Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tony Bennett datang ke Jakarta. Ia membawa lagu-lagu cinta dan kerongkongannya yang belum kendur. Selama satu setengah jam, Bennett—yang sudah berumur 87 tahun—menyanyikan 23 lagu dengan suara yang masih sama seperti yang kita dengar dari album studio. Di akhir konsernya di Ballroom Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, Jumat dua pekan lalu, Bennett juga memberi kejutan yang membuktikan bahwa suara muda itu benar-benar keluar dari tenggorokannya.
Hanya dua pertiga kursi penonton yang terisi ketika anggota Tony Bennett's Band—Lee Musiker (piano), Gray Sargent (gitar), Marshall Wood (bas), dan Harold Jones (drum)—muncul di panggung pada pukul 20.11. Dengan tiket seharga Rp 1,5 juta hingga Rp 8,5 juta, konser ini memang ditujukan untuk kalangan terbatas. Sebagian besar berumur di atas setengah abad. Mereka datang dengan memakai kemeja tangan panjang atau gaun malam dan duduk rapi di kursi yang telah dinomori.
Bennett pertama yang muncul adalah Antonia. Ini putri kedua Tony dari hasil pernikahannya dengan Sandra Grant. Antonia, 39 tahun, mewarisi kecantikan ibunya, yang aktris, tapi tak mendapat gen kemerduan bapaknya. Antonia menyanyikan lagu-lagu jazz standar yang juga kerap dinyanyikan ayahnya—lagu-lagu yang pernah dipopulerkan Frank Sinatra atau Ella Fitzgerald, misalnya Too Marvelous for Words dan From This Moment On. Suaranya tak istimewa.
Dua puluh menit kemudian, panggung senyap, lalu terdengar suara Sinatra mempersilakan Tony Bennett bernyanyi. Entah dari tahun berapa dan konser di mana rekaman itu didapat. Tapi memang Bennett dan Sinatra punya hubungan istimewa. Mereka kenal sejak kecil. Sinatra, yang delapan tahun lebih tua, kemudian menjadi patron menyanyi bagi Bennett. Meski banyak yang menasihatinya agar tidak terlalu meniru Sinatra, Bennett tetap melakukannya hingga kini. Di majalah Life edisi 23 April 1965, Sinatra berbicara tentang banyak penyanyi lain, seperti Fitzgerald dan Sarah Vaughan. "Tapi, bagi saya, Tony Bennett adalah penyanyi terbaik dalam bisnis ini," kata Sinatra dalam artikel berjudul "Sinatra Opens Up".
Satu nasihat Sinatra yang selalu dikenang Bennett adalah menyanyi dengan jujur. "Dia selalu menyanyi dengan jujur. Bagi saya, nasihat terpenting dalam menyanyi adalah kejujuran," ujar Bennett kepada Vanity Fair. "Kejujuran emosional selalu saya berikan saat saya melakukan rekaman atau menyanyi di atas panggung." Dan itulah yang dilakukan Bennett sepanjang malam konsernya di Jakarta. Kita bisa merasakan bagaimana Bennett menghayati setiap kata cinta yang ia ucapkan. Apa yang Bennett rasakan seperti menjalar ke setiap dada penonton.
Bennett mengawali penampilannya dengan Watch What Happens. Saat tiba di lagu ketiga, Maybe This Time, ia membiarkan Musiker mengetuk-ngetuk Steinway & Sons—grand piano yang bisa seharga Rp 500 juta—sendirian. Memperpendek lagu dan membiarkan musikus bermain solo adalah trik Bennett untuk memperpanjang napas. Kualitas suaranya memang masih prima, tapi staminanya sudah berkurang. Ia mencoba menari dan berputar, tapi tentu tidak sempurna.
Setelah minum seteguk air pada lagu ke-15, Bennett menyanyikan Boulevard of Broken Dreams. "Ini adalah lagu pertama yang saya rekam," katanya. Ini juga bukan lagu asli Bennett. Lagu ini diciptakan oleh Al Dubin dan Harry Warren pada 1933 untuk mengisi film Moulin Rouge (1934). Dalam film itu, lagu ini dinyanyikan ConstaÂnce Bennett, yang tak ada hubungan darah dengan Tony. Saat film itu dibuat, Tony baru berumur 7 tahun. Tony merekamnya untuk pertama kali pada 1950. Dalam album Duets: An American Classic (2006), lagu itu kembali direkamnya, kali ini dinyanyikan bersama Sting.
Di album itu, Bennett juga berduet dengan Amy Winehouse menyanyikan Body and Soul. Jika masih hidup, tak sampai dua jam setelah konser Bennett ini selesai, ÂWinehouse berulang tahun ke-30. Tapi Bennett tak menyinggung penyanyi yang meninggal pada usia 27 tahun itu. Ia justru menyebut penyanyi lain sebelum menyanyikan The Good Life. "Saya mendedikasikan lagu ini untuk Lady Gaga. Dia teman saya," ujar Bennett.
Dengan membawakan lagu-lagu standar yang amat dikenal, Bennett mudah mendapat tepuk tangan. Apalagi saat menyanyikan lagu seperti The Way You Look Tonight, I Left My Heart in San Francisco, dan Smile. Namun, tentu saja, tanpa suara yang prima dan tak bergetar, tepuk tangan tak akan membahana. Untuk membuktikan bahwa suara merdu itu benar-benar berasal dari kerongkongannya, dan bukan rekaman, di lagu terakhir Bennett melepaskan mikrofon. Di tubir panggung, ia menyanyikan Fly Me to the Moon tanpa pengeras suara. Dari kursi tengah, kita masih bisa mendengar dengan jelas Bennett bernyanyi: "It takes thought and time and rhyme/To make a poem sing…."
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo