Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI moderator diskusi, Antonius Darmanto, aktivis Lembaga Masyarakat Peduli Media, menggoda dua pembicara di panggung Reuni Akbar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pada Sabtu dua pekan lalu. Mereka adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.
Pria 50 tahun itu mengomentari gaya pidato kedua pembicara. Mega berapi-api kendati usianya tak lagi muda, mewarisi Bung Karno, sang singa podium. Adapun Jokowi, kata Darmanto, mirip Satria Piningit, tokoh pemimpin tersembunyi dalam legenda di Jawa yang banyak diam dan tidak menunjukkan ambisi politik. Â"Bilangnya selalu enggak mikir, enggak mikir pencalonan presiden," katanya, yang disambut tepuk tangan para peserta seminar. Mega dan Jokowi terbahak.
Berbicara di podium sesudah Mega, Jokowi memaparkan pengalamannya menata Jakarta. Semua kiat memperbaiki Jakarta, kata dia, merujuk pada tiga pilar kebangsaan yang diwariskan Presiden Sukarno. Tiga pilar itu adalah kemanusiaan, kemajemukan, dan kesetaraan antarwarga negara. Sebelumnya, soal tiga pilar kebangsaan itu juga disinggung Megawati. Tiga pilar itu, ujar Mega, kini banyak ditinggalkan rakyat Indonesia.
Manggung di kampus Sanata Dharma bukanlah tampilan pertama Mega-Jokowi di hadapan publik. Dua pekan sebelumnya, Mega dan Jokowi muncul di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Tangerang. Di sini, mereka berbicara tentang kedaulatan pangan. Sebulan sebelumnya, keduanya duduk sepanggung, berbicara dalam diskusi kepemimpinan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Menurut Mega, ia mengajak Jokowi berbicara di kampus-kampus karena itu bagian dari regenerasi. Namun ia menampik anggapan mengistimewakan Jokowi. Saat berbicara di Sanata Dharma, misalnya, Mega mengatakan dia mengajak juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. "Sayang, Ganjar tak bisa hadir ke Yogya," katanya. Toh, runtang-runtungnya bersama Gubernur Jakarta dinilai sebagai strategi PDI Perjuangan menyiapkan calon dalam pemilihan presiden Juli nanti.
Kepada Tempo, seorang politikus senior PDIP menuturkan, Mega sebenarnya tengah menguji kemampuan Jokowi tampil di hadapan publik, berbicara tentang isu nasional dan internasional. "Sekaligus mengetes, seberapa jauh tanggapan publik terhadap Jokowi," ujarnya.
Politikus ini menegaskan, semua itu bagian dari bimbingan Mega mengajari Jokowi dalam kurun setahun terakhir. Kepada Tempo yang menemuinya Kamis pekan lalu, Jokowi tak menampik soal bimbingan dari Mega itu. "Ini seperti persiapan payung sebelum hujan," kata Jokowi.
Megawati kini menginjak usia 67 tahun. Kepada sejumlah orang dekatnya, menurut sumber Tempo, Mega kerap mengingatkan perihal kekuasaan represif 32 tahun Orde Baru dan bagaimana popularitas dan kemenangan pemilu—2004 dan 2009—tak menjamin kepemimpinan yang lebih baik. Tiga kali kalah dalam pemilihan presiden, ujar sumber itu, Mega juga menginginkan regenerasi kepemimpinan.
Ihwal ini dibenarkan anggota PDIP, Arif Wibowo. Hanya, menurut anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat itu, Mega menginginkan "regenerasi ideologis". Arif menunjuk sejumlah calon kepala daerah muda yang diajukan partainya. "Meski terkesan eksperimen, itu tidak sembarangan," ujarnya. Mereka, menurut dia, kader terpilih partai. Pengamat politik Andi Widjajanto sependapat dengan Arif. "Karena itulah Mega ingin pertaruhan 2014 adalah pertaruhan ideologis," kata Andi, putra bekas tokoh PDIP, Theo Syafei.
Bisa jadi dengan alasan itu pula partai berlambang banteng ini tak buru-buru mendeklarasikan calon presidennya. Rapat kerja nasional partai yang berlangsung September tahun lalu di Ancol, Jakarta, misalnya, hanya menetapkan kriteria calon presiden. Tak disebutkan sama sekali perihal Jokowi yang popularitasnya meroket dalam waktu singkat. Ia unggul dalam pelbagai jajak pendapat. Suara daerah pun banyak mendukung Jokowi maju sebagai presiden (lihat "Cah Bagus dari Kebagusan").
Saat membuka rapat, Mega sudah menyebutkan calon presiden dari partainya akan ditetapkan pada agenda lain. "Tak pernah ada calon presiden dari PDIP kecuali kita bisa mengamankan 27 persen atau 152 kursi di DPR," ujarnya. Angka itu lebih dari angka minimal 20 persen sebagai "tiket" pencalonan presiden dan wakil presiden sesuai dengan Undang-Undang Pemilihan Presiden.
Sehari setelah Rapat Pimpinan Nasional PDIP ditutup, Mega mengundang semua pengurus PDIP ke Istana Batu Tulis, Bogor. Ketua Umum PDIP itu meminta semua ketua dewan pimpinan daerah menyampaikan aspirasi tentang siapa calon presiden yang diinginkan daerah. Ada tiga opsi yang muncul: menyokong Jokowi, menyokong Mega, dan menyerahkan keputusan ke Ketua Umum. Mereka yang mendukung Jokowi mayoritas berasal dari luar Pulau Jawa.
Kepada Tempo, salah seorang pengurus PDIP menuturkan, dalam pertemuan tersebut, Mega meminta semua pengurus PDIP "melipat" sementara urusan pencalonan presiden. Mereka diminta berkonsentrasi memenangi pemilu legislatif. Urusan pencalonan presiden akan digodok dalam tim dan diuji ke lingkup internal partai. "Ini bagian dari skenario Tim Sebelas," kata sumber yang ikut dalam "pertemuan Batu Tulis" tersebut.
Dibentuk Mega sejak April tahun lalu, Tim Sebelas memiliki tugas berat: membantu Mega mengambil keputusan tentang kandidat yang diusung PDIP. Hal ini terkait dengan mandat yang diberikan dalam Kongres PDIP di Bali pada 2010 kepada Mega sebagai ketua umum untuk menentukan calon presiden partai banteng itu pada Pemilu 2014.
Meski namanya Tim Sebelas, anggotanya tak sampai sebelas orang. Sebagian adalah akademikus yang diundang Mega berdiskusi tentang kepemimpinan nasional. Sebagian lainnya panitia pengarah Kongres PDIP di Bali pada 2010 dan para pengurus pusat partai. Mereka antara lain Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, Cornelis Lay, Rini Soemarno Soewandi, dan putra Mega, Prananda Prabowo.
Diadakan tiap Kamis malam, rapat tim selalu dibuka dengan makan malam. Semula, dalam tiga bulan pertama, rapat digelar di kediaman Mega di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Namun, dua bulan terakhir, rapat pindah lokasi ke kantor Megawati Institute di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Menurut salah seorang anggota tim, Mega hanya ikut tiap dua pekan, terutama jika rapat itu berlangsung di akhir minggu. Sejak dua bulan lalu, masuk peserta baru: Jokowi. Kata anggota tim yang meminta namanya tak disebut, Jokowi dilibatkan setelah semakin banyak hasil survei menempatkan dia sebagai calon wakil presiden yang memiliki elektabilitas suara tertinggi. Ketika dimintai konfirmasi tentang kegiatan barunya bergabung di Tim Sebelas itu, Jokowi hanya tersenyum.
Tugas Tim Sebelas adalah merumuskan kriteria pemimpin nasional, menggodok sejumlah nama, menggelar jajak pendapat, juga membuat skenario opsi pasangan. Sebagian hasil tim sudah disorong ke Rapat Pimpinan Nasional PDIP pada September tahun lalu. Misalnya tentang kriteria calon presiden. Tim mensyaratkan punya kemampuan mengatasi krisis dan memiliki aspek ideologis partai, di samping memiliki kemampuan manajerial dan punya elektabilitas tinggi. "Mega sedang menggandrungi regenerasi ideologis," kata seÂorang anggota tim.
Atas pertimbangan regenerasi ideologis pula, menurut salah satu anggota tim, kini disusun tiga skenario pasangan. Skenario pertama mengusung duet Mega dan Jokowi. Skenario kedua mengusung duet Jokowi dengan kader partai. Adapun skenario ketiga mengusung Jokowi dengan calon dari partai lain.
Hasto Kristiyanto membenarkan tiga skenario itu. Skenario pertama, kata dia, berdasarkan penilaian bahwa kombinasi Mega-Jokowi bisa menjawab persoalan krisis. Mega personifikasi pemimpin berpengalaman dalam mengatasi krisis, sementara Jokowi dinilai mampu mengimplementasikan pemerintahan yang andal. "Ini mempertemukan ideologi dengan popularitas yang disenangi publik," ujar Hasto.
Kombinasi itu juga memunculkan fungsi Mega sebagai pelindung Jokowi. Wacana pencalonan Jokowi sebagai presiden, menurut Hasto, sudah jadi sasaran tembak semua lawan politik. "Butuh garansi yang melindungi Jokowi. Meski didukung 60 persen masyarakat, Jokowi tetap bisa runtuh kalau tak ada pelindung," katanya.
Seorang anggota Tim Sebelas lainnya menyatakan tiga skenario itu sudah diuji coba lewat jajak pendapat pada kalangan partai, Mei tahun lalu. Hasilnya, dukungan terhadap Jokowi terus meningkat. Pada polling dengan responden kader PDIP di semua cabang yang dilakukan hingga akhir Juli tahun lalu, misalnya, diperoleh hasil bahwa Jokowi mendapat dukungan 60 persen dan Mega 30 persen.
Jajak pendapat lebih rigid dilakukan setiap bulan sejak Oktober lalu. Hasilnya: suara duet Mega-Jokowi justru berpotensi menggerus suara Jokowi yang, menurut survei, akan melejit jika maju sebagai presiden, mengungguli siapa pun.
Mega sendiri, menurut salah satu anggota Tim Sebelas, sadar betul popularitasnya telah jauh disalip Jokowi. Karena itu, kata dia, penjajakan skenario kedua dan ketiga terus dilakukan.
Menurut anggota tim ini, Mega sebenarnya sudah bergerak jauh. Ia, misalnya, sudah mengutus sebuah tim menjajaki kemungkinan koalisi dengan partai lain. Ini terkait dengan kemungkinan menimbang-nimbang tokoh lain untuk disandingkan dengan Jokowi—sesuai dengan "skenario opsi tiga". Tokoh yang disebut-sebut layak mendampingi Jokowi adalah Jusuf Kalla, mantan wakil presiden dari Partai Golkar.
Sumber Tempo menyatakan munculnya tiga skenario pencalonan itu tak lepas dari peta perkubuan di PDIP yang kini makin kuat. Skenario pertama, kata sumber ini, didukung sejumlah elite pemimpin PDIP dan beberapa anggota Tim Sebelas. Mereka berpendapat Mega masih memiliki peluang menang jika disandingkan dengan Jokowi. Sokongan agar Mega tetap maju juga muncul dari beberapa daerah. "Mereka ini kelompok yang merapat ke Mega untuk mencari posisi setelah Kongres PDIP 2015 nanti," ujar sumber itu.
Kubu kedua, yang ingin Jokowi maju menjadi presiden dengan pendamping dari lingkup internal partai, menggadang-gadang Puan Maharani, Ketua Fraksi PDIP DPR, yang juga putri Mega, sebagai calon paling pas. Nah, menurut sumber Tempo, penyokong duet "Jokowi-orang dalam partai" ini terutama anggota DPR yang kini mencalonkan diri lagi. Mereka itulah yang berada di balik pendeklarasian "gerakan pro-Jokowi".
Kelompok terakhir adalah politikus PDIP yang memilih "menyerah saja". Mereka tak setuju Mega maju lagi karena sudah dua kali kalah pemilu. Tapi mereka juga tak setuju jika Jokowi maju sebagai calon presiden lantaran dianggap masih hijau soal ideologi partai. Meski warga PDIP, mereka nilai Jokowi sulit diakses kader PDIP. "Apalagi jika nantinya jadi capres," kata seorang politikus.
Soal posisi Jokowi itu, menurut seorang politikus PDIP, kini menjadi masalah krusial di PDIP. Banyak kelompok di PDIP, kata politikus itu, ingin Mega segera mengambil keputusan menetapkan Jokowi sebagai calon presiden. Kelompok itu yakin keputusan ini akan mendongkrak suara PDIP dalam pemilihan anggota legislatif.
Ketua PDIP Maruarar Sirait tak menampik ada dinamika internal di partainya menyangkut wacana pencalonan Jokowi sebagai presiden. Maruarar memiliki penilaian sendiri tentang sikap Mega. Menurut dia, kalaupun Mega belum membuat keputusan, itu karena ia tengah menguji Jokowi. Ujian itu, terutama, menyangkut kematangannya berpolitik, loyalitas ke partai, dan sikapnya—ambisius atau tidak—atas jabatan. "Megawati juga tak cemburu meski elektabilitasnya di bawah Jokowi," ujar Maruarar.
Mega sendiri berkali-kali menegaskan sikapnya soal pengajuan nama calon presiden dari partainya. Ia berkukuh pengumuman nama dilakukan setelah pemilu legislatif pada 9 April mendatang. "Selama ini, media selalu 'menolakbelakangkan' antara partai dan seseorang yang tingkat elektabilitasnya tinggi," katanya. Mega mengingatkan, partailah yang memegang peran penting dalam pencalonan satu tokoh. Sebab, "Bagaimanapun, ketika orang ini tinggi elektabilitasnya, kami dari partai adalah penggerak tim, dari bawah sampai ke simpatisan," ujarnya. Publik mafhum yang dimaksud Mega sebagai "orang yang elektabilitasnya tinggi" itu adalah Jokowi.
April masih tiga bulan lagi. Kelompok-kelompok yang mendukung skenario kesatu, kedua, dan ketiga akan terus "bergesekan", merapat ke Jokowi atau Mega, hingga orang nomor satu partai banteng ini mengumumkan calon presiden partainya: dirinya sendiri atau si "Satria Piningit".
Widiarsi Agustina, Jobpie Sugiharto, Kartika Candra, Wayan Agus Purnomo (jakarta), David P. (Surabaya), Nofika (Ngawi), Addi M. (Yogya)
Sigi Berkata
Hingga akhir 2012, PDIP tak punya calon presiden yang menjanjikan. Lalu datang Joko Widodo. Berikut ini perjalanan Jokowi dalam berbagai sigi sepanjang 2012-2013.
16-24 Januari 2012
Lembaga: CSIS
Topik: Popularitas di 23 provinsi
1. Megawati 91,6%
2. Jusuf Kalla 84%
3. Wiranto 73,9%
4. Prabowo Subianto 65,9%
5. Hamengku Buwono X 62%
14-24 Mei 2012
Lembaga: Soegeng Sarjadi Syndicate
Topik: Popularitas (33 provinsi)
1. Prabowo Subianto 25,8%
2. Megawati 22,4%
3. Jusuf Kalla 14,9%
4. Aburizal Bakrie 10,6%
5. Surya Paloh 5,2%
10-24 Agustus 2012
Lembaga: Lembaga Survei Nasional
Topik: Popularitas (33 provinsi)
1. Megawati 95,9%
2. Jusuf Kalla 94,6%,
3. Wiranto 91,7%
4. Prabowo Subianto 87,1%
5. Aburizal Bakrie 84,6%
6. Joko Widodo 80,8%
13-18 Januari 2013
Lembaga: Pusat Data Bersatu
Topik: Elektabilitas (30 provinsi)
1. Joko Widodo 21,2%
2. Prabowo Subianto 18,4%
3. Megawati 13,0%
4. Rhoma Irama 10,4%
5. Aburizal Bakrie 9,3%
1-8 Maret 2013
Lembaga: Lembaga Survei Indonesia (LSI)
Topik: Calon presiden potensial
1. Joko Widodo 35,2%
2. Jusuf Kalla 21,2%
3. Hatta Rajasa 17,1%
4. Mahfud Md. 15,1%
5. Suryadharma Ali 2,9%
9-16 April 2013
Lembaga: CSIS
Topik: Calon presiden 2014 (31 provinsi)
1. Joko Widodo 28,6%
2. Prabowo Subianto 15,6%
3. Aburizal Bakrie 7%
4. Megawati 5,4%
5. Jusuf Kalla 3,7%
13 April-20 November 2013
Lembaga: CSIS
Topik: Elektabilitas calon presiden (33 provinsi)
1. Joko Widodo 34,7%
2. Prabowo Subianto 10,7%
3. Aburizal Bakrie 9%
4. Wiranto 4,6%
5. Jusuf Kalla 3,7%
6. Megawati 3,3%
12-18 Agustus 2013
Lembaga: Lembaga Klimatologi Politik (LKP)
Topik: Elektabilitas capres
1. Joko Widodo 19,6%
2. Wiranto 18,5%
3. Prabowo Subianto 15,4%
4. Jusuf Kalla 7,6%,
5. Aburizal Bakrie 7,3%
6. Megawati 6,1%
10-31 Mei 2013
Lembaga: Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI
Topik: Elektabilitas
1. Joko Widodo 21,2%
2. Prabowo Subianto 14,2%
3. Aburizal Bakrie 9,4%
4. Megawati 9,3%
5. Jusuf Kalla 4,2%
11-18 Juni 2013
Lembaga: Pusat Data Bersatu
Topik: Elektabilitas (30 provinsi)
1. Joko Widodo 30,68%
2. Jusuf Kalla 18,29%
3. Hatta Rajasa 8,46%
4. Dahlan Iskan 6,32%
5. Mahfud Md. 3,93%
Terbelah, Akankah Pecah
Jakarta
- Relawan Pembela Demokrasi
- Projo
Jawa Tengah
Barisan Pro Mega
Yogyakarta
Gong Jokowi
Jawa Timur, Blitar
Barisan Pro Mega
Jawa Timur, Surabaya
Relawan Jokowi Presidenku
Sumber: Wawancara/Berbagai Sumber Jobpie S., Muhyiddin, Evan, Driyan (PDAT), Yosep
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo