasi demikian tentu sangat menantang. Berkat kerja keras juru kamera itulah, penonton bisa menyaksikan keuletan Tentara Merah di bawah pimpinan Mao Zedong dan Zhou Enlai, berkoalisi dengan Tentara Nasional pimpinan Generalissimo Jiang Khai-shek yang berusaha menghambat ekspansi musuh. Tapi Jepang terlalu kuat dan buas. Dalam film ini diperlihatkan tumpukan ribuan mayat tentara, orang tua dan anak-anak. Malah tentara Jepang menggunakan mereka untuk berlatih main bayonet dan menembak. Perkosaan Nanking, demikian peristiwa itu disebut menelan 40 ribu jiwa. Walau kapal meriam Panay, milik AS jelas ditenggelamkan pesawat Jepang Sungai Yangtze, AS sejauh itu hanya mengenakan embargo bahan makana minyak mentah, besi tua dan persenjataan terhadap Jepang. Dalam peperangan itu, Jepang semula tak ingin melibatkan AS. Mereka sadar bahwa kekuatan AS -- apalagi armada Pasifiknya -- jauh unggul. Tapi kehadiran armada AS, Pearl Harbor itu justru dianggap sebagai penghalang gerak maju pasukan Jepang ke Selatan. "Mereka merupakan ancaman langsung di tenggorokan," kata Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Armada Gabungan Kekaisaran Jepang, seperti dicatat sejarah. "Karenanya mereka harus dilenyapkan." Rapat gabungan para panglima 6 September 1941 itu yang menentukan arah sejarah tak difilmkan. Tapi para juru kamera secara luar biasa merekam pelaksanaan gagasan Admiral Yamamoto (7 Desember 1941 pagi waktu Tokyo). Yaitu serangan ke Pearl Harbor, Hawaii. Serangan mendadak selama dua jam itu menewaskan 2.403 dan melukai 1.178 tentara AS, merusakkan 18 kapal perang, dan menghancurkan sekitar 400 pesawat tempur AS. Sementara Jepang hanya kehilangan 29 pesawat. Film itu juga memaparkan kehebatan Divisi ke-25 AD Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Tomoyuki Yamashita ketika menggulung Semenanjung Malaya dan Singapura secara efisien. Diperlihatkannya pula bagimana Yamashita -- dikenal sebagai Harimau Malaya -- membentak-bentak Letnan Jenderal A.E. Percival. Komandan pasukan Inggris di Malaya itu ingin menyerah dengan syarat, tapi Yamashita menolaknya. Kejayaan armada Jepang kemudian runtuh dalam pertempuran menentukan di Pulau Midway, Lautan Pasifik. Yamamoto tidak berhasil menjebak AS mempertahankan Pulau Aleutian karena kode sandinya bocor. Dari pangkalan AU di Midway, sejumlah pesawat tempur AS berhasil menenggelamkan empat kapal induk utama dan ratusan pesawat tempur milik Jepang. Mulai 5 Juni 1942 itu, Jepang kehilangan daya pukul di Pasifik. Armada Jepang, tanpa pengawalan pesawat tempur, bertarung habis-habisan dengan armada AS di perairan Pulau Leyte, Filipina. Bulan-bulan berikutnya ketika armada AS mendekati perairan Jepang, pilot Jepang yang mengenakan Hachimaki (bebat kepala, tanda setia pada Kaisar Hirohito) melakukan penerbangan Kamikaze. Ratusan pilot Jepang hancur bersama pesawatnya. Perang habis-habisan tersebut tergambar dengan mengerikan. Film dokumenter semacam itu tentu memerlukan kerja keras editor dan produser dalam menghimpun materi. Di Hong Kong dan Kowloon -- kawasan yang pernah juga diduduki Jepang -- film tadi konon diputar sebulan. Melihat kenyataan itu, PT Darma Putra Jaya Film lalu mengimpornya 6 rekaman (copy) -- US$ 30 ribu (Rp 18,9 juta). "Saya mengimpornya setengah berjudi. Sebab setahu saya, belum pernah film dokumenter semacam itu dimasukkan ke Indonesia," kata Bob Harjanto dari Darma Putra Jaya. Ketika film itu diputar di New Garden Hall dan Jayakarta Theater, jalur utama Jakarta, rata-rata 1.000 orang menontonnya setiap malam sejak awal Maret ini. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus