SEORANG bocah hitam memperagakan kemahirannya di jalanan. Sebuah bola karet disepaknya melambung, lalu ditahannya dengan kepala. Bola bermain-main di situ beberapa lama, kemudian ditendangnya dengan keras ke satu pojok. Seorang anak perempuan, mungkin kakaknya, bertepuk riuh. Bocah itu tertawa senang - seperti tak sadar bahwa barangkali sebentar lagi ia sudah harus mempelajari bagaimana menembakkan peluru. Honduras sekarang memang lebih mementingkan kemahiran bertempur ketimbang memenangkan pertandingan bola. "Para serdadu mengambil siapa saja yang dilihatnya sehat," tulis Mike Edwards dalam National Geographic, November 1983, mengutip seorang ibu di pasar Gracias, Honduras. Seorang penduduk desa menambahkan, "Seorang comandante memerintahkan Wali Kota mengumpulkan 25 orang muda. Pak Wali tak bisa menolak. Truk sudah telanjur datang. Anak-anak itu menangis karena harus meninggalkan ibu mereka. Ibu-ibu menangis karena ingin anak-anak mereka tetap di rumah." Tapi tangis itu konon hanya sebentar. Ibu-ibu menjadi terbiasa. Anak-anak muda pun mulai asyik dengan mainan baru: peluru-peluru yang mampu meledak bagai mercon. Tetapi, taman-taman hiburan tetap penuh. Pada liburan menjelang Paskah, Pantai Tela, di tepi Laut Karibea, penuh oleh pengunjung dari berbagai bangsa dan ras. Bermacam warna kulit Honduras tumpah di sini: merah tua Indian, hitam Afrika, putih Eropa. Kelompok-kelompok keluarga datang bergelantungan di bis-bis warna kuning dan dengan mobil-mobil mewah. Gadis-gadis ramping dalam pakaian renang model butik Miami dan para wanita campesino bebas berselancar dalam pakaian dalam. Milyuner dan penebang tebu berbaur di sini. Ada kaus oblong bertuliskan MASH dan "100 Persen Bebas Gemuk" - dipakai seorang cewek yang sungguh gapuk. Semua doyan: sate lembu (model sana), es sirop merah jambu dan lembayung, serta kelapa muda. Nyiur melambai, udara sejuk santai. Hanya patroli tentara - empat orang tiap regu dalam pakaian tersamar, tapi berpistol dan berkaraben - mengingatkan bahwa ada sesuatu yang mengganggu bidang kamtibnas di negerm itu. Letak geografis turut memerosokkan Honduras ke dalam kemelut politik dan keamanan yang acap mewabahi Amerika Tengah. Di selatan ada pemerintahan Sandinista, yang mengambil alih kekuasaan di Nikaragua pada 1979 - dan yang semakin Marxis. Tentara kedua negeri pernah bentrok kecil-kecilan. Lalu di barat daya, di El Salvador, pertempuran masih berlanjut antara pasukan pemerintah yang didukung Amerika dan laskar gerilya. Nikaragua dituduh menyusupkan senjata melalui Honduras teruntuk gerilyawan Salvador, sementara gerilyawan celaka itu sendiri didakwa melakukan teror di wilayah Honduras. Dengan Guatemala di barat daya, negeri ini juga terus cekcok. Maka jadilah Honduras kawasan cukup runyam. Terjepit di antara negeri-negeri yang kian condong ke kiri, dan saling bentrok, tak ayal pemerintah Honduras semakin erat menggandul pada Amerika Serikat. Malahan menjadi benteng AS sekalian. Honduras pura-pura tak tahu ketika, melalui ambang pintunya, CIA mengirimkan kontrarevolusi ke Nikaragua. Berbareng dengan itu, negeri ini bersiap menampung ribuan pasukan AS lainnya dalam rangka meningkatkan manuver. Sementara itu kapal-kapal perang Reagan lalu lalang di sini. Negeri ini menerima dari sekutunya bantuan sebesar 134 juta dolar - 37 juta sebagai bantuan militer, dan sisanya bantuan ekonomi. Honduras tampaknya memang memerlukannya. Dengan luas 112 ribu km (Jawa: 131.000 km2) dan dengan penduduk 4,2 juta, Honduras adalah negeri termiskin di kawasannya. Dan dilihat dari ramainya orang bersantai di Pantai Tela, negeri ini memang kelihatan lebih siap damai ketimbang untuk memukul genderang perang. Setidaknya itulah kesimpulan Mike Edwards, yang bersama Fotografer David Allen Harvey melongok ke sana. Selama abad-abad penjajahan Spanyol di Amerika Tengah, dari 1500-an sampai 1821, Honduras adalah secupak tanah yang terbelakang dan berpenduduk jarang. Conquistador, sang penakluk alias Spanyol, mencoba menguras kekayaan melalui perburuan emas dan perak, meski tidak berhasil menemukan bonanza, harta karun melimpah-ruah. Hanya sejumlah orang Spanyol yang menjadi mapan, dan bertani. Serangkaian revolusi berdarah melanda negeri. Pemerintahan berganti tangan ratusan kali. Tapi persekutuan tuan tanah kaya dengan militer, khas Amerika Tengah, tidak pernah berhasil di sini. Pada tahun-tahun terakhir ini landreform dijalankan kendati tersendat-sendat. Ada kebebasan pers. Buruh konon di jamin haknya pula. Pada 1981, sekitar 80'1O pemilih sah memberikan suaranya kepada presiden sipil yang mengakhiri pemerintahan militer yang sudah berlangsung 18 tahun. Meskipun demikian segepok besar masalah masih terus membuntut. Lebih dari separuh penduduk buta huruf. Pembangunan tercecer. Dalam keadaan begitu, sosok Amerika Tengah yang sebuah ini lalu tampak menakutkan kaum penanam modal. Pariwisata telah pula menyusut - hanya menarik sedikit penyelam yang ingin berkhusyuk-khusyuk di perairan karang di sekitar Kepulauan Bahia, di lepas pantai Karibea. Namun, banyak pula pengunjung yang memiliki perburuan lain, seperti yang diungkapkan Edwards. "Di hotel tempatku menginap di Ibu Kota, Tegucigalpa, berjubel kaum misionaris. Juga sejumlah pedagang senjata. Dan beberapa wartawan yang memburu berita perang." *** Honduras lebih banyak merentangkan dirinya sepan jang pantai Karibea. Sementara di Samudra Pasifik ia hanya meletakkan ujung tumitnya - merupakan kawasan pesisir sempit antara Nikaragua dan El Salvador. Padang-padang sabana dan hutan basah menyerbu ke pedalaman sejak dari Pantai Nyamuk. Ke arah barat berbaris pucuk-pucuk pinus sejak dari kawasan Guatemala dan El Salvador. Jalan Raya 1, urat nadi negeri itu, menggeliut ke barat daya dari Tegucigalpa. Jalan ini lalu turun ke kawasan hutan tropis berpohon tinggi-tinggi. "Pantai Utara", orang Honduras menyebut wilayah di sekitar kota-kota San Pedro Sula dan La Ceiba. Pantai ini menghasilkan pisang dan gula, yang bersama kopi, daging sapi, dan kayu merupakan mata barang ekspor terpenting negeri itu. Terutama pisang. Pedagang-pedagang Boston, AS, datang menabur dolar dan mendirikan United Fruit Company, perusahaan pengalengan buah yang kini bernama United Brand, pada peralihan abad ini. Juga membangun jaringan kereta api, Tela Rail Road Company, yang berpusat di La Lima. Tentu tidak dengan gratis Honduras mengganjarnya dengan tanah. Dan ganjaran itu tidak setimpal, karena jaringan kereta api hanya terentang di kawasan perkebunan dan antara perkebunan dan pelabuhan. Persahabatan AS-Honduras boleh dibilang persahabatan pisang, karena konon buah seperti itulah yang menjalin hubungan kedua negara menjadi bagai sesama saudara. Mata uang logam Honduras 20 centavo senilai 10 sen dolar AS alias Rp 100. Para remaja di Puerto Cortes memanggil bekas presiden Franklin D. Roosevelt dengan El Colegio (sahabat). "Dua bulan di Honduras hampir tidak pernah saya mendengar pernyataan anti-AS," tutur Edwards. Hubungan kedua negeri sudah dimulai sejak awal abad ini. Samuel Zemurray, pengusaha perkebunan AS, dikabarkan membiayai penggulingan seorang presiden Honduras pada 1911, agar memperoleh konsesi dari rezim pengganti. Setidaknya itulah yang dipercayai banyak orang Honduras sampai sekarang. Dalam pada itu, sejumlah perusahaan buah-buahan memperoleh jutaan akre pula - dan di sekitar 1915 Honduras sudah menjadi republik sari pisang. Pada 1975, United Brands dituduh menyogok seorang pejabat di sini dengan 1l/4 juta dolar untuk imbalan penggelapan pajak perusahaan. "Kami membuat beberapa kesalahan di masa silam," diakui oleh Fred Koch, general manager Tela Rail Road. "Tapi kami hidup di sini, dan kami mencoba memberikan tanggapan." Perusahaan itu tampaknya berbuat banyak kepada pegawainya sendiri, setidaknya dalam ukuran negeri terbelakang. Cortador (tukang potong) Hernandez dan cablero (tukang kawat) Castro memperoleh US$ 15 sehari - sekitar seminggu pendapatan buruh tani biasa. Suatu hari Wartawan Edwards bertemu Senor Isabel Canales, yang tubuhnya kekar karena kerja berat, seusai minum bir. Mereka pergi ke rumah Canales, yang berkamar tidur tiga, bercat biru, berhias pohon kembang sepatu merah. Rumah model BTN tipe 70 itu berharga US$ 9.400. Tapi "saya membayar separuh," kata yang empunya rumah. "Perusahaan membayar separuhnya lagi." Perusahaan juga menyekolahkan buruhnya, yang sebagiannya ada yang hampir buta huruf ketika diterima bekerja. Rafael Valle, ketua serikat karyawan beranggota 10.000, terkenang ke tahun 1954, ketika ia bergaji US$ 1,15 sehari. "Kami diisap. Pemerintah tak kuasa mengatur berbagai perusahaan pisang." Sekitar 25.000 buruh United Fruit lalu mogok 67 hari. Dan mereka menang, dan hasil perjuangan mereka dinikmati rekan-rekan di seluruh negeri. Yaitu: diakuinya secara hukum hak-hak buruh dan jaminan penghasilan minimum. "Perusahaan-perusahaan itu belajar bahwa mereka tidak dapat mengisap," kata Senor Valle. "Dan para pekerja belajar menangani masalah." Banyak orang Honduras lalu menaruh kepercayaan kepada pelajaran 1954 itu - bahwa perselisihan dapat diselesaikan secara damai. Inilah yang turut membantu negeri itu menikmati ketenteraman dalam negeri yang lebih lama ketimbang di negeri-negeri tetangga. *** Di dekat Comayagua yang tenang, dulu ibu kota Honduras, wartawan kita membelok ke Jalan Raya 1 dan menuju ke La Paz. Pemandangan sudah berubah mewah di kota ini: saluran air bersih, jalan-jalan mulus, dan jembatan baru diperbaiki di jalan raya yang baru. Roberto Suazo Cordova, dokter yang menjadi politikus, memimpin Partai Liberal meraih kemenangan pada Pemilu 1981. Di La Paz ia punya tempat tetirah, sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bagi orang Honduras, selera sederhana Presiden Suazo terasa menyegarkan. Dan pemerintah yang ia ambil alih dari militer tadinya berbau korupsi. Tetapi banyak orang, karena lama terbiasa diperintah militer, cenderung menganggap pemerintah sekarang berkepala dua: satu di tangan presiden, lainnya di genggaman para jenderal. "Hanya ada satu kepala: Presiden Roberto Zuazo Cordova!" kata yang punya nama. Kepada wartawan National Geographic ia berbicara singkat - tentang rencananya mengganyang buta huruf. Selebihnya Suazo banyak bercakap tentang ancaman macam-macam. "Kami masih setengah menggelepar-gelepar," katanya, sambil menyinggung perang saudara di El Salvador dan Nikaragua "yang jelas-jelas Marxis, menerima bantuan dari Kuba." Katanya, "Jika kaum gerilya sukses di El Salvador, Honduras dan Guatemala habis." Itu tentunya teori kartu gaple yang sudah kita kenal . "Jika Amerika Tengah jatuh, Meksiko juga jatuh, dan kemudian kegawatan akan bermain di perbatasan AS." Honduras, katanya lagi, berkeinginan menjalin "hubungan akrab dengan Amerika Serikat." Begitu akrab, nyatanya, karena 25 serdadu AS kini melatih pasukan pemerintah Salvador di bumi Honduras. Pangkalannya dibuat musim panas silam. Ini terbilang suatu persembahan bagi pemerintahan Reagan yang tidak ingin membikin murka Kongres AS dengan mengirim lebih banyak penasihat militer langsung ke El Salvador. La Base tak ayab merisaukan sejumlah orang Honduras. Mereka khawatir pangkalan latihan itu bisa mengundang teror balas dandam dari kaum pemberontak Salvador. "Saya tidak bisa menerima kita dijadikan gelanggang latihan El Salvador atau kantor pos kaum kontrarevolusi di Nikaragua," kata seorang anak muda. "Jika kami memang harus berkelahi dengan seseorang, saya akan ikut. Tetapi, saya pikir, kita harus mencoba dulu menangani sesuatu secara damai." Suara juga datang dari anggota Kongres Honduras, Efrain Diaz Arrivillaga. Dengan nada mengecam kebijaksanaan pemerintah, ia berkata, "Kukira Sandinistalah ancaman sejati bagi Honduras, bukan gerilya di El Salvador, jika mereka menang." Tokoh ini percaya, pemerintah AS telah menggunakan Honduras untuk tujuannya yang lebih jauh: menyangga El Salvador sambil mencoba melumpuhkan Nikaragua yang Sandinista. "Kita harus lebih memikirkan usaha memperkuat lembaga-lembaga demokrasi," ujar SenorDiaz. "Pemerintah seharusnya bekerja lebih giat memecahkan masalah-masalah sosial - kesehatan, kurang pangan, perumahan, land reform, buta huruf. Jika tidak memerangi berbagai kesulitan sosial, kita akan menyediakan tanah subur bagi tumbuhnya revolusi." Akhir April, Tegucigalpa sedang menanti hujan yang biasanya datang pada bulan Mei. Hujan menyeberang ke kawasan sekitarnya dan turun di lereng-lereng gunung. Akibatnya beberapa hari bandar udara tertutup asap. Soalnya, tebas dan bakar hutan masih menjadi cara bertani orang Honduras. Asap pun bangkit dari pepohonan dan semak terbakar, menyerbu sampai ke langit ibu kota - menjadikannya tandingan Los Angelos. Sekali hujan turun, api padam, dan kawasan peguriungan kembali hijau. Tapi entah sampai kapan. Berpenduduk 150.000 jiwa pada 1960-an, Tegucigalpa - berarti "bukit perak" dalam bahasa Indian kini harus menanggungkan pertambahan jumlah nyawa menjadi hampir empat kali lipat. Untuk mengatasi peningkatan itulah dibangun Colonia Kennedy, pinggiran kota yang dimekarkan. Dananya berasal dari program bantuan mendiang bekas presiden John F. Kennedy. Diperluas dengan pinjaman berbunga lunak dari Inter-American Development Bank, Colonia Kennedy sekarang menampung 48.000 kepala. Orang Honduras mencintai Kennedy melebihi presiden AS yang sekarang. * * * Kendati Presiden Suazo berteguh bahwa ia memegang kekuasaan mutlak, kenyataan yang terlihat sehari-hari memang cukup membimbangkan. Setidaknya di kalangan angkatan bersenjata Honduras sendiri - seperti yang diperdengarkan jenderal berbintang empat Gustavo Alvarez Martinez. Panglima angkatan bersenjata Honduras yang membawahkan 17 ribu tentara itu, termasuk polisi, memiliki status unik di dunia. "Saya dipilih Kongres. Untuk memindahkan saya, presiden harus meminta Kongres melakukan petisi," katanya. Ia menekankan, "Presiden memberi saya perintah. Militer menerima peranan sebagai yang diperintah." Bingung? Tidak, tentunya. Suatu saat ia berbicara tentang "tanggung jawab manusia melindungi sekitarnya." Patut diketahui, restorasi kebun botani United Fruit menjadi salah satu minat khususnya. Tetapi beberapa menit kemudian ia mencanangkan perlunya "intervensi langsung militer" untuk melindungi Nikaragua. Ini katanya langkah akhir yang diperlukan. Dan, "itu tidak dapat saya lakukan jika AS tidak masuk." Nikaragua, menurut sang jenderal, adalah pangkalan pilihan untuk invasi agresif terhadap Amerika Tengah, "yang jelas dilakukan Uni Soviet melalui Kuba." la menyebut pangkalan-pangkalan militer yang dibangun di Nikaragua serta ribuan penasihat dan buruh Kuba yang bekerja di sana. "Nikaragua hanya mendapat dua heli baru dan empat lagi dalam perjalanan. Mereka mempunyai empat pesawat pengangkut Ilyushin dan akan mendapat tambahan lagi." Tidak dengan rasa optimisme, tampaknya, Jenderal Alvarez menghitung-hitung hari depan Honduras yang tergantung pada pendapat umum di AS. "Bagaimana kita bisa bertahan sendirian? AS bisa bilang, "Itu urusan kalian sendiri', tetapi kukira ada komitmen moral. Amerika Latin diilhami oleh contoh AS pada 1776 dan Revolusi Prancis. Bagaimana mungkin sekarang kalian mau meninggalkan kami, dan membiarkan prinsip-prinsip itu lenyap di balik belahang bumi?" Bagaimana, coba! Sebagian orang Honduras menyimpulkan, tentara dan polisi sebenarnya tidak sungguh-sungguh berminat melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi. Dr. Ramon Custodio Lopez, ilmuwan fisika dan pengetua Iembaga swasta Komite Pembela Hak Asasi Manusia, menghitung ada 31 orang Honduras terbunuh percuma dan 33 lainnya hilang tak tentu rimba pada tahun lalu. Umurnnya - tidak semua orang-orang kiri. "Bagaimana ini bisa terjadi di alam demokrasi?" tanya Dr. Custodio. Kecaman seperti itu memang biasa terdengar di negeri yang bebas, tempat keselamatan pribadi dihormati oleh undang-undang, dan tak seorang pun boleh dihukum - apalagi dibunuh atau "hilang" - tanpa lebih dulu dibuktikan kesalahannya. Tetapi ada contoh lain, seperti dilaporkan David Blundy dalam Sunday Times Magazine 13 November 1983. Bapa Earl Gallagher, pastor, sedang menuju ke asramanya di Guarita, nun di punggung Pegunungan Honduras dekat tapal batas El Salvador. Terbanting-banting di belakang setir jip Toyota, ia mencoba mengerahkan seluruh kekuatan mobil 4 - wheeldrivenya agar mampu mendaki jalan yang semakin menanjak tegak. Dalam keadaan begitu, sang romo masih sempat melirik kaca spion,. Dan, oh, Yesus, pemandangan di belakang mirip cuplikan film gangster. Penumpang mobil di sana itu kebetulan lagi mengangkat moncong senjatanya melalui jendela samping ke arah jip Bapa Gallagher - dan menembak. Peluru berdesingan di sekitar kepala. Dengan naluri seorang stuntman, Gallagher menyelewengkan Toyota-nya ke luar jalur jalan. Moncong mobil menghantam tanggul, dan pada saat itu ia melepaskan kemudi dan melompat. Sang penyerang berhenti sebentar. Kemudian melanjutkan perjalanannya. Dan Gallagher mengenalinya sebagai perwira Honduras yang bermarkas di Guarita. Untung, bapa pendeta hanya tergores sedikit. Dia sama sekali tidak bersosok pendeta. Lahir di Brooklyn, New York, Gallagher bertahun-tahun bekerja di kalangan anak muda hitam di Harlem - dan masih berbicara dalam logat anak jalanan New York. Dan kecuali dalam kebaktian resmi, ia lebih sering memakai kaus oblong dan celana jean. Ia pelari jarak jauh, dan masih sering tampak lari-lari pagi di perbukitan Honduras. Entah mengapa dalam usia muda rambutnya sudah kelabu, hingga bergelar "kambing tua". Tapi penampilan dan "tampak samping"-nya itu tidak mencegahnya menjadi pendeta Ordo Capuchin dari Gereja Katolik Roma. Dan percobaan pembunuhan terhadapnya, belasan bulan yang lalu itu, tidaklah terlalu mengagetkan. Para rohaniwan memang telah membangkitkan amarah kaum tuan tanah, tentara, dan - dalam kadar lebih rendah - kalangan pemerintah. Mereka juga diduga bersimpati kepada kaum komunis dan mendukung gerilyawan di El Salvador. Hal yang agaknya mendasari tuduhan itu adalah cita-cita kaum Capuchin yang dinilai cenderung sosialis dan demokratis dan karenanya "berpengaruh merusak" terhadap para petani Honduras. Gallagher dan lima Capuchin lainnya bekerja di kawasan jemaah gereja yang tidak biasa. Terentang luas, kawasan itu terdiri dari 170 kota, desa, dan kampung di sebelah barat negeri. Beberapa di antaranya sangat terpencil dan sukar ditembus, sehingga para pastor harus meninggalkan jip mereka dan ganti menunggang keledai. Namun wilayah itu konon sangat memukau. Gunung-gunung tertutup hutan pinus yang kerap terselubung awan, sementara lembah-lembahnya dipenuhi perkebunan pisang, jagung, dan kopi. Masih ada lainnya: air terjun yang tumpah di batu-batu. "Para rohaniwan berada di kalangan orang termiskin di dunia," tulis David Blundy yang melawat ke sana bersama fotografer cewek, Susan Meiselas. Sekitar separuh anak-anak berada di bawah garis cukup makan, dan para anggota keluarga harus bekerja di luar batas agar dapat hidup. Penyakit berjangkit luas, sementara pengobatan terbilang terbelakang dan sukar didapat. Mereka lalu mengorganisasikan berbagai koperasi tani, sekolah, klinik, dan membantu 11.000 pengungsi Salvador yang kabur melalui perbatasan karena takut perang antara gerilyawan dan tentara. Untuk semua itu, tak ada pujian untuk para pastor. Malahan cerca dan siksaan. Menjadi gembala rohani memang profesi runyam di Amerika Tengah. Di El Salvador, Uskup Besar Oscar Romero dan empat suster Amerika dibunuh - itu yang masuk koran. Sebegitu jauh Honduras memang terlepas dari kelancangan berdarah seperti itu. Walaupun demikian, enam pendeta Amerika yang bekerja di pedalaman, terutama di dekat tapal batas Salvador, tak nyaman tidur malam. Sebab ada pengalaman pada tahun 1981. Yakni pembantaian terhadap 500 sampai 800 pengungsi Salvador, sebagian besar wanita dan anak-anak. Mereka dihabisi ketika mencoba menyeberangi Sungai Sumpul yang menjadi batas Salvador dan Honduras. Yang menarik, untuk pembantaian itu pasukan kedua negeri bergabung. Anak-anak dicincang, dan potongan-potongan tubuh mereka terjaring para penjala ikan esok harinya. Gallagher sudah berada di kawasan itu ketika pembantaian terjadi. Suatu pagi ia sedang berjalan di sepanjang tepi sungai ketika memergoki tebingnya tampak hitam. "Tebing itu tertutup kerumunan elang hitam pemakan bangkai," tuturnya kepada wartawan. "Saya mendekat, dan melihat hamparan mayat." Ia kemudian secara hati-hati mengumpulkan fakta dan merekam kesaksian saksi mata, lalu mengirimkannya ke New York. Pemerintah Salvador dan Honduras mulanya menyangkal. Tapi, yang lebih sial, pers Barat hanya menaruh minat sedikit. Tampaknya tak seorang pun ingin terlalu acuh terhadap republik pisang yang terselaput mendung itu. Menjadi sekutu negara superpower bukan tanpa risiko. Pada September 1983, 1.000 serdadu AS muntah dari kapal-kapal pengangkut ke pantai Honduras di dekat Kota Puerto Cortes. Itu baru gelombang pertama dari 5.000 serdadu yang terlibat dalam manuver raksasa militer AS yang dipanggil Big Pine 11 yang direncanakan akan berlanjut sampai 1984 ini. Sasaran operasi, seperti yang blak-blakan diakui seorang perwira AS, "untuk menggertak Nikaragua" dan memperagakan dukungan AS kepada Honduras. Jadinya, Honduras telah menjadi korban terakhir pertarungan Kiri-Kanan di Amerika Tengah. Senjata otomatis M-16 AS dipakai menghadapi senjata sejenis AK-47 Uni Soviet. Seperti yang terjadi di Las Manos, dekat perbatasan Nikaragua, tiga jam bermobil dari Tegucigalpa. Beberapa mil dari sana, dua wartawan AS terbunuh akhir Juni 1983. Kata perwira Honduras, mobil mereka terkena ranjau Sandinista di jalan raya Honduras. Di seberang Las Manas, sekelompok serdadu Honduras main sepak bola. Yang lain bermalas-malasan sambil mengokang-ngokang senjata. Dan kurang dari 50 meter memotong jalan raya yang dianggap sebagai tanah tak bertuan, seorang serdadu Nikaragua menonton permainan itu. "Acap terdengar mereka meneriakkan slogan semacam 'Merdeka atau-Mati'," kata seorang letnan Honduras. "Kukira mereka mencoba membakar semangat mereka sendiri." Sebuah tempelan lalu diletakkannya pada bedil M-16-nya - sebuah emblem parasut emas, yang menandakan ia sudah melakukan ratusan penerjunan. Sebagaimana umumnya serdadu Honduras, ia juga dilatih di pusat latihan AS di Panama. Di pinggiran Tegucigalpa, ada sejumlah orang muda berseragam - para pelajar dalam busana kepar. Mereka menanam pisang, menugal jagung, dan menyemprotkan insektisida. Sekolah Pertanian Pan Amerika di El Zamorano percaya pada pemaduan teori dengan praktek. "Yang bikin rusak kebanyakan sekolah pertanian di Amerika Latin ialah bahwa mereka menghasilkan agronomos yang tidak tahu apa yang harus dilakukan jika terjun ke lapangan," ujar Dr. Simon E. Malo, direktur sekolah itu. "Kalian tidak bisa belajar bertani hanya dengan membaca buku." Itulah sebabnya sekolah ini didirikan oleh United Fruit Company, 1942. Produksi bahan makanan yang tidak memadai mendorong Honduras, dan negeri Amerika Latin lain, mengimpornya. "Tidak terdapat cukup tenaga terlatih untuk menyuluh kaum tani," kata Dr. Malo. Ia berharap sekolah yang dipimpinnya memperoleh cukup dana untuk melipatgandakannya. Antaranya untuk membeli helikopter Huey dan pesawat pengangkut Ilyushin. * * * Jalan yang menuju Gracias cukup menantang. Bergelombang, berbatu-batu, dan penuh alur bekas kendaraan. Pada suatu saat singkat, 1540-an, Gracias menjadi tempat kedudukan audiencia Spanyol. Tapi pemerintahan mereka kemudian pindah ke Guatemala pada 1549. Gracias sekarang hanya ibu kota daerah Lempira. Orang bepergian bermil-mil untuk meraih sedolar dua di Gracias - terbungkuk-bungkuk menanggung beban hasil tembikar merah di punggung. Perjalanan sulit seseorang acap kali ditemani anak lelaki. Tidak persis seorang anak - sesungguhnya orang dewasa dalam sosok mini, yang menggendong beban dengan tali pengikat mengencang di dahi. Darah Indian mengalir di tubuh rakyat, yang dengan turun naik bukit menjajakan barang tembikar. Mereka memuliakan pemimpin Indian yang dipanggil orang Spanyol sebagai Lempira - Sang Raja Gunung. Ia berkelahi gagah perwira melawan sang penakluk selama dua tahun, sejak 1537. Orang Spanyol membunuhnya secara licik dalam masa genjatan senjata. Para serdadu bercerita, pasukan terbaik negeri itu direkrut dari kalangan Indian ini. "Mereka kepala batu, tapi begitu mereka belajar berkelahi, tidak ada yang mampu menghentikan," tutur seorang sersan. Istilah direkrut tidak pula terlalu tepat. Mereka dikumpulkan, lalu diangkut begitu saja. Sampai beberapa tahun belakangan, sejenis angkutan udara perintis meretas isolasi kota-kota semacam Gracias. Tapi angkutan udara menuntut biaya terlalu mahal, padahal jaringan lalu lintas darat jauh dari memadai. Trujillo, kota model Spanyol lama, dipagari benteng bata kukuh. Sebuah meriam kuno masih mengarahkan moncongnya ke laut. Di sebaliknya, kotanya sendiri kecil dan terkantuk-kantuk. Tiada taksi. Wartawan kita lantas memakai pikap milik Arturo Renc Ramos. "Ke permakaman," katanya. Dan mereka menemukan sebuah makam bertuliskan "Wuliam Walker 1860". William, ejaan yang benar, adalah seorang petualang militer. Orang kelahiran Nashville ini sempat mengangkat dirinya sebagai diktator Nikaragua - hanya satu tahun - pada 1856. Dalam suatu ekspedisi ia menaklukkan Trujillo, tapi kemudian ditendang ke luar oleh bala tentara Inggris. Lalu diuber-uber orang Honduras. Dan menyerah kepada seorang kapten kapal, yang menyerahkannya kepada penguasa setempat. Ia kemudian dihukum tembak. Trujillo melupakan William yang lain, yang - seperti William Walker - datang menempuh berbagai kesukaran. William yang ini, yang nama belakangnya Sidney Porter, melarikan diri pada 1896 karena menghindari hukuman akibat merampok bank. Ini sebelum ia terkenal sebagai penulis cerpen di bawah nama O. Henry - kenal? Dalam kumpulan cerita berjudul Cabbages and Kings, kota "Coralio" yang disebut O. Henry alias si William adalah Trujillo yang dimaksud. Di sana ia melukiskan surga dengan: "Hari-hari tanpa belenggu dan penuh daya pesona yang diangan-angankan . . . kehidupan penuh musik, bunga, dan tawa . . . dan limpahan cinta dan daya magi dan keindahan di malam-malam tropis bercahaya bening ...." * * * Para anjing laut Inggrislah - yang memangsa awak kapal layar Spanyol - yang menyebarkan nama Pantai Nyamuk. Mungkin untuk mengenang wabah penyakit yang menyebar, atau mengambil nama kelompok Indian terkemuka di kawasan itu. Dan pesawat Cessna Charlie terbang mengikuti garis pantai, di atas kehijauan padang-padang sabana. Berbelok, mereka membuntuti alur Sungai Patuca yang masuk ke pedalaman. Berada di atas pucuk pepohonan yang lebat, Edwards merasakan sensasi terbang di atas broccoli - sejenis kobis hijau - di pasar raya. Mereka kemudian menukik, menyongsong hamparan padang rumput di Wampusirpi. Edwards melihat orang-orang berdiri dalam satu jajaran, ternanti-nanti dalam was-was hati apa yang akan menimpa wajah-wajah lembam itu. Nama. Usia. Nama-nama dan daftar usia anak-anak, nenek-nenek, dan om-om. Di akhir barisan, semua keterangan sudah terekam. Kemudian, tiap keluarga boleh menerima ransum: jagung, kacang, beras, susu bubuk, dan kopi - cukup segelas sehari untuk satu kepala. Indian Miskito dari Nikaragua beberapa di antara mereka begitu babak belur oleh pemerintah Sandinista, beberapa yang lain memilih bertarung di tengah Sandinista atau kaum kontrarevolusi - telah bermukim di sepanjang Sungai Patuca, jumlahnya hamoir 4.000. Itu atas nrakrc Wnrld Relief, organisasi gereja evangelis yang bermarkas di Wheaton, Illinois. Di Wampusirpi segalanya lalu menjadi bagai kota gembel. Asap membubung dari dapur BBK - bahan bakar kayu - yang dipasang di hampir setiap tenda. Karena langka ruang tidur, staf World Relief terpaksa menggelar terpal di lantai kantor, berjajar-jajar bagai transmigran kena tipu. Saat ini paling tidak Honduras menampung 23.000 pengungsi Nikaragua, 20.000 dari El Salvador yang digebuk perang, dan 500 orang dari Guatemala. Banyak orang yang berhasil mencapai Wampusirpi bercerita tentang kekerasan. Sidney Kittle Goslen pendeta Sekte Moravia yang paling dianuti orang Miskito, berkata bahwa para serdadu Sandinista membakar desa-desa. Putra dari orang Texas yang dulu menambang Nikaragua itu bercakap Inggris lancar sekali. "Mula-mula mereka membakar rumahku, dan membunuh anak lembuku. Mereka bakar rumah yang lain. Mereka pergi ke gereja, dan membakarnya sampai hangus." Desanya berada di sisi Sungai Coco, yang juga disebut Segovia, yang menjadi bagian perbatasan Nikaragua dan Honduras. Sandinista membakar dusun-dusun sepanjang sungai itu untuk mengusir penduduk agar menjauh dari tapal batas. Orang Miskito yang tidak kabur memilih bertempat tinggal di mana saja. "Aku bersumpah, rakyat harus dapat kembali ke kampungnya," kata Senor Kittle, yang berusia 69 tahun. "Aku sudah tua. Dan tidak terlalu sehat. Mungkin aku tidak akan pergi." Ia menatap kejauhan, matanya tampak basah. Gereja papan Moravia di Wdmpusirpi dipenuhi pengunjung selepas senja. Kebaktian pun berlangsung khusyuk, kendati sedikit murung. Seorang Baptis yang baik tentu kenal nyanyi puji berjudul What a Friend We Have in Jesus. Ini adalah terjemahan kasar dari bahasa Miskito: Aku menyongsong Tuhan, Dan kubisikkan kata-kata di telinga-Nya, Ia tahu segalanya tentang diriku, Dia tahu penderitaanku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini