HAJI Fauzi, tertuduh pembunuh peragawati Yulia Yasin, masih
saja tampak tidak normal alias gila. Sekurang-kurangnya
begitulah tingkahnya dan kesimpulan terakhir tim dokter Bagian
Psikiatri RSCM/FKUI. Tapi ada yang berubah: Jaksa J.R. Bangun,
yang sebelumnya menuntut Fauzi dibebaskan dengan alasan gila
itu, pekan lalu berbalik menuntut hukuman 13 tahun penjara.
Semula Bangun begitu yakin bahwa Fauzi "kurang beres".
Keyakinannya itu berdasarkan dua visum dokter. Masing-masing
dikeluarkan dr. Djoko Soemartedjo dari RSPAD dan dr. Dengara
Pane dari RS Jiwa Grogol. Kedua visum dokter itu menyebutkan:
Fauzi menderita "sindroma otak organik". Djoko meragukan Fauzi
bisa dimintai pertanggungjawabannya secara hukum, sementara
koleganya, Dengara, bahkan meragukan kemampuan pasiennya
mengikuti persidangan.
Semua keterangan para dokter itu meyakinkan jaksa. "Baaimana
saya bisa meragukan hasil pemeriksaan ahli," ujar Bangun, ketika
menuntut Fauzi dibebaskan. Apalagi tingkah Fauzi di sidang
memang tidak normal. Pedagang besi tua itu selalu memegang
kepalanya bila ditanyai hakim. Bahkan sering seenaknya tiduran
di lantai ketika sidang tengah berjalan.
Bangun tidak memperhatikan lagi keterangan saksi-saksi lain yang
melihat Fauzi sebelum sidang sebagai orang normal. Suami Yulia,
H. Yasin, dua pembantu rumah tangga mereka, Tuminah dan Mistam,
juga karyawan-karyawan suami almarhumah tidak melihat keanehan
tingkah laku Fauzi sampai terjadi peristiwa pembunuhan itu di
rumah Yulia di Jalan Gudang Peluru, Jakarta. Polisi-polisi yang
memeriksa Fauzi pun tidak melihat gejala tersangka mengidap
sakit jiwa ketika diperiksa.
Jaksa juga tidak bergeming oleh kesaksian empat wartawan. Fauzi,
menurut para wartawan yang membuntuti Fauzi setelah sidang,
ternyata bisa naik bis dan berkomunikasi dengan penumpang
lainnya secara normal. Jaksa Bangun masih saja yakin dengan
tuntutannya: "Saya tetap dengan tuntutan saya." (TEMPO 15
Januari).
Tapi majelis hakim, yang dipimpin Hakim Ferdinandus, memutuskan
meminta dokter memeriksa Fauzi sekali lagi. Kali ini tim dokter
RSCM/FKUI diketuai dr. Wahyadi Darmabrata mendapat giliran.
Hampir tiga bulan kemudian, awal April lalu, Wahyadi pun
berkesimpulan: Fauzi menderita kelainan jiwa. Bahkan tidak bisa
disembuhkan. Agaknya, dengan keterangan ketiga tim dokter dari
rumah sakit yang berbeda itu, tidak ada keraguan lagi mengenai
keadaan Fauzi.
Namun sebaliknya sikap Jaksa Bangun sekarang: "Tidak ada satu
pun tim dokter yang memastikan sejak kapan Fauzi menderita sakit
jiwa." Kali ini Bangun malah yakin bahwa ketika pembunuhan
terjadi, Fauzi normal, seperti diceritakan para saksi yang kenal
tersangka sebelumnya.
Anehnya, Bangun baru percaya Fauzi menderita gangguan jiwa
seperti dikatakan dokter, tapi meragukan keterangan yang
menyebutkan bahwa pasien itu tidak bisa disembuhkan. Sebab itu,
selain menuntut hukuman, jaksa meminta hakim memutuskan . . .
Fauzi dimasukkan ke rumah sakit. "Tuhanlah yang menentukan
apakah penyakit seseorang itu akan dapat disembuhkan atau
tidak," ujar Bangun di persidangan.
Dokter Wahyadi Darmabrata tidak banyak komentar atas berubahnya
keyakinan jaksa. "Tidak ada keraguan tentang visum itu," ujar
Wahyadi. Sebagai dokter, katanya, ia merasa yakin bahwa Fauzi
menderita sakit jiwa -- berupa gangguan pola dan kematangan
kepribadian. Gangguan itu, katanya, disebabkan kerusakan fungsi
otak akibat pasien pernah mengalami cedera di kepala.
Pembela Fauzi, Yan Apul, tentunya yang lebih kaget atas
perubahan jaksa itu. "Visum pertama dan kedua diyakini jaksa
untuk menuntut terdakwa bebas. Sekarang ada visum ke tiga, yang
memperkuat visum sebelumnya, kok malah jaksa menuntut 13 tahun,"
ujarnya. Yan tidak melihat ada fakta-fakta baru yang dikemukakan
dalam visum itu. Karenanya ia menganggap sikap Jaksa yang
terakhir itu tidak masuk di akal.
Yan melihat, perubahan jaksa itu hanya gara-gara kekhawatiran
akan ada tuduhan macam-macam, bila ia menuntut bebas. "Jaksa
takut dituduh yang bukan-bukan karena saya tidak dicurigai
lagi," kata Yan yang tetap menuntut Fauzi dibebaskan.
Kesaksian wartawan -- terutama -- memang sempat menyerempet Yan
Apul. Pengacara yang sering main sandiwara di TVRI itu, dituduh
"sutradara" dari "sandiwara Fauzi gila." Boleh jadi Fauzi
berpura-pura gila di sidang, katanya, tapi pasti bukan dia yang
mengaturnya. "Itu kan hak Fauzi -- saya hanya berpegang kepada
bukti-bukti, di antaranya visum itu," kata Yan Apul ketika itu.
Ribut-ribut kasus Fauzi itu sempat mengundang polemik antara Yan
Apul, sebagai ketua DPC Peradin Jakarta, dengan Pimpinan DPP
Peradin, Haryono Tjitrosubono, dan Adnan Buyung Nasution. Yan
akhirnya diskors oleh DPP karena dianggap melanggar kode etik
advokat.
Akan halnya nasib Fauzi -- adakah ia normal atau gila, ia dapat
dihukum atau tidak -- akan diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan bulan ini. Tapi ada juga mulut yang usil kasih komentar:
"Ini perkara Fauzi gila atau perkaranya yang gila?'
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini