PUKUL 8 malam. Gamelan mulai bertalu. Tapi bunyi itu ternyata tak mampu mengundang orang. Kursi-kursi di gedung pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandowo, Semarang, tetap berbaris bisu. Baru sekitar pukul 9, tatkala pertunjukan pembukaan berupa tarian dimulai, beberapa orang muncul. Malam akhir Januari lalu itu Ngesti Pandowo menampilkan sebuah lakon carangan, Bambang Premujo. Cerita tentang Arjuna yang beralih rupa itu ternyata cuma mampu menarik sekitar 50 pengunjung. Umumnya mereka memilih kelas I yang tarifnya Rp 500. Dan begitu pertunjukan dimulai, tanpa mendapat aba-aba, penonton yang hampir seluruhnya orang tua itu melompat bergeser pindah ke kelas VIP yang berharga Rp 750. Si lelaki tua penyobek karcis, sambil bersandar ke pintu, berkata dengan suara datar, "Ya, memang begini keadaannya. Sepi. Malahan sering yang beli karcis cuma belasan. Kalau hujan deras sejak sore, kami tak main. Yang agak ramai cuma malam Minggu - atau kalau pertunjukan ketoprak, setiap Senin dan Kamis." Menurut kamusnya: penonton agak ramai = di atas 100 orang penonton ramai = di atas 200 orang. Sedang kapasitas gedung itu 1.000 orang. Seorang pria setengah umur, yang ternyata petugas Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya Semarang yang ada di situ, membenarkan. "Belakangan ini penonton memang sepi. Terpaksa pajak tontonannya tak kami pungut," ujarnya. Pajak itu besarnya 24%o dari pendapatan yang, malam itu, paling banyak Rp 25.000. Lalu, berapa seorang pemain menerima uang? Wanto, 44, aktor inti yang biasa memerankan Gatotkaca atau Cakil, mengaku "kalau ramai Rp 800, kalau sepi Rp 700." Pemain inti lain, Sriati, 42, yang pada 1967 terpilih sebagai aktris terbaik dalam Festival Wayang Orang se-lndonesia di Jakarta, menolak mengungkapkan berapanya. "Saya malu, sebab tidak cukup untuk kebutuhan hidup," katanya. Belakangan terungkap: jumlah Rp 800 itu memang sudah tertinggi. Yang terendah: Rp 300. Maklum, seluruh pemain dan awak Ngesti Pandowo berjumlah 90 orang. Pimpinan Ngesti, Sastro Sudirdjo, 71, mengaku sudah sejak 1970 mereka memasuki masa prihatin. "Dan semakin tahun kehidupan kami semakin merosot. Rata-rata tiap bulan kami harus menombok satu setengah juta rupiah," tuturnya. Ini yang menyebabkan ia, pada 1982, menjual seperangkat gamelan Ngesti seharga Rp 10 juta - kepada Kejaksaan Agung. Dengan girang Sastro kemudian menceritakan masa kejayaan Ngesti Pandowo 1949-1970. Mula-mula perkumpulan ini, yang didirikan Almarhum Sastrosabdo, iparnya sendiri, pada 1 Juli 1937, bermain keliling dari kota ke kota di Jawa Timur. Biasanya, mereka mentas di bangunan sementara yang mereka dirikan di alun-alun. Pada 1942 mereka mengalihkan daerah operasi ke Jawa Tengah. Dan sejak 1949 menetap di Semarang, menempati gedung milik Yayasan Gris di Jalan Pemuda. Yayasan ini sekarang berhak memperoleh Rp 20 dari setiap karcis yang terjual. "Waktu masih jaya itu kami sempat membeli gamelan, kostum baru, dan malahan juga 2,5 hektar tanah guna kompleks perumahan," tutur Sastro. Para pemain, di samping memperoleh imbalan yang cukup, juga mendapat berbagai santunan lain - termasuk bantuan pengobatan dan uang sekolah anak. Tapi semuanya kini tinggal kenangan. Toh kehidupan Ngesti Pandowo sekarang, menurut Sastro, "agak sedikit ringan." Sesudah mendengar teriakannya pada 1982, setelah mereka terpaksa menjual gamelan, banyak tangan terulur menolong. Atas permintaan gubernur Jawa Tengah, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah memberi subsidi pembayaran listrik Rp 350.000 sebulan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga memberi bantuan bulanan kepada 28 senimannya, antara Rp 7.500 dan Rp 20.000 per orang. "Kami sekarang bisa bernapas lagi," katanya. Tidak demikian halnya dengan sebuah perkumpulan lain, tetangga sekota Ngesti Pandowo, yakni Wayang Orang Sriwanito. Yang ini tetap tersengal-sengal. "Belakangan ini hanya tiap malam Minggu kami main," kata Katijah, 60, yang ditemui di asramanya di belakang Pasar Dargo, Semarang. Katijah biasa memerankan embok emban (abdi putri) dengan upah kalau main Rp 125. Imbalan sebesar ini bisa dimaklumi. Primadona Sriwanito saja, Suparti, 25, yang biasa memainkan tokoh Arjuna, cuma menerima Rp 140. Sugiyo, yang di panggung biasa bersalin rupa menjadi Dursasana atau Burisrawa, Rp 125. Sebab itu di siang hari bapak lima anak ini bekerja sebagai tukang kayu atau batu. "Pekerjaan apa saja, sejauh saya bisa," kata pria yang sudah 20 tahun menjadi warga Sriwanito itu. Penampilan Sriwanito sendiri "seadanya". Kostum mereka umumnya tua dan kusam, seperti juga asrama mereka yang dihuni 45 orang. Toh di panggung terlihat sekali keinginan mereka untuk menghibur - padahal "belakangan ini, untuk menghibur diri sendiri saja rasanya sulit sekali." Itu kata Sudawi, 45, ibu Pelawak Basuki dari Srimulat. Di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya, yang sudah dua tahun ini dipugar - tapi entah kapan bisa kelar - bercokol perkumpulan wayang orang lain: Sriwandowo, yang mulai bermain di situ sejak 1962. Keadaan Sriwandowo saat ini bisa disimpulkan dari ucapan Dasri, 52, pensiunan pegawai BAT yang sudah 20 tahun bekerja sebagai penyobek karcis di sini. Sembari menenggak botol 7-Up yang berisi air tawar, Dasri berkata, "Tengok saja ke belakang panggung. 'Kan di situ tidak ada minuman teh, kopi, atau rokok." Di belakang panggung memang tak terlihat rokok, kopi, atau teh. Mereka minum air putih, dan merokok ketengan - kadang-kadang. Beberapa orang pemain dalam kostum peran raksasa terkantuk-kantuk bersandar di pilar, menunggu giliran. "Kami ini buto (raksasa) yang kurang darah," kata salah seorang, yang giginya mencuat mirip topeng Bali. Dekor Sriwandowo yang lima lapis itu tak kelihatan cemerlang meski lampu panggung yang 1.500 wat menyorot kuat. Selama sekitar dua jam pertunjukan, entah berapa kali sistem pengeras suara berdengung atau kena storing. Untuk menggambarkan hutan belantara, cukup dipasang beberapa pot akasia yang diambil dari taman THR yang berantakan. Hampir seluruh kostum lusuh dan butut. Malam itu Iakon yang dipertunjukkan Samba Rajah. Dan tujuh pemain senior ternyata membolos. "Itu biasa. Alasannya tidak enak badan," kata seorang pengurus. Di panggung sendiri tampak mereka bermain seadanya di depan penonton yang hanya belasan orang. Burung garuda, yang seharusnya perkasa, kelihatan sempoyongan tatkala harus "memanggul" raja dalam suatu adegan. Batara Narada, begitu permainan selesai, langsung menuju pintu samping - membeli singkong rebus. "Sudah masuk angin, telat makan," ujarnya sembari kremus-kremus, masih dalam seragam Naradanya. Untuk permainannya malam itu ia memperoleh Rp 500. Lumayan. Sebab, pemain figuran, seperti raksasa, cuma mendapat Rp 300. Honorarium pemain inti Rp 650. Yang membolos dapat juga: Rp 150. Mengapa penonton Sriwandowo sepi? Hampir semua pemain yang ditanya menuding pemugaran THR yang tak kunjung selesai sebagai salah satu penyebab. "Banyak yang tidak tahu bahwa Sriwandowo masih main tiap malam," kata seorang di antaranya. Dasri, penyobek karcis yang tadi, mempunyai alasan lain. "Wayang orang sekarang memang amblek," katanya. Sepinya pertunjukan mereka, menurut dia, karena khalayak kini tak menyukai tontotan serius. "Lihat saja bioskop. Yang laris 'kan film Warkop Prambors." Untuk tontonan panggung, orang lebih menyukai Srimulat. "Itu seni kocak. Di samping itu, cewek-ceweknya cakep dengan polesan salon." Sedang di Sriwandowo, katanya, sejak zaman Nabi Adam sampai sekarang anak wayang tetap saja memoles wajah dengan siwit (zincwhite, serbuk cat). Solo dan Yogyakarta disebut sebagai kota budaya. Dan hari Selasa 24 Januari itu Wayang Orang Sriwedari, Solo, menampilkan Kresna Malang Dewa dengan pemain top Rusman. Gedungnya yang mampu menampung 900 orang malam itu cuma dikunjungi 39 pembayar karcis, semuanya di kelas I yang harganya Rp 200. Dan dari sekitar tiga lusin pengunjung itu, ternyata 14 datang karena nadaran alias kaul. "Baru malam ini saya melihat wayang di Sriwedari. Saya bukan penggemar wayang, meskipun bukan tak senang. Malam ini keluarga kami sedang nadaran," ujar Ny. Mitro, yang datang dari Cilacap. Ariyanto, 13, cucunya, punya permintaan kepada sang nenek: jika dikhitankan ternyata tidak sakit, dan cepat sembuh, ia minta diajak ke Solo dan menonton Wayang Orang Sriwedari. John Chesnine dan Sue Campion, dua mahasiswa Universitas Deakin, Australia, malam itu terselip di antara pengunjung. "Saya menonton bukan karena iseng. Kami memang ingin menyaksikan pertunjukan tradisional Indonesia," kata Sue. Kesan mereka? "Halus, segalanya dilakukan dengan hati-hati," sahut John. Malam itu, sekalipun penonton sedikit, Rusman dan kawan-kawan tampil serius. "Demi nama baik Sriwedari," kata Rusman. Menurut Daliman, penjaga pintu, rata-rata jumlah penikmat "cuma dua baris kursi". Paling banyak 40 orang. Malam Minggu memang bisa lumayan, sampai sekitar separuh kapasitas gedung. Baru pada perayaan Sekaten, gedung pertunjukan penuh sesak. Sebagian besar penontonnya masyarakat desa. Tapi, kosong atau penuhnya pengunjung tak mempengaruhi pendapatan pemain. Sebab, Wayang Orang Sriwedari milik pemerintah daerah Solo, honorarium pemain tiap malam - apa pun peranannya tetap Rp 500, ditambah Rp 3.000 sebulan dari Bantuan Presiden. Hanya para pemain top Rusman, Darsi, Surono, dan Nanik memperoleh "tunjangan kesenian" Rp 50 setiap manggung. "Memang begitulah peraturannya," kata Bimo Sudjijo ketika ditanya tentang ketentuan yang aneh ini. Susutnya penonton Sriwedari, menurut Bimo Sudjijo, ketua seksi pertunjukannya, terutama karena saingan televisi dan video. Walaupun demikian, Tohiran Sastrokusumo, 62, yang pernah memimpin Sriwedari 1954-1968 berpendapat lain. Ia melihat perlunya perombakan total. Agar wayang orang bisa dekat lagi dengan publiknya, perlu ada pengelola kreatif yang berani melakukan perubahan. "Yang diubah: teknik panggung, kepadatan cerita, akting, dan gruping pemain. Hingga selalu aktual," ujar Tohiran, yang kini memimpin kursus tari terbesar di Solo. Tapi Solo ternyata lebih mendingan dibanding Yogya. Sekarang ini, bila orang memasuki gedung pertunjukan Wayang Orang Wiromo Budoyo di kompleks THR, cuma gelap dan bau pesing yang akan menyambutnya. Sejak 6 Desember lalu, kegiatan kelompok ini mandek. "Kami tak bisa naik pentas lagi karena listrik dicabut," kata Rajiman, 49, yang memimpin grup ini sejak berdirinya pada 1970. Berbagai upaya telah dilakukan: mengadu ke Pemerintah Daerah, instansi Pendidikan dan Kebudayaan, serta para simpatisan. Tapi, listrik mati, ya, mati. Padahal, yang mereka butuhkan untuk manggng cuma 700 wat. "Itu sudah sangat ngirit," kata Tukiran, salah seorang anggota Wirorno Budoyo. Diputusnya aliran listrik karena menunggak pembayaran ini merupakan jotosan kesekian kalinya buat mereka. Sejak i975 jumlah penonton mereka memang sudah merosot, dari sekitar 50 orang menjadi cuma sekitar 10 orang dalam dua tahun terakhir. Wiromo Budoyo memasang karcis kelas I Rp 500 dan kelas ll Rp 300. Tarif ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan harga karcis bioskop di Yogya. Tapi kecilnya jumlah penonton tampaknya juga karena letak THR terpencil, gelap, dan kurang hidup di waktu malam. Gedung pertunjukannya sendiri "mengharukan": papan panggung lapuk, kain layar kumuh, robek di sana-sini. Seng atap gedung pada berlubang. Beberapa bangkai kursi bertumpuk di suatu sudut. Cuma sebuah lampu neon 20 wat menerangi ruangan, membuat bayangan dan suasana yang lebih suram. "Lampu itu berkat kebaikan pemilik bioskop THR yang mau membagi listriknya," kata Tukiran, sambil menunjuk bioskop yang letaknya 30 meter sebelah timur Wiromo Budoyo. Meski begitu, sekitar 50 anggota mereka yang kebetulan tinggal di kompleks ini masih utuh. Sehari-hari mereka bekerja sebagai buruh bangunan, kernet bis kota, tukang becak, atau tukang loak. Yang agak membantu, mereka masih menerima subsidi pemda Yogyakarta - Rp 212.500 sebulan. Yang Rp 200.000 mereka bagi sebagai insentif buat 50 orang, sisanya untuk biaya perawatan. Sebelum listrik dicabut, mereka bisa memperoleh tambahan dari penjualan karcis sekitar Rp 80.000 sebulan. Yah, sudah hampir tamatkah kehidupan wayang orang? Jakarta adalah ibu kota dengan lebih dari enam juta penduduk, dan sekitar sepertiganya berasal dari atau keturunan Jawa. Di sini ada dua panggung tetap untuk jenis teater ini. Yang agak mengherankan, keduanya ternyata lebih banyak mempunyai penonton dibanding rekan mereka di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ngesti Widodo, misalnya, yang berlokasi sekitar 200 meter dari Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Nama terakhir itu, yang biasa dipanggil Kramtung, konon kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara - dengan 6.000 WTS. Meski baru dibangun pada 1972, dan diperbaiki pada 1980, gedung Ngesti Widodo tampak tua dan lesu. Bagian depannya, dinding tembok putih, tampak lusuh. Kursi-kursi terbuat dari kayu kasar yang dicat biru. Lantainya yang dari semen penuh lubang. Dinding dalam gedung yang berkapasitas 400 penonton dan berukuran sekitar 14 x 30 meter itu dilapisi karton keras warna biru muda, dinodai rembesan air hujan. Kesan menyedihkan lebih didapat jika menengok tempat tinggal para pemain yang sekitar 40 orang itu. Mereka berdiam di sebuah bangunan tua dari papan, berlantai tiga, dengan 15 kamar. Letaknya di sisi kanan gedung. Lantai papannya tampak kegitu tua dan reyot, tanpa disangga tiang beton, hingga begitu menginjaknya orang bisa dihinggapi rasa khawatir terjeblos. Sebuah ruangan berukuran 4x4 meter, di sisi panggung, dipergunakan untuk berdandan, menyimpan pakaian wayang, menunggu giliran, dan sekaligus dapur. "Biar bagaimana, keadaan sekarang jauh lebih baik. Dulu, sebelum tahun 1980, semuanya dari kayu yang sudah reot." Itu kata Ny. Sujiati, 54, pemilik Ngesti Widodo. Sebelum sampai pada keadaan yang "jauh lebih baik" itu, Ngesti Widodo sudah menempuh jalan panjang yang muram. D. Santoso, 44, adik Ny. Sujiati yang ikut mengelola grup ini, berkisah, "Kami mulai dengan pakaian dan perlengkapan wayang dari kardus. Waktu itu tahun 1972. Sebagian pemain kami sebelumnya bermain di Cahyo Kawedar, perkumpulan keliiing yang berasal dari Bekasi yang bangkrut sekitar tahun 1966. Keadaan kami baru membaik di tahun 1975 tatkala mendapat kredit dari BRI sebanyak Rp 1 juta. Tahun 1978 kami kembali mendapat kredit Rp 15 juta." Meski mengidap penyakit paru-paru, Ny. Sujiati lebih suka mengelola Ngesti Widodo sendiri. "Di sini tidak ada sekretaris atau bendahara. Semua saya tangani sendiri. Bahkan, dalam menentukan cerita, halus atau kasarnya dialog, juga saya kerjakan sendiri. Kalau perlu, saya ikut menari atau menabuh gamelan," ujar ibu yang mengaku tidak pernah belajar menari secara khusus ini. "Sejak kecil saya sudah tergila-gila pada cerita dan pertunjukan wayang. Hingga hanya cukup bertanya pada teman, saya lantas bisa," katanya. Cara ini, meniru penari yang mahir tanpa guru khusus, masih berlaku di Ngesti Widodo. Yuliastuti, yang berusia 17 tahun, misalnya. Cewek ini pindah dari Malang ke Jakarta mengikuti bu lik (bibi) yang pernah menjadi anak wayang. "Saya tidak pernah menari sebelumnya. Hanya suka nonton wayang. Kemudian meniru gerakan tarian," ujar Yuli, yang dibenarkan beberapa temannya. Yuli termasuk pemain yunior. Gajinya saja baru Rp 150 semalam. Untunglah, jumlah ini tak membuat kecil hati Yuli, juga beberapa pemain remaja lain, seperti Tri, 18, dan Dewi, 18, yang bernasib sama. "Makan nggak makan asal kumpul! Di sini kami senang, bisa berkumpul, banyak tertawa, dan awet muda. Kalau di rumah, tidak betah," kata mereka bersahut-sahutan. Wajah mereka cerah. Di Ngesti Widodo, penari senior memperoleh Rp 300 semalam. Bayaran tertinggi Rp 600 - untuk yang bisa menari, mendalang, dan memainkan gamelan sekaligus. "Kalau hanya mengandalkan penghasilan dari Ngesti Widodo, mana bisa hidup. Saya bertahan di sini semata-mata karena sudah melebur," ujar Dul Rachman, 50, yang sudah bermain di Ngesti 12 tahum Penghasilan tambahan diperolehnya dari pekerjaan sebagai guru tari di beberapa SLA dan akademi di Jakarta. Menurut Ny. Sujiati, tidak sulit merekrut anggota baru. "Saya tidak pernah mencari pemain. Dari dulu, yang namanya pemain wayang selalu datang sendiri. Dan kebetulan tidak pernah ada yang saya tolak. Tidak ada manusia yang tidak bisa diajari," ujarnya. Dari sekitar 40 anak wayangnya, 22 wan ita dewasa dan delapan remaja. Ny. Sujiati optimistis. Harga karcis ditetapkannya: kelas I Rp 500, kelas ll Rp 300. "Setiap hari rata-rata terjual seperempat sampai setengah isi gedung. Penontonnya kebanyakan orang Jawa yang tinggal di sekitar Tan jung Priok sini. Tapi banyak juga yang bukan Jawa. Malah sering ada pelaut Jepang atau bule yang nonton," katanya. Kalau sedang ramai, banyak penonton yang melempar hadiah ke panggung: kosmetik, rokok, uang, sampai kaca mata dan baju. "Pemain putri kami jarang membeli kosmetik. Cukup dari lemparan penonton itu." O, ya? Pada 25 Januari lalu, Ngesti Widodo mementaskan Mustokoweni Edan. Pengunjung masih mengalir, bahkan setelah lakon berjalan satu jam. Sekitar 150 orang membeli karcis. Di tengah permainan, beberapa bungkusan dilemparkan ke panggung. Satu di antaranya ternyata permintaan lagu. Tokoh Gareng, yang membuka amplop itu, langsung menyanyikah nomor yang diminta. Dua bungkusan lain, karena terbuat dengan rapi dan beralamat, hanya dipinggirkan para penari untuk disampaikan nanti kepada orangnya. Caranya meminggirkan: dengan sabetan-sabetan kaki, waktu menari. Wayang Orang Bharata, yang berpangkalan di Jalan Kalilio, Senen, Jakarta Pusat, mungkin perkumpulan yang paling makmur di Indonesia. Dari harga karcisnya saja terlihat "kelas"-nya. Kelas utama Rp 2.500. Kelas I Rp 2.000. Kelas II Rp 1.500. Menurut Supangat, sekretaris yayasan, rata-rata jumlah pengunjung tiap malam dua pertiga dari kapasitas 500 orang. Bharata memang terpelihara. Dari gedung, kostum pemain, sampai dekor, dan lampu, tampak rapi. Para penabuh berpakaian seragam Jawa, tidak seperti di Ngesti Widodo yang kebanyakan cuma memakai kaus oblong. Para pemain pun rata-rata menguasai tari dan antawecana, dialog. Mereka umumnya juga punya suara yang baik untuk bisa membawakan suasana yang diperlukan. Dalam adegan perang, jelas Bharata berusaha memenuhi selera masa kini: gerak mereka berlandaskan pencak silat, yang tampaknya memang mereka kuasai. Kesejahteraan para pemain juga lebih baik dibanding pada rekan mereka di daerah. Di sini berlaku tiga penggolongan honor mingguan. Seorang pemain prajurit, yang biasa disebut bala dupakan, tergolong kelompok C dengan gaji Rp 1.500 sehari. Adapun golongan B Rp 2.000. Sedang golongan A, yang dianggap ahli, menerima Rp 3.000. Para aktor itu di siang hari kebanyakan bekerja sebagai pegawai negeri atau pelatih tari. Maharsono, misalnya, yang pertama menari di panggung bersama Ngesti Pandowo, adalah pegawai golongan II a di BAKN. Selain itu mengajar menari di beberapa tempat, dengan honorarium Rp 3.000 sampai Rp 50.000 sebulan. Para pemain Bharata diizinkan bermain atau menari di luar. Kies Slamet sering diminta menari di Istana Negara, TMII, atau sebuah pesta. Untuk kerja sambilan ini, Kies, yang sudah bermain dalam 21 film (antara lain Kartini dan Roro Mendut) biasa memasang tarif Rp 100.000. "Saya sudah betah di Bharata," kata Kies. Maklum. Bharata, dengan awak sekitar 110 orang, mungkin juga satu-satunya perkumpulan wayang yang menyediakan perumahan layak. Mereka mempunyai padepokan Bharata, suatu kompleks 68 rumah di Sunter, Ancol, yang dibeli secara angsuran oleh para karyawan. Lebih penting, tidak semua pengunjung Bharata orang tua. Gugun, 15, pertama kali dibawa menonton oleh eyang kakung (kakek) beberapa tahun lalu. Ia hafal nama semua tokoh wayang dari komik. Sekalipun tidak bisa bicara dalam bahasa Jawa, ia mengaku, syukurlah, bisa menangkap semua dialog di panggung. Erlina, 26, menyatakan kecanduan nonton wayang orang di Bharata sejak pertama kali diajak orangtuanya sewaktu masih kuliah, beberapa tahun lalu. "Saya senang melihat kostum mereka yang gemerlapan. Filsafat yang terkandung dalam ceritanya juga menarik, lho," ujar ibu seorang anak ini. Lakon favoritnya: Sumantri Ngenger. Dua kali sepekan, Bharata mempertunjukkan ketoprak. "Agar para pemain tidak tegang," kata Supangat. Ketoprak adalah lakon dari sejarah atau babad, bukan dari Mahabharata atau Ramayana. Salah satu cara lain menyedot penonton: mengundang bintang tamu. Pernah diundang, misalnya, para pelawak: Bagio, Darto Helm, Jojon. Bahkan pemain pantomim Prancis, Pradel, pada suatu lakon ketoprak. Pertengahan Januari lalu diundang Gepeng dan Timbul dari Srimulat. Lakon yang disajikan: Petruk Dadi Ratu dan Rasatali-Talirasa. Harga karcis dinaikkan: kelas utama Rp 5.000, kelas I Rp 3.000, dan kelas ll Rp 2.000. Laris, Mas. Malam pertama penonton penuh, sampai ada yang berdiri. Di malam kedua, tiga perempat kursi terisi. Para pemain Bharata tampaknya sangat toleran pada kehadiran bintang tamu. Itu terlihat dari pancingan-pancingan humor yang mereka lontarkan. Dalam adegan di Pertapaan Keratatawu, pada lakon Rasatali-Talirasa, sebelum Abimanyu dan Gatotkaca berangkat menunaikan tugas, mereka berdialog dulu dengan para punakawan, yakni para pengiring yang lucu-lucu itu. Petruk, yang dimainkan Gepeng, yang hendak diberi uang oleh Abimanyu, maju ke depan. Tapi dasar Gepeng, ia tidak langsung menerima uang cuma menepuk-nepuk lutut Abimanyu sambil cengar-cengir. Penonton tertawa karena yang memerankan Abimanyu seorang wanita. Sang "kesatria" langsung merah mukanya, dan serba salah. Ia meminta Gatotkaca memberi pelajaran kepada Petruk yang kurang ajar. Si Gatot menjotos Petruk. Dan Petruk lantas berdiri, seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi begitu sampai di depan Gareng, ia jatuh tertelentang. Begitu bangun lagi, diciumnya tangan yang tadi dipakainya menepuk lutut Abimanyu. "Wangi, wangi," katanya. Penonton meledak. Mengapa Bharata, dan dalam ukuran yang lebih kecil Ngesti Widodo, bisa memperoleh lebih banyak penonton, dibanding para rekan mereka di daerah? Mengapa justru di Jakarta, dengan saingan begitu banyak hiburan dan tontonan lain? Apakah masyarakat Jawa di Jakarta, termasuk generasi kedua atau ketiganya, ingin mempertahankan akar budayanya, atau melepaskan rindu mereka akan "kampung halaman"? Ataukah karena ekonomi mereka relatif lebih baik? Penonton Ngesti Widodo, bisa diterka, umumnya datang dari kelas bawah. Dilihat dari segi penampilan, kelompok ini tak banyak menampilkan glamour, tricks, dan sex appeal. Toh dengan teknik dan kostum yang terbatas ini mereka mampu bertahan. Sedang langganan Bharata tampaknya kelas menengah dan atas. Selain suguhan tontonan yang memenuhi selera (lakon ketoprak, gerak silat, bintang tamu), juga kebijaksanaan mereka yang mengizinkan pemain "ngobyek" di luar perlu dicatat. Di samping itu tentu saja manajemen yang baik. Plus bantuan dari Pemerintah Daerah. Tapi yang juga penting, Bharata melaksanakan apa yang disebut "sirkulasi kasting". Para pemain diharuskan memainkan peranan berbeda-beda, kecuali punakawan. Hingga tidak ada idola atau bintang panggung. "Idola panggung memang perlu, tapi harus dipikirkan juga penggantinya," kata Retno Maruti, 37, pimpinan kelompok lain, Jaya Budaya. Sistem bintang panggung, menurut dia, bisa menyebabkan penonton cuma mau datang bila idolanya bermain. Di Bharata, Kies Slamet memang tidak selalu memainkan peran Gatotkaca. "Bharata punya dua cadangan Gatotkaca. Semua orang dapat bagian dan tidak merasa bersaing," kata Kies, yang kumisnya memang melintang bagai kumis Gatotkaca. Menurut dia, banyak wayang orang di daerah yang takut berkreasi. Gaya klasik tetap saja dipertahankan murni. Penonton disuguhi pertunjukan yang sama, karakter yang tetap. Peran Bima, Arjuna, atau Gatotkaca, dipegang pemain yang sama, hingga penonton hafal sekali. Akibatnya, tontonan tergantung sepenuhnya pada satu-dua-tiga orang. Wayang orang konon lahir di Keraton Yogyakarta. Ini menurut penelitian Dr. Sudarsono, direktur Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta. Setelah melakukan studi tiga tahun tentang topik ini, pertengahan tahun lalu Sudarsono meraih gelar doktor di Universitas Michigan, Amerika Serikat, dengan disertasi yang berjudul Wayang Wong in the Kraton Yogyakarta. Dulu, kata Mas Doktor, pertunjukan wayang wong merupakan ritus kenegaraan. "Wayang wong lahir sekitar 1758, setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani. Pemainnya dahulu terdiri dari tentara keraton," ujarnya. Gagasan adanya wayang orang timbul setelah terjadi pertengkaran Hamengku Buwono I dengan Paku Buwono I sampai III. Pertunjukan pertama, 1758, di Keraton Yogyakarta, mengambil lakon Gondo Wardoyo. Cerita itu secara simbolis menggambarkan pertentangan Hamengku Buwono I dengan Paku Buwono 1. Dan pertengkaran dapat didamaikan setelah keduanya diberi pengertian. Yang mendamaikannya Semar. Tragisnya, "Semar adalah lambang pendamai, dan itu dipakai sebagai simbol orang Belanda," ujar Sudarsono yakin. "Waktu itu peranan Semar selalu ditonjolkan. Karena perlambang Belanda." Menurut kajiannya, dulu pertunjukan diadakan dalam keraton. Bukan malam hari, melainkan dimulai tepat pukul 06.00, saat matahari terbit. Sang raja duduk di kursi menghadap ke timur. Menurut babad, Hamengku Buwono I yakin, Dewa Matahari identik dengan Wisnu yang merupakan penguasa jagat. Tidak, tidak ada pengaruh Jepang. Waktu itu Jepang 'kan belum kedengaran baunya. "Karena itu, raja Yogyakarta memakai gelar Hamengku Buwono, yang berarti memangku jagat. Raja mengambil model Wisnu." Pertunjukan di keraton itu boleh ditonton rakyat, Ini terlihat dari sebuah film dokunentasi yang tersimpan di Asia Society, New York, yang dibuat pada 1926. Di situ tampak puluhan ribu orang membanjir untuk ikut menonton. Saat itu wayang wong masih dianggap keramat. Pemain wanitanya saja masih dimainkan pria. Menurut Sudarsono, wayang orang baru keluar dari lingkungan Keraton Yogyakarta pada saat Hamengku Buwono surut kekuasaannya dan mangkat, 1930an. Sejak itu wayang wong hanya dipertunjukkan pada saat memperingati upacara ulang tahun keraton atau perkawinan putra-putri Istana. Berbarengan dengan itu keluar pula krido bekso, tarian keraton, yang lalu boleh dipelajari di luar Istana dan tidak termasuk tarian ritual. Sejuh mana versi Sudarsono itu benar? Yang jelas wayang orang juga dikembangkan di beberapa keraton lain, termasuk Mangkunegaran dan Keraton Surakarta. Mungkin sekali wayang orang jauh sebelum 1930 telah merembes ke luar tembok istana. Banyak pula versi yang menyebutkan adanya peranan beberapa orang Cina yang ikut mengembangkan gagasan mengkomersialkan wayang orang ini pada awal 1900-an. Kabarnya orang-orang Cina inilah yang mengubah pakaian wayang orang menjadi gemerlapan, memberinya dekor seperti teater Eropa, sehingga lahir cikal bakal wayang orang panggung yang sekarang. Wallahualam. Yang menarik, banyak warga keturunan Cina yang ikut terjun sebagai anak wayang dalam berbagai perkumpulan. Beberapa di antaranya malah tampil sebagai primadona. Sisa-sisa keterlibatan mereka kini bisa dilihat misalnya pada Wayang Orang PMS (Perkumpulan Masyarakat Solo) di Surakarta, yang secara insidental berpentas untuk kegiatan sosial. Secara keseluruhan, wayang orang panggung betapapun juga tampak seperti hanya tinggal sisa-sisanya saja, kini. Ada yang bisa bertahan dengan mencoba resep dan penyajian baru, seperti Bharata. Tapi banyak pengelola dan pemain perkumpulan lain agaknya bingung oleh sesuatu yang tidak bisa mereka mengerti benar: menghilangnya penonton, tidak adanya tepuk tangan, jangan dikata lemparan hadiah penonton. "Sekarang tidak ada lagi penonton yang melemparkan rokok pada kami. Entah mengapa, ya," keluh seorang punakawan Sriwandowo. Berapa perkumpulan wayang orang yang masih bertahan saat ini? Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ternyata tak tahu persis. "Pendataan memang sudah dilakukan, tetapi tidak lancar," kata A. Kasim, kepala Subdirektorat Seni Teater, Sastra, dan Pedalangan. Tapi jumlah grup yang manggung secara tetap tercatat sembilan: Semarang (2), Jakarta (2), Solo (1), Yogyakarta (1), Malang (1), dan Kediri (1). Di luar itu masih banyak kelompok nonkomersial yang manggung secara berkala, misalnya Siswo Among Bekso (Yogyakarta) dan Jaya Budaya (Jakarta). Menanggapi gejala kemunduran, beberapa tahun terakhir ini berbagai pikiran telah dilontarkan. Pada akhir 1983, misalnya, sejumlah budayawan muda di Solo mengadakan aksi pembaharuan wayang. Sedangkan di Jakarta, misalnya, atas prakarsa Yayasan Puspa Rinonce, akhir Desember lalu diselenggarakan Sarasehan Wayang Wong Panggung, dengan pembicara antara lain Umar Kayam, Arswendo Atmowiloto Edy Sedyawati, Bakdi Sumanto, dan Satyagraha Hoerip. Dalam sarasehan itu direktur Kesenian Departemen P & K, Fx. Sutopo, mengumumkan bantuan pemerintah berupa pakaian lengkap kepada tiga kelompok: Wiromo Budoyo di Yogyakarta, Ngesti Budoyo di Jakarta, dan Sriwandowo di Surabaya. Sutopo mengharapkan bantuan itu bisa merangsang. "Kalau tari ataupun musik mereka, misalnya, tidak menjadi lebih baik, bukan pakaian itu saja yang akan saya tarik. Tapi pertunjukan saya tutup," katanya, dengan gagah. Umar Kayam, kepala Pusat Studi dan Penelitian Kebudayaan Universitas Gajah Mada dan bekas direktur jenderal RTF, menganggap wayang orang sebagai seni kemasan. Sebagai kesenian yang diperdagangkan, lakonnya mestinya mengandung segala unsur daya tarik suatu komoditi dagang. "Mereka mesti mengemas repertoire mereka dalam selera komersial, dengan menghadirkan secara lengkap tricks, gimmicks, glamour, dan sex appealdengan megahnya," kata sosiolog lulusan Universitas Cornell ini dalam acara itu. Kayam berpendapat, masalah yang dihadapi wayang orang saat ini muncul akibat tantangan sosiologis yang berat. Misalnya bergesernya sistem nilai atau beralihnya gaya hidup dan cita rasa seni. Wayang orang mendasarkan ceritanya pada Ramayana dan Mahabarata. Menurut Kayam, "Kedua epos itu sekarang mungkin sudah berhenti sebagai penjabar dan pengarah suatu sistem nilai." Itulah masalahya. Sedangkan masyarakat Jawa sendiri, terutama di kotakota, "sudah merupakan bagian dari suatu negara kebangsaan yang berbentuk republik, yang menghadapi suatu sistem nilai yang modern dan demokratis." Zaman keemasan wayang orang, seperti dialami Sriwedari dan Ngesti Pandowo sebelum 1960, dinilainya datang karena, waktu itu, sistem nilai agrarisfeodal-aristokratis dalam masyarakat Jawa masih utuh. Minat orang pada kedua epos itu masih bisa dibangkitkan. "Tapi hanya sebagai cerita atau kesusastraan, seperti lakon-lakon Shakespeare di Inggris," katanya. Yang jadi soal, para kerabat wayang orang, menurut Kayam lagi, tampaknya tak mau menerima status wayang orang sebagai seni komersial. "Mereka tetap melihatnya sebagai seni yang adiluhung, yang agung. Padahal wayang orang telah menjadi anggur yang kebanyakan air," katanya. Resepnya: tontonan itu harus dibuat sedemikian rupa hingga laku dijual. "Dagang ya dagang," kata bekas ketua Dewan Kesenian Jakarta ini. Dalam kenyataan, lakon-lakon yang dipertunjukkan berbagai grup wayang orang sekarang ini sebenarnya hampir tidak ada yang "berat". Mereka lebih suka menampilkan yang ringan dan menghibur, misalnya MustakaweniEdanatau Petruk Dadi Ratu. Apalagi dengan masuknya ketoprak yang ceritanya lebih bebas. Ketoprak tak hanya menampilkan lakon yang diambil dari legenda Jawa lama, tapi juga ciptaan baru, misalnya Mahesa Jenar. Bahkan adaptasi cerita Cina, misalnya Sie Jin Kuidan Sam Pek Eng Tay. Atau dari Islam, umpamanya Wong Agung Menak - tentang Amir Ambyah, alias Hamzah, paman Nabi. Atau cerita Jerman: Baron Sekeber. Tapi itu baru ceritanya, belum "caranya" membawakan - dengan modus baru, tapi tetap wayang wong. Memang banyak yang sebenarnya ingin melihat tetap hidupnya salah satu jenis teater yang pribumi ini. Lihatlah Rini Susilo, sebagai satu kasus yang menarik. Rini, yang berusia 27 tahun, adalah insinyur yang mensurvai dan membuat gambar proyek pemugaran THR Surabaya. Tiga bulan lalu ia tersentak tatkala menonton pertunjukan Sriwandowo. "Sungguh ciut hati saya melihat getirnya kehidupan mereka," ujarnya. Mulailah ia menjadi penonton tetap. Gadis bermata bundar ini menaruh simpati karena ia berasal dari keluarga penggemar wayang orang. Sewaktu masih di Sekolah Dasar, ia pernah belajar menari di panggung wayang orang Langen Sedyorahayu, Kapasan, Surabaya. Rini pun ikut melibatkan diri dalam Sriwandowo. Pernah, misalnya, turut bermain sebagai bintang tamu, memerankan Arjuna dalam lakon Abimanyu Gugur. Toh ia merasa dukungannya pada Sriwandowo belum berhasil. "Meski kehadiran saya untuk memberikan semangat, karena menyangkut soal perut, permainan mereka tetap loyo," ujarnya. "Dia memang bintang tamu paling ayu dari primadona wayang orang mana pun," kata Kolonel (pur) Sumarsono, 73 tahun, ketua Sriwandowo. Toh ia tetap melihat masa depan yang gelap. "Saya bingung harus mengeluh ke mana. Dan kalau tidak mengeluh, lantas bagaimana." Nah, haruskah laporan tentang kehidupan wayang orang panggung ini ditutur) dengan keluhan yang bagai lagu di kaset tua, semakin lama semakin sember? Dari Yogyakarta ada berita lain. Seelah dua bulan beristirahat, sejak awal Februari ini Wiromo Budoyo bisa manggung lagi. Gedung pertunjukan mereka di THR memang masih tetap gelap dan bau pesing. "Dan tampaknya kemungkinan listrik menyala kembali amat kecil," kata Rajiman. Tapi mereka bisa naik ke pentas lain, di Senisono, yang lokasinya lebih terhormat. Lakon pertama, 4 Februari lalu, Rama Tundung, melibatkan 30 pemain. "Ini kehormatan besar bagi kami - dalam keadaan sekarat, datang uluran tangan menolong," kata Rajiman. Uluran tangan itu datang dari Tim Pembina Paguyuban Wayang Orang Wiromo Budoyo, yang dibentuk wali kota Yogyakarta pertengahan November 1983. "Tim inilah yang akan mengurus pentas Wiromo Budoyo nanti," kata Sudarmadi, ketua Tim yang juga kepala Inspeksi Kebudayaan Kotamadya Yogyakarta. Biaya pentas datang dari pemerintah daerah Yogyakarta, sebesar Rp 1 juta. Cuma Rp 200.000 yang diberikan kontan, sisanya berupa peralatan suara dan kostum. Wiromo Budoyo akan naik pentas setiap minggu pertama dan ketiga, dan bisa ditonton secara gratis. Kata Sudarmadi, "Tugas kami sebenarnya hanya menginfus mereka. Jika mereka telah mampu, kami akan melepaskan mereka sepenuhnya. Bagaimanapun mereka harus berupaya sendiri." Susanto Pudjomartono, yang menulis laporan ini dengan bantuan sembilan reporter TEMPO, setuju dengan ucapan sejenis itu. Masalahnya, memang, untuk berupaya meningkatkan diri, para pejuang wayang itu tampaknya harus punya "ilmu". Dan itu sungguh bukan cuma "ilmu wayang".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini