Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mencari Esensi Rusuh dari Sensasi Tubuh

Sebuah repertoar baru yang menarik disajikan Pekan Tari Refleksi. Lagi-lagi menampilkan soal sosial politik, tetapi kali ini penuh renungan.

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI MANA tubuh saat rusuh? Repertoar Kemelut karya Sutopo Tedjo Baskoro, yang dipentaskan di Gedung Socitet Yogyakarta, pertengahan Juni lalu, memperlihatkan esensi rusuh melalui sensasi tubuh. Karya itu merupakan bentuk kepedulian tentang ketakpedulian. Kemelut tak berakhir, tapi terus bergulir. Akhirnya orang hanya diam, hilang kepedulian.

Tarian yang tampil pada malam keempat acara Pekan Tari Refleksi, Festival Kesenian Yogyakarta XI-1999, Kemelut, bisa dikatakan sebagai sebuah perkecualian dari berbagai karya seni yang akhir-akhir ini diinspirasikan oleh peristiwa sosial politik di negeri ini.

Pelbagai kerusuhan sosial yang terus berkecamuk, terutama sejak Mei tahun lalu, memang masih membekas dalam benak. Dan hal itu sangat tercermin lewat aneka bentuk ekspresi seni—termasuk seni tari, antara lain melalui serangkaian program tari bertajuk "Respons Seniman Tari atas Realita", yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta.

Namun, banyak karya yang terkesan kurang merefleksikan daya kontemplasi yang mendalam. Hasrat untuk mengakomodasi muatan sosial agaknya menjadi beban yang tak membebaskan proses penciptaan. Beberapa koreografi mengisyaratkan, penciptanya mengalami kegagapan. Tak sedikit tarian yang seakan hanya dicocok-cocokkan dengan keadaan. Bahkan ada indikasi, beberapa seniman tari seolah tak lagi percaya pada kompetensi tubuh sebagai media ekspresinya, sehingga acap menempelkan elemen artistik verbal yang mengakibatkan karyanya terasa banal.

Dalam hal ini, Kemelut menjadi karya yang layak diperhatikan. Memang, ia bukan karya yang naratif. Ia juga tak memiliki rentangan alur dan ungkapan deskriptif. Bagi orang yang hanya ingin mendapat gambaran transparan, karya ini barangkali cukup membingungkan, meski temanya tergolong umum. Namun, patut diakui, intensitas ekspresi tarian ini sarat oleh daya renung.

Tubuh penari dieksplorasi hingga mencapai tingkat yang optimal. Dengan hanya mengenakan kostum yang minim, cawat kain kusam, torso penari seakan dibebaskan dari telikungan simbol lokal. Ini mengesankan Sutopo hendak merenungi kondisi masyarakat tidak hanya sebatas konteks sewajarnya, melainkan ingin mengangkatnya ke tataran kemanusiaan melalui ungkapan estetis yang universal.

Ketelanjangan fisik, jika ditautkan dengan etika, bisa berasosiasi pada keserbaterbukaan budaya—terutama budaya politik—yang kini tengah menguak kesadaran masyarakat. Di sisi lain, ketelanjangan, bukan mustahil, juga bersinggungan dengan persepsi masyarakat kita tentang kemaluan dan rasa malu. Kemungkinan, ini relevan dengan tabiat beberapa pejabat dan mantan pejabat, yang seakan tak punya rasa malu lagi meski mereka sudah ditelanjangi.

Meski ada kesan kuat ingin berdialog lewat ungkapan estetis yang universal, tak berarti Sutopo menanggalkan energi kreatif tradisinya sendiri. Gerak-gerik yang lentur dan berdimensi multikultur itu, misalnya, masih dipadu dengan irama tembang duka Jawa dan musik garapan Pardiman yang meramu berbagai elemen gamelan.

Absennya gerak-gerik yang riang menegaskan betapa kemelut yang melanda telah menjalarkan penderitaan. Proses penjalaran itu divisualkan lewat gerakan-gerakan yang amat perlahan, berkelindan memancarkan kekuatan. Ini paralel dengan laku menggeng atau megeng, aliran gerak yang menyarankan untuk menahan napas dalam suasana ning, yang menghayati bahwa ada kekuatan yang menarik empati kita untuk bergeming.

Pesona tarian itu barangkali tak akan terpancar andaikata tidak diimbangi oleh daya cerna lima penarinya yang terdiri dari Flovry Fono, Dodok Kusmantoyo, Hanung Rohyadi, Besar Widodo, dan Wiryawan. Dan inilah tarian yang berhasil menggoreskan kemelut di benak penontonnya secara mendalam, dibandingkan dengan dua koreografi lain seperti Pasasi karya Peni Puspito dan Puspayadnya karya Ni Nyoman Sudewi.

Sitok Srengenge

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus