Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sampah yang lain

Sampah organik bisa diproses menjadi kompos. cpis (pusat riset antar-disiplin dan konsultasi kebijaksanaan) membuat proyek produksi kompos. sejumlah sampah didaur ulang menghasilkan pupuk tanaman.

11 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang ibu di kawasan Cinere, Jakarta Selatan, punya dua kotak sampah di muka rumahnya. Yang satu khusus untuk membuang sampah organik, semacam sayur-sayuran dan kulit buah. Yang satu lagi untuk membuang limbah anorganik yang sukar larut di alam, seperti kantong plastik, kertas, dan botol. Mengapa? "Saya meringankan kerja mereka yang mengurusi sampah kita," kata ibu seorang putra itu. Sehari-hari, ia bekerja seba gai peneliti masalah sosial di Jakarta, termasuk sampah. Benar. Ibu berusia 33 tahun ini memang mempercepat kerja pemulung dan petugas Dinas Kebersihan DKI. Masing-masing sudah diperjelas jatahnya. Yang pemulung tinggal mengorek sampah anorganik, petugas kebersihan mengambil barang di kotak yang satu lagi. Secara estafet, sampah organik yang volumenya 3.750 4.500 ton per hari akan sampai ke 900 loka si pembuangan sampah sementara (LPS). Dari sini, sampah diangkut ke Bantar Gebang, Bekasi, tempat pembuangan sampah akhir (LPA) DKI, di tanah seluas 108 hektare. "Untuk tiap ton sampah organik yang diangkut di perlukan biaya Rp 20 ribu," kata Budihardjo, kepala Dinas Kebersihan Pemda DKI. Alangkah baiknya apabila sampah yang biaya pengangkutannya cukup mahal itu bisa dimanfaatkan seperti sampah anorganik. Dan inilah yang sedang diusahakan. Pertengahan Desember lalu, 10 anggota DPR Komisi APBN dibawa Budihardjo ke wilayah Utan Panjang, Harapan Mulya, Jakarta Pusat. Budihardjo memperlihatkan proyek percobaan CPIS (Pusat Riset Antar Disiplin dan Konsultasi Kebijaksanaan) dengan Dinas Kebersihan DKI, yang dibina sejak 1986. Inilah UDPK (Usaha Daur Ulang dan Produksi Kompos). Di tempat ini, tak jauh dari lokasi pembuangan sementara, ada proyek produksi kompos pupuk organik untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah. Fungsinya seperti humus. Bahan baku kompos itu tak lain sampah organik. Beberapa anggota DPR menutup hidung selagi mendengar penjelasan Ir. Iman Juwono, staf peneliti senior CPIS. Maklum, bau sampah di situ menusuk hidung. Tapi Iman tampaknya sudah akrab dengan bau itu. Dengan tenangnya, arsitek lulusan Belanda itu mendekati sampah yang telah diatur menyerupai gunungan-gunungan kecil seberat 2-3 ton per tumpukan. "Kompos dibuat dari sampah organik yang lembek," kata Iman sambil menciduk sampah. Langkah pertama, untuk menyediakan bahan baku kompos ialah menyortir sampah. Beberapa jenis sampah disingkirkan, misalnya sabut kelapa, ranting pohon, dan kulit durian. Ini sampah organik yang keras, sulit dikomposkan. "Kalau ini sampah berbahaya," katanya sambil menujuk tabung penyemprot obat serangga, batang-batang, dan obatan-obatanan. Sampah seperti itu mengandung racun kimia, yang dapat mempengaruhi kualitas kompos. Jadi, harus diseleksi lalu dibuang. Proses pengomposanya itu tak memerlukan tambahan bahan kimia. Sampah hanya dibiarkan dalam tumpukan untuk memberi kesempatan bakteri dalam sampah itu melakukan pembusukan. Hanya diperlukan terowongan di bawah gunungan sampah sebagai penyalur udara agar bakteri mendapat cukup oksigen. Setelah proses pembusukan baru diperlukan ketekunan, karena suhu dan kelembapan sampah tadi harus dijaga. Kalau terlalu dingin (di bawah 45 derajat), bakteri menjadi "malas". Di sebaliknya, kalau suhu terlalu tinggi (di atas 65 derajat), bakteri pembusuk malah mati. Di samping itu, udara lembap diperlukan agar bakteri bekerja maksimal. Kalau sampah terlalu kering, dilakukan penyiraman. Proses pengomposan aktif ini makan waktu 40 hari, 5 hari di antaranya suhu dibiarkan tinggi, 50-65 derajat, untuk membunuh bakteri penyakit. Setelah itu, kompos didiamkan dua minggu agar matang sempurna. Seluruhnya makan waktu 54 hari. "Bila proses ini dilakukan secara benar, kompos tak lagi berbau dan bebas penyakit. Aman dipegang dengan tangan," kata Iman. Sebagian anggota DPR mengangguk-angguk. Mereka mendapat oleh-oleh masing-masing 3 kg kompos ketika meninggalkan Utan Panjang. Menurut Budihardjo, Dinas Kebersihan Pemda DKI pernah membuat kompos untuk menanggulangi masalah sampah. "Tapi mengalami kesulitan dalam pemasarannya." Karena itu, proyek ini dicoba kembali oleh CPIS setelah melihat prospek pemasaran yang lebih luas. Dulu, penggunaan kompos terbatanya bagi pencinta tanaman. "Padahal kompos bisa dijadikan makan n ikan, udang, dan baik untuk merimbunkan rumput di lapangan golf," kata Darwina S. Wismoyo, staf peneliti CPIS. Pembuatan kompos bukan sekadar usaha, karena punya beberapa aspek. Selain aspek ekonomis, juga punya aspek sosial dan aspek lingkungan (menanggulangi pencemaran lingkungan). Percobaan UDKP, awalnya, dicoba di dekat Kebun Binatang Ragunan, Pasar Minggu. Tapi kini CPIS dan Dinas Kebersihan menumpangkan proyek ini pada lapak yang dianggap berpikiran progresif seperti lapak Mardjoko (lihat bagian I). Djoko diminta menjadi manajer proyek Kompos di Utan Panjang sejak Februari 1980. Separuh dari modal 9,5 juta disuntikkan Departemen Keuangan. Sisanya dari kredit BRI. Dalam tempo enam bulan, proyek Utan Panjang yang menyerap 8 tenaga kerja itu menghasilkan 48 ton kompos. "Kami memang tidak bermaksud memecahkan seluruh masalah sampah di Jakarta," kata Iman. "Tapi bila UDPK bisa dijalankan di tiga tempat di 250 kelurahan di Jakarta, seperempat masalah sampah di Jakarta terselesaikan." Proyek percobaan di Utan Panjang sekarang ini masih jauh dari target out put yang 6 sampai 7 kuintal per hari. Ongkos produksi pembuatan kompos ini Rp 100 per kilo. Setengah ongkos ini untuk membayar upah pekerja. Di pasaran, kompos halus 3 kg dijual Rp 1.000 dan kompos kasar 40 kg dijual Rp 5.500. Dalam waktu dekat, kedua kotak sampah ibu di Cinere tadi bisa bermanfaat. Bukan hanya sampah yang menampung botol plastik. Sampah yang bau juga punya peluang ekonomis. BSU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus