MEMANG memprihatinkan. Sementara seni tari dan karawitan Bali tersohor di mancanegara dan digandrungi wisatawan asing, penghargaan buat para seniman itu sedemikian kecilnya. Upah yang mereka terima dari hotel-hotel berbintang di kawasan Sanur, Nusa Dua, dan Kuta hanya cukup untuk membeli bedak. Sudah terbanting secara ekonomi, harga diri mereka pun diremehkan. Rombongan seniman itu diangkut dengan truk terbuka -- kendaraan yang secara resmi tak layak mengangkut manusia. Kisah duka yang sudah berlangsung lama ini makin menyesakkan dada kalau mendengar penuturan Ida Bagus Pangjaya, Humas Pemda Bali. Pangjaya bercerita bahwa karena truk yang mengangkut seniman itu tak dapat melewati pekarangan depan hotel -- dianggap tak sesuai dengan kemegahan hotel -- truk dihentikan jauh dari lokasi hotel. Biasanya di perkebunan di belakang hotel. Nah, satu-persatu penari yang konon berparas cantik dan ganteng itu turun dari truk. "Persis menurunkan sapi-sapi saja," kata Pangjaya. Gubernur Bali, Ida Bagus Oka rupanya tak tahan juga melihat penderitaan ini. Atau boleh jadi, Pak Gubernur sebenarnya tak tahan dengan kritikan banyak orang yang menganggap membiarkan para seniman ini hidup melarat di tengah gemuruhnya kepariwisataan di Bali. Maka, Gubernur mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada semua hotel dan restoran di Bali, tertanggal 11 November 1991 -- tapi, baru diketahui secara luas akhir tahun lalu. Yang penting dari surat edaran ini adalah Gubernur mengimbau para pengelola hotel dan restoran di Bali agar membayar upah setiap penari paling minim Rp 10 ribu. Para penabuh yang mengiringi tarian itu dibayar minimum Rp 7.500 per orang. Agar pihak hotel tidak nakal, pergelaran tari ini tidak boleh diiringi tabuh yang direkam dalam kaset. Ketentuan lain, hotel dan restoran yang menggelar pertunjukan itu harus menyediakan tempat berhias yang cukup -- artinya tidak di halaman hotel, di bawah pohon kelapa -- dan seniman diangkut dengan kendaraan yang pantas, bukan truk terbuka. "Ini baru langkah awal untuk meningkatkan taraf hidup seniman itu," kata Pangjaya kepada Silawati dari TEMPO. Sebagai langkah selanjutnya, pemerintah mengharapkan para seniman itu membuat semacam organisasi yang lebih memperhatikan kesejahteraan mereka. Lewat organisasi itulah mereka berhubungan dengan hotel dan restoran. Jadi, meniadakan peran penghubung alias calo. Calo dalam kaitan ini, yang menghubungkan grup tari dengan pihak hotel, biasanya memakai nama sanggar. Hotel dan restoran sebagai penanggap tahunya berurusan dengan sanggar. Berapa pihak hotel mengeluarkan uang? "Satu paket pergelaran dibayar antara Rp 350 sampai Rp 400 ribu," kata Anak Agung Ngurah Oka, pemilik Sanggar Putri Jenggala di Denpasar, sanggar yang paling banyak memasok grup tari ke hotel-hotel di Sanur, Nusa Dua dan Kuta. Dengan harga sebesar itu -- sama dengan honor seorang penyanyi pemula untuk satu dua lagu -- Ngurah Oka (terakhir) hanya mampu membayar seorang penari maksimal Rp 7 ribu per orang. Jumlah ini memang masih di bawah angka minimum yang ditetapkan dalam surat edaran Gubernur Bali. Namun, bagi Ngurah Oka, jumlah itu sudah termasuk cukup. "Coba, mana ada orang kerja dengan upah Rp 7 ribu dalam waktu sepuluh menit," kata Ngurah Oka kepada Putu Fajar Arcana dari TEMPO. Artinya, orang seperti Ngurah Oka yang sudah puluhan tahun mengelola sanggar ini, menghargai seorang seniman tari hanya dari lamanya waktu yang dihabiskan untuk satu pertunjukan. Tentang bagaimana seniman itu berlatih, mengembangkan wawasan seni, dan menghargai profesi, sama sekali tak masuk catatan. Ngurah Oka sudah termasuk "dermawan" karena ternyata ia dapat menyebut beberapa sanggar yang masih membayar upah penari sekitar Rp 2 ribu per orang. "Dan penari itu masih diangkut dengan truk," kata Ngurah Oka. Ia sendiri sudah menaikkan derajat para seniman tari dengan mengangkutnya memakai colt diesel. Tentu sudah ada sanggar yang dapat membayar upah sesuai edaran Gubernur. Misalnya, Sanggar Warini yang dipimpin penari Arini Alit. "Rata-rata honor penari sudah Rp 10 ribu, kecuali untuk penari anak-anak honornya hanya Rp 2 ribu sampai Rp 5 ribu," kata Arini. Untuk itu, sanggar yang juga punya kursus tari ini memasang tarif ke hotel-hotel antara Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu. Menurut Arini, harga ini bagi hotel kemahalan sehingga ia tak dapat seproduktif Sanggar Putri Jenggala. "Kalau hotel keberatan dengan tarif itu, ya, sudah," kata Arini lagi. Sayangnya, para manajer hotel di Bali agak tertutup untuk keterangan yang satu ini. Tak jelas, mengapa mereka membuat anggaran yang begitu kecil untuk kesenian tradisional sementara pariwisata di Bali disepakati sebagai pariwisata budaya. Apalagi kesenian itu boleh disebut tulang punggung hiburan di hotel-hotel mewah itu. Yang mau buka suara hanya Hotel Bali Beach Sanur melalui manajer humasnya, Joice Luthe. Kata Joice, HBB yang seminggunya mementaskan empat kali kesenian tradisional Bali, pihaknya sudah menaikkan anggaran untuk pos ini setelah ada edaran Gubernur Bali. Namun, berapa persisnya, Joice tak mau membeberkan. Sayangnya, surat edaran Gubernur hanya imbauan sehingga tak ada sanksinya. Dan menurut Pangjaya, memantau pun sulit, apakah hotel sudah mematuhi imbauan itu atau belum. Namun, bagi Dr. Made Bandem, pimpinan Listibya (Majelis Pertimbangan Kebudayaan) Bali yang juga Rektor STSI Denpasar, surat edaran itu sangat positif. Bahkan, perlu disebarluaskan ke desa-desa agar seniman mengetahui hak-haknya. Sementara kewajiban seniman untuk menggelar seni tari yang bermutu tetap dikontrol Listibya sebagai lembaga yang mengeluarkan Pramana Patram Budaya -- semacam SIM untuk menari yang mendatangkan upah. Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini