BALI berkabung karena meninggalnya Ketut Rindha, dinihari akhir bulan lalu (TEMPO, 11 Februari, Album). Bagi dunia sastra dan seni Bali. ia tak terlupakan. Di dunia sastra, dialah penerjemah banyak lontar kuna berbahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Bali. Dan 1973 wayang gambuh - wayang kulit dengan cerita-cerita gambuh - yang selama ini dianggap sakral dan hanya dipergelarkan pada upacara-upacara keagamaan yang penting, dlmasyarakatkan oleh Rindha. Tentu, waktu itu banyak tantangan. Tapi dengan dalih bahwa ia hanya membuat duplikat, Rindha bisa diterima para penentang. Sebagaimana umumnya orang Bali, Rindha mula-mula belajar menari. Kemudian, ia tertarik menjadi dalang. Mungkin karena seorang dalang harus menguasai cerita dengan benar, dan Rindha agaknya tak cukup puas hanya menerima pelajaran dari dalang lain, ia belajar bahasa Jawa Kuna. Dengan modal itu ia kemudian banyak membaca lontar-lontar. Di tahun 1930-an. lelaki kelahiran Blahbatuh, Gianyar. pada 1906 itu sering mengembara dari desa ke desa, mencari lontar-lontar yang disimpan para tetua, yang tersembunyi di pura-pura, untuk dikajinya. Gedung Kirtiya di Singaraja, pusat penyimpanan naskah kuna Bali, sempat nemanfaatkan kepintaran Ketut Rindha. Konon, di tahun 1930-an itu, ketika R. Goris, orang Belanda ahli prasasti menjadi direktur di pusat itu, Rindha menjadi asisten terdekatnya. Tapi Rindha tak hanya menjadi pembaca dan penerjemah lontar yang baik. Pengetahuan yang diperolehnya ditambah pergaulannya dengan dua tokoh seni pentas kala itu Made Kredek dan Putu Geria - membuahkan drama tari yang disebut prembon, sekitar 1940. Seni pentas ini merupakan campuran seni tari, topeng, arja, jauk, baris. Tiga serangkai ini tercatat dalam sejarah seni pentas Bali sebagai pencipta seni pentas yang sukses. Dalam prembon, hampir semua unsur seni Bali bisa dilihat: ya tari, ya sastra, ya seni rupa, ya musik. Rindha dikenal kreatif menggubah cerita yang bersumberkan babad dan kakawin. Kredek penyusun skenario yang cakap. Dan Geria adalah sutradara yang cemerlang. Tapi prembon tak selalu membawa terang rupanya. Suatu kali Rindha pernah mencicipi sel tahanan selama enam bulan, dengan lantai yang selalu basah disiram air. Itu di masa pendudukan Jepang. Entah karena tak tahan melihat orang Jepang yang menjabat sebagai bupati Gianyar, Rindha menciptakan cerita berjudul Raja Bungkeng menyindir penguasa. Tak ayal, ia beserta dua penarl utama ditahan. Tapi Rindha protes agar dua temannya - Nyoman Kakul dan Sadeg - dibebaskan, karena cerita itu dia sendirilah penciptanya. Sebagaimana kesenian Bali yang tidak menjadi pulau sendiri di tengah masyarakatnya, Rindha tak hanya sibuk dengan lontar dan dunia tari. Ia, seperti kata Wijaya, seorang penduduk Blahbatuh, "menjadi orangtua bagi kami semua." Mereka yang mau mendirikan rumah, yang mau mengawinkan anaknya, mereka yang punya persoalan dengan agama, atau yang mau tahu silsilah moyangnya, datang bertanya kepada Rindha. Lalu, "orangtua" itu pun bercerita, berdasar babad-babad yang pernah dibacanya, bahwa dulu ada persoalan serupa dan ketika itu . . . dan seterusnya. Sebagai dosen luar biasa di Akademi Seni Tari Indonesia, Denpasar, Rindha dipuji Made Bandem, direktur akademi itu, sebagai "penari yang baik dan menguasai sejarah tari." Boleh dikata, orang Blahbatuh itu memang tahu persis asal-muasal semua jenis tari klasik Bali. Karena pengetahuannya yang mendasar itulah ia berani menggubah bentuk-bentuk pertunjukan yang merupakan gabungan yang sudah ada. Selain prembon, pada 1975, Rindha memasukkan cerita wayang ke dalam drama tari, dan disebut wayang arja. Memang, pada hakikatnya ini bukanlah bcntuk yang sama sekali baru - karena itu diterima masyarakat Bali dengan baik - tapi tetap melahirkan kesegaran, hingga cerita wayang bisa memberikan imaji baru. Bila lewat lontar-lontar kuna Rindha mengelana dalam Bali masa silam, lewat dunia tari tokoh ini mengelana ke banyak negara. "Cuma Australia yang mungkin belum pernah diinjak Bapak," kata Made Suastini, anak Rindha satu-satunya dari istri pertama membanggakan ayahnya. Sebagai pemeluk Hindu, Rindha sudah sempat metirta yatra (semacam naik haji dalam Islam) ke India, 1951. Sekitar dua bulan yang lalu, ibadah itu diuianginya beserta Made Suastini. Mungkin dharma (kebajikan) Rindha sudah cukup ia seperti dikaruniai kearifan. Tiga hari sebelum sampai pada janjinya, ia sudah tahu. "Jalan sudah terbentang, Bapak akan segera berakhir," kata Suastini menirukan bapaknya. Dan beberapa jam sebelum melepaskan sukmanya, di larut malam, ia mengumpulkan semua isi rumah, diajak bersemadi. Dalam sikap asana - bersila dengan kaki kanan menumpang di paha kiri, kepala menunduk, pandangan terpusat pada pucuk hidung, kedua tangan bersikap menyembah di depan dada, dan pikiran terpusat pada pencipta kehidupan - maka tepat pukul 03.00 pagi 29 Januari, cahaya terang konon keluar dari dahi Ketut Rindha. Semua yang ikut bersemadi kaget, memburu ke arah Rindha. Yang diburu memang tinggal badan wadagnya - Jumat pekan lalu badan wadag itu diperabukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini