Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENGAH hari, Rabu pekan lalu, negara seakan terbengkalai di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan. Dua kelompok warga negara yang bertikai menempuh penyelesaian di luar pengadilan, seraya mengambil alih hukum ke tangan mereka, lalu pecahlah kejadian horor itu.
Yang kemudian tampak bukan hanya menyiratkan betapa fasihnya bangsa ini menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan aneka persoalan bersahaja. Sebab, biasanya, bentrokan berdarah seperti ini bertolak dari persoalan sepele di antara dua individu. Dari tayangan menggebu berbagai stasiun televisi, tampaklah bahwa dalam sepuluh menit yang mencekam itu senjata api tidak lagi di tangan aparat keamanan. Di atas arena beraspal tidak jauh dari pengadilan itu, beberapa preman menghunus dan menembakkan pistol.
Tiga orang tewas, puluhan lainnya luka-luka dalam pertunjukan sadisme yang membuat kita mempertanyakan kembali posisi kita sebagai bangsa beradab. Polisi, yang selama ini menjadi primadona di atas panggung perang melawan teror kelompok ekstrem kanan yang sarat publisitas, pun sekonyong-konyong berada dalam posisi bertahan. Tak berdaya. Bahkan beberapa di antara mereka justru ditembaki oleh salah satu kelompok yang bertikai.
Sebuah bentuk pelecehan terhadap pengadilan, aparat keamanan, serta negara telah didemonstrasikan di siang yang terang-benderang di muka umum. Rapuhnya negara dan rendahnya wibawa pemegang otoritas—pengadilan dan keamanan—memang bukan cerita baru, dan sering kali merupakan karma dari kelakuan personel institusi yang justru bertolak belakang dengan keadilan dan keamanan itu sendiri. Kita tidak terkejut lagi mendengar hakim dan jaksa meringankan hukuman dan tuntutan bagi terdakwa yang jelas bersalah. Begitu juga kisah aparat keamanan di daerah konflik yang berpihak kepada salah satu kelompok, ketimbang memelihara netralitas, bertindak represif tanpa pandang bulu.
Aksi barbar di Ampera Raya, bentrokan bersenjata di Tarakan, dan sejumlah konflik horizontal lainnya merupakan tantangan serius yang dihadapi aparat keamanan dewasa ini. Low intensity conflict, yang meliputi pertikaian antaretnik-agama, mafia, premanisme, dan lain-lain ini cenderung berumur panjang, karena tanpa kerja keras, pertumpahan darah yang satu akan diikuti pertumpahan darah yang lain.
Melemahnya wibawa otoritas negara ini tentu saja menguatkan kelompok-kelompok yang tak terjangkau hukum. Dan bentrokan di Ampera Raya barusan memperlihatkan betapa para preman itu tidak ragu mendemonstrasikan model solusi khas komunitas ini: penyelesaian fisik dan darah. Rasa percaya diri mereka jelas mengerikan.
Dilecehkan begini rupa, polisi sebaiknya meninggalkan sikap defensif manakala menjawab kecaman dari berbagai pihak, dan cepat membuktikan bahwa mereka sanggup bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang seolah-olah kebal hukum ini. Satu lagi yang perlu diingat, tindakan tegas ini baru akan efektif apabila polisi juga menindak sosok yang memelihara dan menggunakan jasa preman untuk memuluskan kepentingannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo