Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Acara Ruwatan Lembur di Tasikmalaya menampilkan kesenian-kesenian tradisional tua khas Sunda.
Dari seni ketangkasan lais, terebang gebes, beluk, hingga tarawangsa.
Upaya menjaga kesenian-kesenian tradisional khas Sunda itu dari ancaman kepunahan.
Ruwatan Lembur yang berlangsung di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, menampilkan berbagai kesenian tradisional tua khas Sunda. Dari seni ketangkasan lais, terebang gebes, beluk, hingga tarawangsa. Acara seni tahunan yang digelar untuk kedua kalinya ini menjadi ikhtiar untuk menjaga kesenian-kesenian tradisional itu dari ancaman kepunahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain mereportase tarawangsa di Tasikmalaya, Tempo menyajikan pengalaman sineas Gerzon Ron Ayawaila dalam membuat film etnodokumenter tentang tarawangsa di Rancakalong, Sumedang, Jawa Barat, yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya kesenian rakyat khas Sunda itu.
TEMARAM cahaya dari lampu minyak menyamarkan panggung berlatar belakang anyaman bambu yang berdiri di sebuah sudut di Bukit Lestari. Gesekan dawai tarawangsa diiringi dentingan kecapi dan pukulan calung renteng memecah keheningan malam. Lengkingan pesinden terdengar hingga ke beberapa perkampungan di sekitar kawasan perbukitan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu, hutan bambu dan perkebunan di sekeliling Bukit Lestari, sebuah restoran berkonsep ruang terbuka di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, tak sepi seperti biasanya. Lampu sorot panggung yang berganti-ganti warna menyedot perhatian semua orang yang sebelumnya hanya duduk di saung masing-masing—bangunan kecil dari kayu—di sekitar tempat pertunjukan.
Api lampu minyak di semua ujung tiang bambu yang menjadi penyangga latar belakang panggung bergoyang tertiup angin. Kecapi kecil berdawai tujuh di pangkuan juru kawih Mak Enar mulai dipetik sebagai pengiring lagu “Bubuka”. Di samping kanannya, Abah Oman mulai menggesek tarawangsa—alat musik gesek berdawai dua sejenis rebab—dengan mata hampir terpejam. Di samping kanan Abah Oman, Yana mulai meniup seruling bambu.
Abah Oman, pemain alat musik tarawangsa. TEMPO/Rommy Roosyana
Lagu pembuka itu berirama cukup tenang. Calung indung di depan Yayan, yang duduk di samping kiri Mak Enar, dipukul dengan ritme pelan. Sajan, yang duduk di sebelah kiri Yayan, memainkan calung anak dengan ritme serupa.
Setelah memainkan empat lagu, Mak Enar melantunkan “Manuk Hejo” sebagai tembang pamungkas. Bunyi tarawangsa, kecapi, dan calung renteng yang bersahutan menciptakan irama gembira hingga menggoda para penonton berjoget di sekitar panggung.
Pertunjukan kesenian tarawangsa oleh sanggar seni Dangiang Budaya dari Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya, itu menjadi pentas terakhir dalam perhelatan Ruwatan Lembur yang berlangsung pada Sabtu, 9 Oktober lalu. Acara kesenian yang digelar dengan protokol kesehatan sangat ketat oleh Komunitas Cermin Tasikmalaya di Bukit Lestari itu dimaksudkan untuk menyambut hari jadi Kota Tasikmalaya yang diperingati setiap 17 Oktober. Selain menyajikan pentas kesenian, acara tahunan Ruwatan Lembur yang pada tahun ini diadakan untuk kedua kalinya itu diisi dengan renungan dan refleksi serta permohonan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa.
Ketua pelaksana Ruwatan Lembur 2, Ashmansyah Timutiah, menjelaskan bahwa “ngaruwat” yang berasal dari kata “ruwat” atau “ngarawat” dalam bahasa Sunda berarti “merawat”. Acara ngaruwat dalam masyarakat Sunda awalnya hadir sebagai syukuran bumi atau hajat bumi, yang biasa disebut ngaruwat bumi. Ada juga ngaruwat lembur dan sebutan lain. “Kami berharap Ruwatan Lembur ini menjadi spirit hidup buat masyarakat Tasikmalaya, termasuk untuk mampu bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19 yang belum selesai,” kata Ashmansyah.
Ruwatan Lembur, yang berlangsung sejak siang hingga malam, dibuka dengan penampilan pencak silat Padepokan Sinar Pusaka Sukapura. Kemudian tampil debus khas Galunggung dan seni ketangkasan lais dari Padepokan Jatidiri Nurcahya Putra Galunggung. Setelah itu, para seniman bergantian menampilkan berbagai kesenian tradisional Sunda, seperti tari jaipong, karinding, terebang gebes, beluk, dan tarawangsa.
Menurut Ashmansyah, dalam acara ruwatan itu, komunitas seniman di Tasikmalaya sengaja menampilkan kesenian tradisional Sunda yang tua dan cukup langka. Hal itu diniatkan sebagai ikhtiar menjaga kesenian tradisional tersebut dari ancaman kepunahan.
Para seniman Calung Tarawangsa dari sanggar seni Dangiang Budaya dalam acara Ruwatan Lembur 2 yang digelar Komunitas Cermin Tasikmalaya, di Bukit Lestari, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 9 Oktober 2021. TEMPO/Rommy Roosyana
Salah satunya terebang gebes asal Kampung Cirangkong, Desa Cikeusal, Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Seni pertunjukan perkusi ini makin kurang diminati oleh warga kampung asalnya, terutama generasi muda.
Para pemain terebang gebes, yang hanya menggunakan satu jenis alat musik, menabuh tiga-lima rebana secara bersamaan. Awalnya mereka selalu menonjolkan kekuatan fisik yang ditunjukkan dari cara menabuh rebana. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi perubahan pola pertunjukan menjadi lebih diutamakan untuk mengiringi selawat atau seni vokal, seperti beluk.
Dulu kesenian ini sering dimainkan untuk hiburan sehari-hari, acara keagamaan, peringatan hari besar nasional, hajatan pernikahan, khitanan, acara pindah rumah, kelahiran bayi, serta acara resmi pemerintah. “Sekarang jarang sekali yang mau mengundang pertunjukan kesenian tradisional ini. Kalau ada hajatan lebih suka dangdutan,” ujar Nana Mulyana, seniman terebang gebes asal Desa Cikeusal. “Para pemain terebang gebes dan beluk itu sebulan sekali saja susah mendapat undangan tampil.”
Itu sebabnya, Nana menambahkan, para seniman terebang gebes dan beluk dari Cikeusal tetap bekerja sebagai petani. Mereka tak menjadikan terebang gebes sebagai mata pencarian. Sebetulnya mereka sudah berusaha mengembangkan kesenian itu bagi generasi muda. Namun kurangnya anak-anak muda enggan mendalaminya karena kurang berminat. Grup Candralijaya yang tampil dalam Ruwatan Lembur 2 adalah satu-satunya grup terebang gebes yang masih bertahan.
Seperti halnya terebang gebes, tarawangsa di Tasikmalaya terancam punah. Para pemain menghadapi kesulitan dalam hal regenerasi karena minimnya minat anak-anak muda terhadap kesenian tersebut. Sanggar seni Dangiang Budaya dari Cibalong yang menjadi penampil pada pengujung Ruwatan Lembur 2 adalah satu-satunya grup seni tarawangsa yang tersisa di Tasikmalaya. Sebagian besar personelnya pun sudah berusia di atas 50 tahun: Abah Oman, 76 tahun, Yana (54 tahun), Sajan (56 tahun), dan Mak Enar (74 tahun). Personel termuda adalah Yayan, 46 tahun, pemain calung indung.
Belakangan ini, menurut Abah Oman, undangan pentas tarawangsa juga sepi, terutama ketika pandemi Covid-19 mulai melanda. Dulu, sebelum pandemi menerjang, undangan tampil terbilang banyak, bisa dua-tiga kali dalam sebulan. Apalagi saat memasuki musim panen, undangan lebih banyak. Begitu juga menjelang peringatan hari besar keagamaan dan hari besar nasional.
Tak hanya itu. Sanggar seni Dangiang Budaya juga kerap berpentas di berbagai daerah di kawasan Priangan, Bandung, Jakarta, bahkan Sumatera. Mereka pun sering tampil di kampus dan sekolah.
Namun, pada tahun pertama pandemi, Abah Oman melanjutkan, grupnya nyaris vakum karena pembatasan aktivitas masyarakat membuat acara kesenian terhenti. “Setahun lebih enggak ke mana-mana. Paling main juga kalau diundang sama yang sakit, panen, atau pindah rumah,” ucapnya.
•••
TARAWANGSA adalah salah satu instrumen kesenian tradisional tua khas Sunda. Etnomusikolog Endo Suanda menyebutkan, dalam khazanah musik Sunda, tarawangsa sangat unik. Sebab, alat musik gesek ini berbentuk seperti rebab, tapi tidak memakai kulit, masih utuh berbahan kayu. Bentuknya juga sederhana, persegi biasa, dan berleher panjang.
Menurut Endo, alat musik gesek ada di mana-mana. Salah satu instrumen gesek berbentuk mirip tarawangsa adalah rebab. Tapi, dalam hal struktur, rebab sangat berbeda dengan tarawangsa dari sisi material hingga dawai. Untuk memainkan rebab, kedua dawainya digesek berbarengan. Sedangkan tarawangsa dimainkan hanya dengan menggesek satu dawai. Satu dawai lainnya dipetik.
“Ini unik sekali. Di Indonesia hanya ada satu alat musik unik ini, hanya di Jawa Barat. Cuma satu dawai digesek, satunya dipetik. Tidak ada lagi alat musik yang dimainkan seperti ini,” kata Endo saat dihubungi lewat telepon pada Jumat, 15 Oktober lalu.
Keunikan tarawangsa, Endo menambahkan, juga terletak pada nadanya. Alat musik ini tidak memiliki garis tangga nada. Pemainnya mengandalkan rasa untuk menggerakkan jari dalam membentuk harmoni nada.
Di tatar Sunda, tarawangsa bisa dijumpai di Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Tasikmalaya. Dalam wangsalan Sunda, alat musik ini biasa disebut rebab jangkung.
Alat musik serupa tarawangsa juga terdapat di Baduy, Banten. Di sana instrumen itu disebut rendo dan biasa dimainkan dengan kecapi saja. “Namun hanya boleh dimainkan di kawasan Baduy luar, tidak dibolehkan di Baduy dalam,” ujar Endo.
Endo menjelaskan, tarawangsa yang biasa dimainkan dengan jentreng—kecapi kecil berdawai tujuh atau sembilan—dijadikan alat musik utama dalam berbagai ritus, terutama yang berhubungan dengan pertanian dan adat leluhur. “Saat masa panen, Maulid, dan meruwat. Dalam meruwat, bisa meruwat orang, rumah, hingga desa (kampung) dan selamatan, tarawangsa dimainkan dengan jentreng,” tuturnya.
Penampilan tari dari anggota Komunitas Cermin Tasikmalaya dalam penutupan acara Ruwatan Lembur 2, di Bukit Lestari, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 9 Oktober 2021 malam. TEMPO/Rommy Roosyana
Dua alat musik itu biasanya mengiringi orang-orang yang bernyanyi, menari, bekerja, menggelar selamatan, juga yang sedang memanen hasil sawah atau ladang. Bahkan orang bisa menari semalam suntuk hingga beberapa malam. “Bisa dua hari-dua malam (dalam hajatan) hanya dengan tarawangsa dan jentreng. Tidak ada nyanyian, tidak ada apa-apa,” kata Endo.
Di Rancakalong, menari dengan iringan alat musik tarawangsa yang dilengkapi berbagai sajen menjadi sarana berekspresi para penari. Bahkan para penari seperti dalam keadaan trance atau kesurupan, tapi bukan sepenuhnya tidak sadar. “Itu dijadikan sarana terapi untuk melepaskan ketegangan, menghilangkan beban perasaan, dan lain-lain. Ini sudah tentu bisa dijadikan terapi penyembuhan banyak hal,” ucap Endo.
Adapun di Kabupaten Tasikmalaya, dalam perjalanan, kemasan penampilan tarawangsa berubah. Semula di sana tarawangsa dimainkan hanya dengan jentreng seperti di daerah lain. Pada 1969, seorang seniman, Abah Suhali, mengolaborasikan tarawangsa dengan calung renteng. Alasannya: mencegah kepunahan alat musik gesek tersebut. Calung renteng sebelumnya adalah instrumen kesenian yang berdiri sendiri, berfungsi sebagai alat hiburan bagi para petani yang menunggu huma. Mereka memainkan calung untuk menghibur diri dan melepas lelah.
Penggabungan itu kemudian melahirkan kesenian tarawangsa khas Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya, dengan sebutan calung tarawangsa. Alat musik yang dimainkan pun menjadi lima macam: tarawangsa, jentreng, calung indung, calung anak, dan seruling. Kecapi biasanya dipetik juru kawih, seperti dalam kesenian tarawangsa yang dimainkan sanggar seni Dangiang Budaya dari Cibalong dalam Ruwatan Lembur 2.
Endo mengatakan tarawangsa yang dimainkan dengan jentreng, calung, dan seruling bisa dikatakan hanya ada di Cibalong. Bedanya dengan tarawangsa yang dimainkan di Kabupaten Bandung dan Sumedang hanya pada sisi pengemasan. “Dalam sejarahnya, kesenian tarawangsa tidak selengkap seperti di Cibalong itu. Ia hanya terdiri atas dua alat musik, yaitu tarawangsa dan kecapi kecil.”
•••
DI KAMPUNG Cigelap, Desa Parung, Cibalong, Abah Oman dan rekan-rekannya terus berupaya menjaga tarawangsa yang kini mulai terpinggirkan dan terancam punah. Di kampung yang berjarak sekitar 32 kilometer di selatan pusat Kota Tasikmalaya itu, Abah Oman membuat sendiri tarawangsa dari bahan kayu yang terdapat di lingkungan tempat tinggalnya. Bahannya bisa berupa kayu nangka, kenanga, jengkol, dadap, kemiri, atau mahoni.
Selain dimainkan sendiri bersama grup Dangiang Budaya, tarawangsa buatan pria yang telah menggeluti kesenian itu selama 20 tahun tersebut dijual berdasarkan pesanan. “Sebuah tarawangsa biasanya dijual dengan harga Rp 350-500 ribu,” ujar Abah Oman.
Bukan hanya material tarawangsa, tutur Abah Oman, bahan calung juga ia dapatkan di sekitar kampungnya. Semua bahan bisa dikatakan mudah dicari tanpa harus membeli. Untuk membuat dawai kecapi dan tarawangsa, misalnya, mereka memanfaatkan kawat baja bekas kopling.
Adapun penggesek biasanya dibuat dari ijuk. Tali perangkai potongan bambu untuk calung renteng terbuat dari areuy—tumbuhan yang merambat di pohon-pohon berkayu besar di hutan. “Jika dikeringkan dan dibuat tali akan kuat dan kokoh,” kata Abah Oman.
Seniman Endo Suanda membuat alat musik gitar dari bambu di bengkel alat musik di kawasan Cilendek, Bogor, 8 Januari 2020. TEMPO/Ratih Purnama
Bagi masyarakat kampung di Cibalong, selain sebagai sarana hiburan, musik tarawangsa dipercaya menyimpan fungsi magis. Abah Oman mengungkapkan, ia sering diundang untuk mengobati orang sakit, dari yang kesurupan, lumpuh, sampai buta. “Memainkan tarawangsa di tempat orang sakit biasanya pada malam hari. Dimulai pukul 20.00 sampai pukul 02.00, begitu juga jika bermain di tempat hajatan,” ujarnya.
Yana, rekan satu grup tarawangsa Abah Oman, menambahkan, dalam ritual pengobatan, mereka bermain langsung di samping orang yang sedang sakit. “Tergantung keadaan, ada yang langsung sembuh dengan sekali main, ada yang sampai tiga kali main baru terlihat sembuh. Atas izin Allah, ada yang cukup sekali atau dua kali langsung sembuh,” Yana menjelaskan.
Pengobatan lewat tarawangsa biasanya dilakukan bagi orang sakit yang tidak bisa disembuhkan dengan cara medis. Keluarga orang yang sakit itu mendapat petunjuk dari “orang pintar”. “Orang pintar menyebutnya dengan simbol, ‘kudu diubaran kai bengkung’ (harus diobati kayu bengkok) atau ‘kudu meuncit kai’ (harus menyembelih kayu),” kata Yana.
Kai bengkung adalah sebutan orang-orang kampung di Cibalong untuk tarawangsa. Begitu juga meuncit kai. Mereka mengaku tak mengerti bagaimana calung tarawangsa bisa menyembuhkan orang sakit. Namun, berdasarkan cerita orang tua mereka, suara tarawangsa mengandung aura gaib. “Kami sendiri tidak tahu pasti. Tapi masyarakat di kampung banyak yang percaya bisa untuk mengobati,” ucap Yana.
Menurut Endo Suanda, bagi masyarakat desa di Jawa Barat, tarawangsa tak hanya menjadi sarana hiburan yang mengiringi nyanyian dan tarian. “Tarawangsa juga kerap dijadikan alat musik untuk menenangkan orang-orang yang dianggap ‘sakit’ baik dari sisi lahir maupun batin.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo