Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perkara gila haji fauzi

Jaksa j.r bangun yang sebelumnya menuntut haji fauzi dibebaskan dengan alasan gila dalam persidangan pekan lalu berbalik menuntut hukuman 13 th penjara, meski visum dokter menyatakan gila. (hk)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJI Fauzi, tertuduh pembunuh peragawati Yulia Yasin, masih saja tampak tidak normal alias gila. Sekurang-kurangnya begitulah tingkahnya dan kesimpulan terakhir tim dokter Bagian Psikiatri RSCM/FKUI. Tapi ada yang berubah: Jaksa J.R. Bangun, yang sebelumnya menuntut Fauzi dibebaskan dengan alasan gila itu, pekan lalu berbalik menuntut hukuman 13 tahun penjara. Semula Bangun begitu yakin bahwa Fauzi "kurang beres". Keyakinannya itu berdasarkan dua visum dokter. Masing-masing dikeluarkan dr. Djoko Soemartedjo dari RSPAD dan dr. Dengara Pane dari RS Jiwa Grogol. Kedua visum dokter itu menyebutkan: Fauzi menderita "sindroma otak organik". Djoko meragukan Fauzi bisa dimintai pertanggungjawabannya secara hukum, sementara koleganya, Dengara, bahkan meragukan kemampuan pasiennya mengikuti persidangan. Semua keterangan para dokter itu meyakinkan jaksa. "Baaimana saya bisa meragukan hasil pemeriksaan ahli," ujar Bangun, ketika menuntut Fauzi dibebaskan. Apalagi tingkah Fauzi di sidang memang tidak normal. Pedagang besi tua itu selalu memegang kepalanya bila ditanyai hakim. Bahkan sering seenaknya tiduran di lantai ketika sidang tengah berjalan. Bangun tidak memperhatikan lagi keterangan saksi-saksi lain yang melihat Fauzi sebelum sidang sebagai orang normal. Suami Yulia, H. Yasin, dua pembantu rumah tangga mereka, Tuminah dan Mistam, juga karyawan-karyawan suami almarhumah tidak melihat keanehan tingkah laku Fauzi sampai terjadi peristiwa pembunuhan itu di rumah Yulia di Jalan Gudang Peluru, Jakarta. Polisi-polisi yang memeriksa Fauzi pun tidak melihat gejala tersangka mengidap sakit jiwa ketika diperiksa. Jaksa juga tidak bergeming oleh kesaksian empat wartawan. Fauzi, menurut para wartawan yang membuntuti Fauzi setelah sidang, ternyata bisa naik bis dan berkomunikasi dengan penumpang lainnya secara normal. Jaksa Bangun masih saja yakin dengan tuntutannya: "Saya tetap dengan tuntutan saya." (TEMPO 15 Januari). Tapi majelis hakim, yang dipimpin Hakim Ferdinandus, memutuskan meminta dokter memeriksa Fauzi sekali lagi. Kali ini tim dokter RSCM/FKUI diketuai dr. Wahyadi Darmabrata mendapat giliran. Hampir tiga bulan kemudian, awal April lalu, Wahyadi pun berkesimpulan: Fauzi menderita kelainan jiwa. Bahkan tidak bisa disembuhkan. Agaknya, dengan keterangan ketiga tim dokter dari rumah sakit yang berbeda itu, tidak ada keraguan lagi mengenai keadaan Fauzi. Namun sebaliknya sikap Jaksa Bangun sekarang: "Tidak ada satu pun tim dokter yang memastikan sejak kapan Fauzi menderita sakit jiwa." Kali ini Bangun malah yakin bahwa ketika pembunuhan terjadi, Fauzi normal, seperti diceritakan para saksi yang kenal tersangka sebelumnya. Anehnya, Bangun baru percaya Fauzi menderita gangguan jiwa seperti dikatakan dokter, tapi meragukan keterangan yang menyebutkan bahwa pasien itu tidak bisa disembuhkan. Sebab itu, selain menuntut hukuman, jaksa meminta hakim memutuskan . . . Fauzi dimasukkan ke rumah sakit. "Tuhanlah yang menentukan apakah penyakit seseorang itu akan dapat disembuhkan atau tidak," ujar Bangun di persidangan. Dokter Wahyadi Darmabrata tidak banyak komentar atas berubahnya keyakinan jaksa. "Tidak ada keraguan tentang visum itu," ujar Wahyadi. Sebagai dokter, katanya, ia merasa yakin bahwa Fauzi menderita sakit jiwa -- berupa gangguan pola dan kematangan kepribadian. Gangguan itu, katanya, disebabkan kerusakan fungsi otak akibat pasien pernah mengalami cedera di kepala. Pembela Fauzi, Yan Apul, tentunya yang lebih kaget atas perubahan jaksa itu. "Visum pertama dan kedua diyakini jaksa untuk menuntut terdakwa bebas. Sekarang ada visum ke tiga, yang memperkuat visum sebelumnya, kok malah jaksa menuntut 13 tahun," ujarnya. Yan tidak melihat ada fakta-fakta baru yang dikemukakan dalam visum itu. Karenanya ia menganggap sikap Jaksa yang terakhir itu tidak masuk di akal. Yan melihat, perubahan jaksa itu hanya gara-gara kekhawatiran akan ada tuduhan macam-macam, bila ia menuntut bebas. "Jaksa takut dituduh yang bukan-bukan karena saya tidak dicurigai lagi," kata Yan yang tetap menuntut Fauzi dibebaskan. Kesaksian wartawan -- terutama -- memang sempat menyerempet Yan Apul. Pengacara yang sering main sandiwara di TVRI itu, dituduh "sutradara" dari "sandiwara Fauzi gila." Boleh jadi Fauzi berpura-pura gila di sidang, katanya, tapi pasti bukan dia yang mengaturnya. "Itu kan hak Fauzi -- saya hanya berpegang kepada bukti-bukti, di antaranya visum itu," kata Yan Apul ketika itu. Ribut-ribut kasus Fauzi itu sempat mengundang polemik antara Yan Apul, sebagai ketua DPC Peradin Jakarta, dengan Pimpinan DPP Peradin, Haryono Tjitrosubono, dan Adnan Buyung Nasution. Yan akhirnya diskors oleh DPP karena dianggap melanggar kode etik advokat. Akan halnya nasib Fauzi -- adakah ia normal atau gila, ia dapat dihukum atau tidak -- akan diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bulan ini. Tapi ada juga mulut yang usil kasih komentar: "Ini perkara Fauzi gila atau perkaranya yang gila?'

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus