Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Keuangan Periode 2013-2014, tak menyangka diundang sebagai salah satu tokoh yang menyampaikan pidato dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 pada Sabtu dua pekan lalu. Sebelum memulai pidatonya sore itu, Chatib mengatakan panitia melakukan kesalahan besar dengan meminta seorang ekonom berpidato dalam sebuah kongres kebudayaan. Namun pidato itu ternyata mendapat sambutan yang begitu hangat dari para peserta kongres. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena topik yang dibawakannya saat itu, yakni tentang dana perwalian kebudayaan.
Chatib mengatakan model pengelolaan dana abadi kebudayaan bisa meniru dana abadi pendidikan yang pertama kali dialokasikan olehnya sebagai Menteri Keuangan pada 2013. ”Konsepnya yang boleh dipakai untuk pendanaan adalah hasil dari penginvestasian dana itu,” katanya. Dalam wawancara dengan wartawati Tempo, Angelina Anjar Sawitri, melalui telepon pada Selasa pekan lalu, Chatib yang sedang dalam perjalanan ke Busan, Korea Selatan, selanjutnya berujar, meskipun dana abadi sebesar Rp 5 triliun oleh Presiden Joko Widodo dijanjikan diberikan tahun depan, dana itu baru bisa digunakan pada tahun berikutnya karena menunggu hasil dari investasi. Sebab, bagaimanapun lembaganya harus dibikin lebih dulu. ”Menurut saya, dana perwalian baru bisa berjalan satu setengah tahun ke depan.”
Bagaimana model yang tepat untuk dana perwalian kebudayaan?
Bisa meniru LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Saat saya menjadi Menteri Keuangan, dana LPDP pertama kali dialokasikan, yakni Rp 16 triliun. Dana itu berasal dari silpa (sisa lebih pembiayaan anggaran) dalam APBN. Konsepnya adalah dana abadi di mana dana pokoknya tidak boleh dipakai. Karena itu, dana pokok tersebut mesti diinvestasikan, misalnya di surat utang negara atau deposito, sehingga menghasilkan bunga. Kalau bunganya 7 persen per tahun, artinya dana pokok itu akan menghasilkan sekitar Rp 1,1 triliun. Dana inilah yang boleh digunakan. Nah, maksimum 5 persen dari dana itu digunakan untuk operasional.
Presiden setuju menganggarkan Rp 5 triliun untuk dana perwalian kebudayaan mulai tahun depan. Jika yang boleh dipakai adalah bunganya, artinya dana itu baru bisa digunakan pada 2020?
Ya, pasti. Lagi pula lembaganya harus dibikin lebih dulu. Kalau bentuknya BLU (badan layanan umum), harus ada izinnya. Kemudian harus dibuat juga kriteria penerima dana itu. Ini butuh waktu. Menurut saya, dana perwalian baru bisa berjalan satu setengah tahun ke depan.
Kalau LPDP, berapa lama?
LPDP mulai dibentuk pada 2010-2011. Tapi anggaran baru dialokasikan pada 2013 karena lembaganya baru jadi. Jadi, agar anggaran bisa dialokasikan, lembaganya harus ada lebih dulu. Jadi, menurut saya, dana perwalian tidak akan langsung bisa dipakai pada 2019.
Selain silpa, apa lagi yang bisa menjadi sumber dana perwalian kebudayaan?
Bisa dari anggaran kementerian/lembaga atau dana alokasi khusus. Hanya, ada kekurangannya. Dana-dana itu harus diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Bisa-bisa seniman malah akan sibuk membuat laporan, bukan membikin karya. Selain itu, siklus pencairannya mengikuti siklus pencairan anggaran. Ada opsi lain lagi, tapi saya juga tidak menyarankan ini. Di Amerika, berlaku pungutan pada suatu aktivitas, misalnya menonton, yang kemudian dialokasikan untuk aktivitas budaya. Kalau opsi itu dipakai, susah karena setiap pungutan harus masuk lebih dulu ke negara dalam bentuk PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Kalau sudah masuk, susah keluarnya.
Lalu sumber apa yang Anda sarankan selain silpa?
Donasi yang mendapatkan insentif berupa pemotongan pajak atau tax credit. Misalnya, seseorang ingin menyumbang kegiatan budaya sebesar Rp 10 juta, kalau berlaku double deduction, pajaknya bisa dikurangi Rp 20 juta.
Adakah aturan itu di Indonesia?
Saya lupa nomornya. Tapi ada peraturan pemerintah pada 2012 yang menyebutkan bahwa seseorang yang memberikan sumbangan dalam bentuk CSR (corporate social responsibility), ilmu pengetahuan, olahraga, dan infrastruktur sosial berhak mendapatkan keringanan pajak. Nah, kebudayaan masuk infrastruktur sosial. Sayangnya, insentif ini tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Selain itu, jumlahnya sangat kecil. Potongan pajaknya baru 20 persen. Karena itu, pihak swasta tidak tertarik memberikan uangnya untuk aktivitas kesenian. Mungkin bisa diusulkan kepada pemerintah untuk memberikan double deduction.
Berapa besar potongan pajak yang berlaku di negara lain?
Kalau di Singapura, double deduction. Tapi usul itu akan tergantung kondisi keuangan negara. Lagi pula alokasi untuk dana perwalian tidak perlu skala besar. Anda tidak mungkin langsung mengalokasikan, misalnya Rp 16 triliun, ke situ karena mendefinisikan pendanaan budaya tidak semudah mendefinisikan beasiswa pendidikan.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, anggaran kebudayaan selama ini cukup besar, tapi tersebar di kementerian/lembaga sehingga dampaknya kurang terasa....
Ya. Dengan dana perwalian, itu semua bisa terkonsolidasi. Tapi mesti realistis. Jangan tiba-tiba membuat sesuatu yang skopnya nasional. Nanti administrasinya repot. Apalagi Anda berhadapan dengan seniman yang kurang terbiasa dengan urusan administrasi. Nanti mereka malah sibuk dengan laporan, tidak bikin apa-apa. Saya menyarankan untuk dibuat sebuah pilot project yang merupakan kerja sama antara lembaga dana perwalian dan beberapa organisasi kesenian. Setelah itu, evaluasi. Kalau berhasil, replikasi. Saya juga menyarankan agar seniman tidak perlu membuat laporan pertanggungjawaban. Ini sama seperti mahasiswa yang menerima dana LPDP.
Mengapa?
Karena akan habis waktunya untuk mengurus hal-hal yang bersifat administrasi semacam itu. Lebih baik seniman membuat tim atau memiliki sekretaris.
Siapa saja yang bisa mengelola dana abadi kebudayaan?
Birokrasi tidak punya kapasitas untuk mengelola dana yang diinvestasikan. Seniman pun akan pusing kalau mesti memikirkan di mana dana itu harus diinvestasikan. Yang terbaik, biarkan saja dana itu dikelola para profesional di bidang keuangan. Bisa saja para profesional itu menjadi salah satu bagian dari lembaga dana perwalian. Tapi bisa juga mengikuti model yang diterapkan Harvard Endowment Fund. Pengelolanya bukan dosen-dosen di sana. Tapi mereka menunjuk sebuah perusahaan swasta yang bisa memberikan bunga sesuai dengan keinginan mereka. Di sini banyak manajer investasi. Dilelang saja untuk mendapatkan bunga yang diinginkan, misalnya 10 persen.
Bagaimana dengan LPDP?
Masih dikelola sendiri oleh LPDP. Tapi mereka juga berpikir, mungkin suatu hari nanti bisa meminta para profesional untuk mengelola.
Lalu apa peran seniman dalam kelembagaan dana perwalian?
Merekalah yang mendefinisikan bagaimana pengalokasian dananya. Kalau LPDP, supaya standar, kami membuat kriteria bahwa penerima dana LPDP merupakan mahasiswa yang diterima di 200 universitas terbaik di dunia berdasarkan ranking global. Untuk alokasi dana perwalian kebudayaan, para seniman dan budayawanlah yang tahu siapa yang benar-benar memiliki karya yang berkualitas dan siapa yang ecek-ecek. Tapi mesti ada juga dana yang dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat afirmatif.
Maksudnya?
Jadi dana itu dialokasikan untuk individu atau organisasi yang tidak didasarkan pada kemampuan atau prestasinya, tapi pada tujuannya untuk menggerakkan aktivitas kesenian. Ini bisa dimulai dari kabupaten atau kota sehingga kegiatan kesenian di sana bisa bergeliat. Dulu, di era kepemimpinan Pak Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977), dibuat gelanggang remaja, festival teater, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan itu bisa dibantu dengan dana perwalian. Tapi, sekali lagi, kriterianya harus jelas. Transparansi juga penting karena nanti sumber permasalahannya di situ.
Permasalahan seperti apa?
Di NEA dan Australia Council for the Arts sering muncul pertanyaan dari berbagai pihak yang tidak puas atas hasil seleksi. Orang-orang bertanya, ”Kok, dia yang dapat?” atau ”Kok, yang dapat itu-itu saja?” Kita harus mengantisipasi hal semacam ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo