BIARPUN di Barat ada bermacam minoritas, golongan Yahudi merupakan contoh klasik. Di masyarakat Barat tradisional, perbedaan hak penduduk - diskriminasi kelompok - dapat diadakan berdasarkan ras atau agama. Golongan Protestan di Prancis, tempat agama Katolik dominan, tidak dapat menduduki jabatan-jabatan tertentu. Demikian juga di Inggris yang Protestan orang Katolik didiskriminasikan. Di Belanda Timur, sebelum Revolusi Prancis, ada larangan perkawinan antara Protestan dan Katolik. Revolusi Prancis dengan konsepsi nasionalismenya, yakni hak yang sama bagi semua warga negara, menghapuskan kelainan kedudukan hukum, baik bagi Protestan, Katolik, maupun Yahudi. Juga di bagian-bagian lain di Eropa, seperti Belanda atau Inggris yang tidak mengalami Revolusi Prancis tetapi Revolusi Industri, golonganisme berdasarkan agama dan ras dihapuskan. Penghapusan perbedaan Protestan-Katolik rupanya dengan mudah dilaksanakan. Dalam hal perbedaan Kristen-Yahudi, yang juga berdasarkan ras, agak sukar - biarpun undang-undang menyamakan kedudukan Yahudi dengan yang lain-lain. Apa alasannya? Minoritas berasal dari susunan in-groups (golongan "dalam") dan out-groups (golongan "luar") masyarakat tradisional. Di Indonesia sering dikatakan golongan-golongan "sini" dan "sana", "kita" dan "mereka". Tapi itu hanya sebagian dari sebab-sebab kompleks tumbuhnya prasangka rasial. Kebetulan minoritas Yahudi, khususnya dalam Abad Pertengahan (abad ke-8 sampai ke-15), berperanan dalam ekonomi sebagai pedagang. Bahkan sampai kini Yahudi sering dihubungkan denan peranan itu. Tidak berarti tidak ada Yahudi miskin. Dengan kata lain, biarpun peran ekonomis suatu minoritas besar, dan ada tokoh-tokohnya yang kaya raya, juga bisa ada - mungkin sebenarnya sebagian besar - yang perekonomiannya serba kurang. Bagaimanapun, karena pada minoritas ini ada larangan untuk antara lain mencari nafkah di bidang pertanian, citra minoritas Yahudi menjadi indentik dengan pedagang kaya dan golongan kota. Sedangkan dalam masyarakat tradisional agraris, yang serba kurang, perdagangan dapat bersifat sangat eksploatatif. Dalam masyarakat agraris, orang desa sering merasa ditipu pedagang. Memang sering hal ini terjadi. Tetapi mungkin juga kenaikan harga atau penurunan mutu barang dagangan bukan salah sang pedagang, melainkan karena peraturan pemerintah, seperti kenaikan pajak pembelian dan penjualan atau perubahan pasaran. Di pihak lain, kalangan atas masyarakat tradisional agraris, yakni kaum bangsawan, penguasa, pejabat, sampai raja, sering juga masuk dalam perangkap minoritas beruang yang di Eropa terdiri dari kaum Yahudi. Untuk perang dan politik perlu uang. Elite penguasa sering terlalu sibuk untuk mengorgamsasikannya sendiri, sedangkan suatu korps ahli hukum dan keuangan seperti dalam masyarakat modern belum terwujud. Jadi dana ekonomis elite kekuasaan tergantung pada tokoh-tokoh keuangan minoritas. Di pihak lain, hubungan ini dilihat sebagian besar kawula sebagai jebakan dari kalangan minoritas. Dengan singkat, kalangan atas tidak kurang bersentimen terhadap minoritas dengan tokoh-tokoh keuangannya seperti kalangan rakyat tradisional-agrarisnya. Hal-hal di atas itu menimbulkan citra jelek kaum minoritas yang berperanan dalam perdagangan. Sering ini diungkapkan di kalangan rakyat dengan dongeng-dongeng mengenai orang kaya yang menjadi kaya karena menjual jiwanya pada setan. Dalam kasus Yahudi di Eropa, penguasa memperkuat citra jelek tadi dengan tuduhan bahwa bangsa Yahudi telah membunuh Nabi Isa - jadi juga memberikan citra setan. Tuduhan itu secara resmi baru akhir-akhir ini ditarik oleh Paus Yohannes Paulus Il. Penarikan itu sebenarnya memang tidak relevan lagi, karena persoalan minoritas Yahudi di dunia Barat Kristen sudah hampir selesai. Namun di Abad Pertengahan tuduhan itu sering dijadikan alasan bagi rakyat untuk membunuh, merampok, dan membakar kampung-kampung Yahudi. Dalam zaman modern, dengan sekularisasi Eropa, tuduhan "perjanjian dengan setan" tidak berlaku lagi - tapi menjelma menjadi "golongan Yahudi yang melakukan subversi". Dalam kasus Dreyfus di Prancis akhir abad ke-19 hal ini jelas. Seorang perwira Prancis keturunan Yahudi dituduh tanpa bukti sebagai penjual informasi rahasia kepada Jerman. Masalah pembebasan dan penghukumannya menjadi soal emosional dan politis, bukan soal hukum. Pada zaman Nazi-Jerman Yahudi juga menjadi biang keladi: citra Abad Pertengahan sebagai setan menjelma sebagai unsur subversi, pengkhianat, dan perusak bangsa. Kaum ilmuwan ikut serta mencoba membuktikannya secara biologis, ekonomis, sosiologis, dan sebagainya. Ada banyak persamaan antara timbulnya minoritas Cina di Indonesia dan minoritas Yahudi di Eropa, dan ada juga segi-segi uniknya. Konflik rasial yang mengakibatkan politik perkampungan tersendiri, atau politik apartheid, sebenarnya mempunyai akar lebih dalam daripada peristiwa pembunuhan Cina oleh Belanda di Batavia pada 1740. Ia berdasarkan prasangka agama dan rasial yang saling menjalin. Dalam peraturan-peraturan Belanda mengenai perkampungan Timur Asing, khususnya Cina, dinyatakan bahwa kelainan faktor agama yang memerlukan hal itu. Namun pengertian keidentikan agama dan ras, pada Belanda abad ke-18 dan ke-19, adalah kuat. Pada abad ke-20, dengan dihapuskannya sistem permukirnan tersendiri untuk orang Timur Asing, politik apartheid menjelma dalam pemisahan pendidikan antara golongan Cina - dengan Hollandsch Chineesche School (HCS)-nya dan golongan bumiputra dengan Hollandsch Inlandsche School (HIS)-nya, biarpun kurikulum sama. Kalau agama adalah dasar pertama politik apartheid, Belanda sebenarnya tidak dapat menciptakan permukiman Timur Asing Arab, dengan keharusan memiliki surat jalan bagi mereka. Sebab golongan tadi sama agamanya dengan penduduk pribumi. Dasar pertamanya memang bukan agama. Politik apartheid pada akhirnya menciptakan struktur masyarakat kolonial tertentu yang menguntungkan berbagai pihak, biarpun ini bukan tujuan mula. Struktur itu membagi masyarakat dalam golongan ras, dengan fungsi-fungsi ekonomis dan politis tertentu. Secara singkat, fungsi ekonomis sebagai golongan menengah, sebagai tengkulak, memberi keuntungan bagi Timur Asing. Bagi penguasa kolonial ia berfungsi sebagai buffer, penghalang oposisi langsung, alat pemecah belah masyarakat, dan pelaksana ekonomis pada tingkat bawah - sesuatu yang justru akan ditentangnya secara idiil, tapi terbentur pada realitas. Di pihak lain, penguasa kolonial - yang yakin bahwa ia di sini demi memajukan bangsa Indonesia - menekankan pengaruh jelek tengkulak kepada rakyat: penjebak peningkatan konsumsi, ijon, meminjamkan dengan bunga tinggi, dan lain-lain. Keadaan buruk dilimpahkan sebagian kepada golongan pedagang, yang kebetulan minoritas Cina, Arab, dan lain-lain, biarpun penguasa kolonial yakin hadirnya perantara ini penting bagi struktur ekonomi dan politiknya. Ironisnya, kolonialisme sendiri mulai sebagai perdagangan. Ketika penguasa kolonial bukan lagi pedagang, tetapi birokrat, dia tidak memperkuat citra pengusaha dalam masyarakat. Salah satu gejala kolonial di antara orang Belanda sendiri adalah pertentangan antara "orang partikelir" (swasta) dan pejabat. Dengan sendirinya ada pengaruh warisan kolomial ini sampai kini. Masyarakat insaf bahwa perdagangan penting, seperti juga yakin bahwa harus ada negara, pajak, polisi, tentara, penguasa, dan seterusnya. Tapi tidak semua yang harus ada ini memiliki citra yang baik. Sudah dikatakan, khususnya pada masyarakat agraris, perdagangan biasanya sangat eksploatatif dan terlihat sebagai pemerasan. Pedagang identik dengan setan. Kalau pedagang ini sebagian besar dari suatu minoritas seperti Cina, Cina identik dengan setan. Khususnya di Jawa, yang masyarakatnya antipedagang, masalah di atas dapat menjadi gawat. Sampai kini masalah antiminoritas sebenarnya masih pada taraf antipedagang, belum menuju ke rasialisme. Tapi gejala ke arah sana ada juga. Sentimen antipedagang ini terlihat, misalnya, kalau ada pedagang atau pengusaha pribumi yang berhasil, maka dia kehilangan status pribuminya - dan menjadi Cina atau sederajat dengan minoritas lain yang berdagang. Salah satu suku di Indonesia yang berhasil dalam perdagangan, misalnya, mendapat julukan populer kiauw - analog dengan Hoa-Kiauw. Pernah seorang teman antropolog tinggal di desa di rumah pedagang kaya, seorang pribumi, bapak haji. Penduduk sekelilingnya mengenal dia sebagai "Baba Acun", yakni "Cina". Salah satu sebab, saya kira, mengapa minoritas Arab belum juga "terselesaikan", biarpun dalam hal agama, ras, dan lain-lain sudah demikian banyak integrasinya, adalah citra mereka sebagai pedagang. Untuk minoritas Cina, penjelmaan "setan" dalam zaman modern juga dapat mengalami transformasi menjadi subversi asing. Kelainan KTP, dokumen warga negara, dan seterusnya, adalah gejala in-groups dan out-groups. Meskipun demikian, ada juga gejala pemisahan antara "yang benar" dan "yang jahat", dan ada alasan keamanan dan seterusnya, yang sebenarnya berasal dari konsep "setan" di atas. Sumpah Pemuda, Undang-undang Dasar 45, dan lain-lain menuju persatuan dan kesatuan bangsa. Tapi kebijaksanaan ada di tangan orang, dan orang adalah anak lingkungan. Masalahnya, sampai di mana kehendak nasional dapat mengontrol dan mengoreksi birokrat, sehingga kebijaksanaan bangsa dan negara tidak dapat ditorpedo oleh prasangka seorang carik kota praja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini