Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKHAWATIRAN jagonya gagal menjadi calon presiden mendorong sejumlah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bergerak. Kontak-kontak dilancarkan, lalu pertemuan digelar pada awal Desember tahun lalu. "Ada teman-teman calon anggota legislatif, pengurus daerah, pengurus cabang, juga mantan pengurus," ujar Budi Arie Setiadi kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Dimotori sejumlah aktivis mahasiswa Universitas Indonesia era 1998 yang berlabuh di Partai Banteng, dibentuklah organ penekan dengan nama PDI Perjuangan Pro Jokowi (Projo) yang ingin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo segera disahkan sebagai calon presiden. Budi ditunjuk sebagai pemimpinnya. Hadir pula simpatisan PDIP dan paguyuban masyarakat Jawa Tengah dalam deklarasi di Jakarta pada 21 Desember 2013.
Menurut Budi, keresahan muncul ketika wacana regenerasi yang biasa digarisbawahi Megawati Soekarnoputri hilang dalam pidato Ketua Umum PDIP itu di Universitas Indonesia pada 30 November tahun lalu. Walau menenteng Jokowi, Mega justru menyatakan regenerasi tak mudah dilakukan. "Ini sinyal buruk," kata bekas Wakil Ketua PDIP Jakarta yang kerap disapa Muni itu. Bisakah diartikan Projo menolak Mega menjadi calon presiden? "Kami mewakili silent majority di PDIP," ujar deklarator Projo lainnya, Fahmi Alhabsyi, diplomatis.
Projo bukan satu-satunya "panser" buatan kader PDIP. Sepekan sebelumnya, muncul Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi. Seknas dipelopori kader PDIP, aktivis 1980-an, dan para pendukung Jokowi di Solo-Yogyakarta. Di situ bergabung pula aktivis hak asasi manusia, seniman, serta masyarakat nonkader PDIP. "Sekitar 20 persen anggota Seknas dari PDIP," kata Ketua Presidium Seknas Muhammad Yamin, Kamis pekan lalu.
Yamin calon anggota legislatif PDIP dari Jawa Tengah, yang dulu dekat dengan suami Mega, Taufiq Kiemas. Dia pun anggota staf ahli Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sidarto Danusubroto, yang juga Ketua PDIP. Kader lain di Seknas antara lain Ketua Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia PDIP Agung Putri Astrid, Ketua Umum Relawan Pembela Demokrasi (Repdem) Masinton Pasaribu, dan Dadang Juliantara. Repdem salah satu onderbouw PDIP.
Seknas menggelar posko setiap ada keriaan di Jakarta. Seknas dan Projo pun aktif memasang spanduk mendukung Jokowi sebagai calon presiden 2014 di jalan-jalan protokol Ibu Kota. "Kami siap balik badan kalau partai memutuskan bukan Jokowi capresnya," ujar Agung.
Banyak juga kelompok pro-Jokowi tanpa kader PDIP. Yang moncer, ada Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 (Bara JP) yang dideklarasikan di Bandung pada Juni 2013. Deklaratornya para mantan mahasiswa nasionalis, juga aktor lawas Roy Marten. Sedangkan di Yogyakarta terbit Gotong-royong (Gong) Jokowi, sejak November lalu. "Anggota kami seribu orang," kata Erwin Razak, Koordinator Gong Jokowi Jawa Tengah-Yogyakarta, Kamis pekan lalu.
Kelompok-kelompok tadi tak berkaitan. Malah hubungan Projo dan Seknas tak harmonis. Masinton menyebut Projo sebagai barisan sakit hati tanpa jaringan luas. Pilihan nama PDIP Pro Jokowi membuktikan tujuan memecah belah partai. "Kalau orang PDIP pasti pro-Mega," ujar calon legislator asal Jakarta itu, Rabu pekan lalu. "Kalau konteksnya capres, silakan."
Budi menganggap tandukan rekannya sesama pendiri Repdem itu tak beralasan. Menurut dia, Projo mewadahi aspirasi kader dan pengurus secara nasional. Pilihan nama PDIP Projo hanya untuk menyingkat penyebutan. "Konteksnya jelas capres Jokowi," katanya. "Dia takut Projo besar," Budi balas menanduk.
Jobpie Sugiharto, Muhammad Muhyiddin, Shinta Maharani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo