Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Berita Tempo Plus

Gerzon, Rancakalong, dan Eksperimen Split Screen

Sineas Gerzon Ron Ayawaila membuat film etnodokumenter mengenai tarawangsa untuk meraih gelar doktor. Tarawangsa sebagai semacam terapi psikologis.

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Pengambilan gambar musik Tarawangsa di Studio film Institut Kesenian Jakarta, Oktober 2019. Dok. Gerzon
Perbesar
Pengambilan gambar musik Tarawangsa di Studio film Institut Kesenian Jakarta, Oktober 2019. Dok. Gerzon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Pengalaman sineas Gerzon Ayawaila membuat film etnodokumenter tarawangsa di Rancakalong

  • Bereksperimen dengan split screen.

  • Bagi masyarakat Rancakalong, tarawangsa semacam terapi psikologis.

AYO, Pak, lepaskeun, lepaskeun.” Gerzon Ron Ayawaila, sineas dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), masih ingat beberapa orang berkata demikian kepadanya suatu kali ketika ia ikut ngibing merespons alunan musik magis tarawangsa di Rancakalong. Gerzon mulanya tak mengerti apa yang dimaksud dengan “lepaskeun. Namun ia kemudian paham: sembari bergerak mengikuti bunyi tarawangsa, seseorang seyogianya melepaskan semua beban pikiran. Tatkala sedikit demi sedikit musik membawa orang itu ke suasana trance, tubuh otomatis bergerak sembari membuang semua persoalan. “Saya lihat tarawangsa berfungsi seperti terapi psikologis untuk masyarakat di sana,” kata Gerzon.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus