Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUPREMASI hukum sedang diuji di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang sedang mengadili Gayus Tambunan sebagai terdakwa kasus mafia pajak. Jaksa mendakwa bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu dengan empat pasal berlapis dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pertama, memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan negara. Kedua, memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Ketiga, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim. Dan keempat, memberi keterangan palsu.
Sekalipun Gayus didakwa pasal-pasal berat, persidangan kasusnya penuh kejanggalan. Kesaksian Gayus menerima uang dari Grup Bakrie tidak masuk dalam dakwaan jaksa. Tak secuil pasal pun yang menjerat Gayus sebagai penerima suap. Pasal korupsi dalam dakwaan pertama merupakan korupsi umum—tak perlu dibuktikan ada atau tidaknya suap. Adapun dua dakwaan suap kepada Gayus justru dalam posisi sebagai penyuap.
Jaksa sama sekali mengabaikan ”nyanyian” Gayus. Padahal Gayus mengaku menerima uang dari tiga perusahaan kelompok usaha Bakrie. Pengakuan juga tercantum dalam berita acara pemeriksaan di Kepolisian. Gayus mengaku menerima US$ 500 ribu dari PT Kaltim Prima Coal untuk mengeluarkan surat ketetapan pajak 2001-2005 yang tertahan di Kantor Pelayanan Pajak Gambir.
Gayus juga menerima US$ 500 ribu dari PT Bumi Resources karena memuluskan proses banding di pengadilan pajak. Terakhir, Gayus menerima US$ 2 juta untuk memperlancar pengurusan sunset policy—kebijakan Ditjen Pajak menghapus sanksi administrasi pajak pada 2008—PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima.
Nasi sudah menjadi bubur: jaksa ”telanjur” menetapkan dakwaan yang bolong-bolong. Meski jaksa tak bisa meralat dakwaan dalam persidangan, peluang mengadili Gayus sebagai penerima suap dan menjerat para penyuapnya belum tertutup sama sekali. Para penegak hukum harus segera menindaklanjuti pengakuan Gayus. Dalam persidangan sekarang, majelis hakim tetap berwenang memperdalam pengakuan Gayus. Hakim harus menggali informasi lebih dalam setoran uang dari perusahaan-perusahaan Grup Bakrie, atau mungkin kelompok usaha lain.
Jaksa juga harus piawai membongkar penyuapan terhadap Gayus. Jaksa sebaiknya menghadirkan saksi-saksi yang menguatkan adanya rasuah itu. Tapi kunci tetap di tangan Markas Besar Kepolisian RI. Instansi ini wajib menyelidiki pengakuan Gayus, meskipun hakim atau jaksa tak menggali informasi lebih dalam. Kepolisian tak bisa berdalih pengakuan Gayus telah menerima uang dari Grup Bakrie itu kurang bukti.
Kesaksian Gayus telah menerima uang merupakan petunjuk kuat adanya upaya penyuapan kepada aparatur negara. Pengakuan seorang terdakwa di pengadilan itu sahih dan punya dasar hukum kuat untuk disidik lebih intensif oleh Kepolisian. Apalagi pengakuan itu sama dengan kesaksian Gayus sebelumnya dalam berita acara pemeriksaan. Kepolisian harus membuka kasus Gayus yang baru: menerima suap.
Kepolisian tak perlu takut melanggar asas nebis in idem (mengadili dua kali dengan kasus yang sama). Sebab, dakwaan jaksa kepada Gayus saat ini tuduhan korupsi. Karena itu, Kepolisian harus memeriksa ulang Gayus guna membuktikan petunjuk atau indikasi awal penyuapan tadi. Kepolisian bisa memeriksa lagi Alif Kuncoro, pengusaha perbengkelan, dan adiknya, Imam Cahyo Maliki. Keduanya menyerahkan uang dari Grup Bakrie kepada Gayus. Hanya dengan dakwaan baru kepada Gayus dan mengadili penyuapnya, rasa keadilan masyarakat bisa terpenuhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo