Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBAHASAN panjang dan alot mengenai pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan akhirnya kelar juga pada Jumat sore, 11 September 2009. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat atas seluruh ketentuan umum, pasal, ayat, hingga penjelasan isi beleid yang diajukan parlemen sejak 2002 itu. Senin depannya, 14 September, RUU itu tinggal diketuk di sidang paripurna. Bergegas satu per satu para peserta rapat meninggalkan Gedung DPR. Waktu berbuka puasa segera tiba.
Tak seperti yang lain, Faiq Bahfen, Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan yang menjadi Ketua Tim Perundingan Rancangan Undang-Undang Kesehatan, justru ngiclik ke ruang pemimpin Komisi Kesehatan. Ia mengiringi Ketua Komisi Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDI Perjuangan dan wakilnya, Asiyah Salekan, dari Fraksi Golkar. Karena azan terdengar, mereka pun menyeruput teh hangat dan kolak pisang yang disediakan sekretariat. Sembari berbuka mereka mengobrol tentang rapat yang baru selesai itu.
Tiba-tiba Ribka menyodorkan dua surat yang tergeletak di mejanya. Pengirimnya Bambang Sukarno, Ketua DPRD Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dan Wisnu Broto, Ketua Asosiasi Petani Tembakau dan Cengkeh Jawa Tengah. Isi dua surat itu meminta DPR mencabut ayat 2 pasal 113, yang mengkategorikan rokok sebagai barang yang mengandung zat adiktif.
Kendati masing-masing tertanggal 4 dan 6 September, surat yang dikirim Bambang dan Wisnu baru saja tiba di meja Ribka. Bambang dan Wisnu mengancam akan mengerahkan massa jika ayat itu tetap disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. ”Para petani jelas rugi dengan keberadaan ayat itu,” kata Wisnu kepada Sutarto dari Tempo.
Ribka, Asiyah, dan Faiq pun berembuk. Mereka sepakat menampung keberatan itu dengan mencabut ayat 2. ”Pak Faiq yang mengonsep pencabutannya,” kata Asiyah pekan lalu. Konsep pencabutan yang ditulis tangan itu lantas diparaf Ribka dan Asiyah. Intinya menyatakan pencabutan ayat 2 dan menggantinya dengan ayat 3. Asiyah lalu menelepon Mariani Akib Baramuli, koleganya di Golkar, untuk datang di ruangan pemimpin Komisi. ”Saya cuma memaraf lalu pamit karena suami sakit,” kata Mariani.
Mereka seakan berpacu dengan waktu. Semua urusan administrasi rancangan harus selesai malam itu juga. ”Pak Faiq bolak-balik ke ruang sekretariat untuk menyempurnakan konsep akhir,” kata Asiyah. Hanya, menurut Asiyah, untuk dibawa ke paripurna, perubahan itu mesti disetujui dulu oleh seluruh fraksi.” Di ruang sekretariat, kata Asiyah, ikut sibuk Budi Sampoerna, Kepala Biro Hukum Kementerian Kesehatan.
Faiq kemudian menelepon Umar Wahid, Wakil Ketua Komisi dari Partai Kebangkitan Bangsa. Apa pun kata Umar, itu akan menentukan nasib keberatan Bambang dan Wisnu. Ditampung atawa diabaikan. Sial, telepon tak bersambung-sambung. ”Saya sibuk menyiapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Rumah Sakit,” kata Umar. Baru esoknya, ia mengangkat telepon Faiq. Umar memberikan jawaban: ia tak setuju ayat 2 diamputasi.
Semua terlambat. Rupanya, Jumat malam itu Faiq meminta Tri Udiartiningrum, Kepala Bagian Sekretariat Komisi Kesehatan, menghapus ayat 2. File ini kemudian dikirim ke Sekretariat Negara untuk dicetak dan diteken Presiden. Maka kegegeran pun terjadi. Kalangan aktivis antirokok dan dokter menuding telah terjadi korupsi legislasi. ”Ini skandal dan tidak bisa dibiarkan begitu saja,” kata Hakim Sorimuda Pohan, bekas anggota Komisi Kesehatan dari Fraksi Demokrat. Bersama Kartono Mohamad, Hakim, yang kini bergabung dalam Koalisi Antikorupsi Ayat Tembakau (Kakar), mendesak polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut perkara ini.
HILANGNYA ayat rokok mencuat ketika Sekretariat Negara mengembalikan rancangan undang-undang itu ke DPR, sepekan setelah rapat paripurna. Hakim Sorimuda mengetahui ayat itu hilang saat akan mensosialisasinya ke pemerintah dan DPRD Kabupaten Tasikmalaya. ”Saya ingat betul pasal 113 ini ada tiga ayat sampai rapat terakhir pembahasan,” kata Hakim.
Dahinya makin bekernyit ketika menelisik lembar penjelasan. Di sana tersurat pasal itu terdiri atas tiga ayat. Ayat 1 dan 2 diberi keterangan ”cukup jelas”. Hanya ayat 3 yang mendapat penjelasan soal syarat penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk mencegah gangguan kesehatan masyarakat. Ke mana ayat 2 yang disebut cukup jelas itu?
Dalam rapat paripurna ayat itu memang masih ada. Satu jam sebelum rapat akbar itu digelar, Umar Wahid masih mencocokkan rancangan di laptopnya dengan salinan yang ia terima dari Departemen Kesehatan. ”Masih sama,” katanya.
Kartono Mohamad, yang menghadiri rapat paripurna, masih ingat ada seorang politikus Golkar yang memprotes masih adanya ayat rokok meski Mariani Baramuli telah selesai membacakan hasil pembahasan Komisi Kesehatan. Di luar gedung, tak terdengar riuh orang berdemo. Ancaman Bambang dan Wisnu ternyata hanya gertakan.
Umar, yang kemudian juga menemukan ayat itu hilang dalam rancangan yang dikembalikan Sekretariat Negara, mengajak Ketua Panitia Khusus RUU Kesehatan dan sekretariat komisi bertemu pada 9 Oktober 2009. Padahal sepekan sebelumnya mereka sudah tak lagi menjadi anggota DPR. Masa jabatan mereka, periode 2004-2009, sudah habis.
Dari keterangan-keterangan yang ia kumpulkan, Umar menyimpulkan hilangnya ayat itu hanya kekeliruan. ”Rupanya, setelah saya menyatakan tak setuju, sekretariat tak mengembalikan lagi ayat yang sudah dihapus itu,” katanya. Menurut dia, kesibukan membahas RUU Rumah Sakit membuat mereka alpa telah menghapus ayat itu di file komputer.
Ditemui Tempo, Tri Udiartiningrum menolak menjelaskan tak dikembalikannya ayat itu ke tempat semula. ”Saya tak punya kewenangan menjelaskan soal ini,” katanya. Saat diperiksa polisi, Tri mengaku perubahan didiktekan langsung oleh Faiq Bahfen dan Budi Sampoerna berdasarkan konsep yang diteken Ribka, Asiyah, dan Mariani. ”Saya menerima kertas tulisan tangan itu dari Pak Faiq,” katanya.
Budi tak menyangkal pertemuan itu. Ia bahkan mengaku mengedit ulang hasil final Panitia Khusus RUU Kesehatan, sesuatu yang, menurut Umar Wahid, mestinya tak boleh dilakukan setelah rapat berakhir. Soal ini, Budi memberikan alasan. ”Itu hanya meneliti ulang dan membetulkan kata-kata yang salah, tak ada koreksi substansial,” katanya. Saat diminta pendapatnya perihal penghilangan ayat itu, Budi mengatakan, ”Melakukan sesuatu kalau tidak menjadi kenyataan kan tak apa-apa.”
Ia merujuk pada kembalinya ayat rokok itu dalam beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 13 Oktober 2009. Menurut Budi, kejadian-kejadian sebelum Rapat Paripurna DPR tak perlu dipersoalkan lagi karena toh ayat yang hilang sudah dikembalikan. Adapun Faiq Bahfen tak bisa dimintai konfirmasi tentang perannya seperti yang dikatakan sumber-sumber Tempo. Dihubungi berkali-kali, telepon selulernyanya tak diangkat. Permintaan wawancara yang dikirim ke telepon selularnyanya juga tak dibalas.
Menurut Umar, tak ada alasan bagi DPR menghilangkan ayat yang mengontrol peredaran rokok dan barang-barang yang mengandung zat adiktif itu. Sebab, ayat 2 itu justru inisiatif anggota Dewan. Awalnya rancangan tak memuat sama sekali soal pengaturan rokok. Kementerian Kesehatan juga tak memasukkan soal ini.
Ayat itu masuk di tengah-tengah pembahasan. Meski ada keberatan dan ditolak sejumlah anggota Dewan sendiri, ayat itu akhirnya disetujui masuk rancangan undang-undang. ”Bu Ribka awalnya tak setuju karena konstituen PDI Perjuangan kan petani tembakau,” kata Umar. ”Tapi, karena semua setuju ayat itu masuk, dia ikut setuju.” Karena sudah menjadi keputusan panitia khusus, Umar menolak ajakan Faiq Bahfen menyetujui penghilangan ayat itu sewaktu ditelepon. ”Bagi saya, ayat itu harga mati, tak bisa ditawar,” kata dokter spesialis paru-paru ini.
Menurut Hakim Sorimuda Pohan, pembahasan tentang pengaturan rokok berjalan sangat alot. Pembahasan bahkan sempat hampir mentok karena kubu yang setuju dan tak setuju bersikeras. Awalnya, pasal 113 terdiri atas lima ayat. Dua ayat lainnya mengatur hingga detail soal iklan dan gambar kerusakan organ tubuh akibat merokok yang harus ditempel di bungkus rokok. Tapi dua ayat terakhir ini akhirnya masuk kotak, didrop. Hakim dan anggota lain yang setuju tembakau dan turunannya diawasi mempertahankan ayat 2. ”Kami tak ingin lagi kecolongan seperti pada 1992,” katanya.
Syahdan, dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan Tahun 1992, pemerintah mengajukan pengaturan soal rokok. Tapi, dengan adanya lobi industri rokok yang gencar, aturan ini dipangkas. Lobi industri kepada DPR dan pemerintah tertuang dalam surat yang diajukan sebuah perusahaan rokok kepada kantor pusatnya di Amerika Serikat.
Surat itu menyampaikan kabar baik telah hilangnya ayat pengawasan rokok dalam beleid kesehatan. Juga munculnya berita-berita positif di media yang tak menyebutkan dampak negatif merokok. ”Terima kasih atas briefing Anda kepada beberapa anggota Dewan di Jakarta,” tulis surat itu. ”Kami masih melobi pejabat di Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.”
Industri rokok memang yang paling terkena dampak dengan ayat ini. Pengaturan distribusi memaksa perusahaan rokok tak mengiklankan produknya dan konsumennya dibatasi. Padahal, menurut survei AC Nielsen, jenis usaha yang paling gencar beriklan adalah pabrik rokok. Tahun lalu saja, dengan produksi 240 miliar batang rokok, nilai iklan yang digerojokkan produsen rokok mencapai Rp 1,5 triliun.
DATA dan pengalaman pada 1992 itulah yang membuat Hakim dan sejumlah LSM curiga hilangnya ayat rokok dalam Undang-Undang Kesehatan kali ini bukan sekadar masalah administrasi atau faktor ”tak sengaja”. Mereka menduga ayat itu sengaja dihilangkan karena lobi industri rokok.
Tapi tudingan ini dibantah para pengusaha rokok. Kepada majalah ini, misalnya, Direktur Komunikasi PT HM Sampoerna, Niken Rachmad, menyatakan perusahaan rokok tidak melakukan intervensi apa pun terhadap RUU Kesehatan. ”Kami tidak pernah dilibatkan membahas RUU itu,” katanya (Tempo, 25 Oktober 2009).
Selain sudah membawa kasus itu ke Badan Kehormatan DPR, Maret lalu, Koalisi Antikorupsi Ayat Tembakau melaporkan Ribka, Asiyah, dan Mariani Baramuli ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri. Koalisi menunjuk Ribka yang paling utama diperiksa dalam perkara ini. ”Itu tindak pidana. Walau ayat itu sudah dikembalikan, bukan berarti kasus ini selesai,” kata Koordinator Koalisi Kartono Mohamad. Koalisi mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan menyigi adanya suap di balik ”skandal ayat tembakau” itu.
Koalisi Antikorupsi juga mendapat dokumen perihal Ribka. Dalam dokumen tertanggal 24 Agustus 2010 itu disebut Ribka, juga Asiyah dan Mariani, sebagai tersangka. Tapi soal status tersangka ini dibantah Kepala Reserse Mabes Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Menurut dia, penyebutan ”tersangka” hanya pada surat laporan perkembangan penyelidikan. ”Kasus ini belum ada tersangkanya,” kata Ito.
Koalisi menunjuk ayat itu jelas sengaja dihilangkan. Indikasinya adalah berita acara pengembalian ayat rokok pada 13 Oktober 2009 oleh pemimpin Komisi Kesehatan. ”Dengan demikian, artinya pengembalian itu menunjukkan ayat ini pernah dihilangkan,” kata Hakim.
Umar Wahid mengakui adanya berita acara itu. ”Tapi saya tak ingat tanggalnya, yang jelas setelah 9 Oktober,” katanya. Pada 9 Oktober itu Umar tengah membahas hilangnya ayat rokok dengan pimpinan Komisi dan Sekretariat. Pada tanggal itu juga Presiden meneken beleid itu.
Ribka Tjiptaning rupanya tak gentar menghadapi serangan Koalisi Antikorupsi. Jumat dua pekan lalu Ribka ganti mengadukan Kartono Mohamad dan Hakim ke polisi dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.
Dihubungi Tempo sepanjang pekan lalu, Ribka mengaku tengah berada di Cina. ”Tak cukup penjelasan lewat telepon,” katanya. Dia tak menjawab pertanyaan tertulis majalah ini yang dikirim via SMS. Kamis dua pekan sebelumnya, dalam konferensi pers, Ribka menyangkal lenyapnya ayat itu dilakukan secara sengaja. Ayat itu, katanya, raib karena salah ketik. ”Buktinya, saat rapat paripurna, ayat itu masih ada, dan sekarang juga masih ada,” katanya.
Mungkin pertanyaannya, jika hilangnya ayat itu tak diributkan, apakah otomatis ayat itu bakal kembali.
LRB, Bagja Hidayat, Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo