Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kongres kedua Jong Islamieten Bond (JIB) di Solo, akhir 1927, secara demonstratif Agus Salim menegaskan sikapnya. Sebagai penasihat organisasi kepemudaan Islam itu, ia memerintahkan tabir yang memisahkan kelompok pria dan wanita disingkirkan. "Ini bertolak belakang dengan segala sesuatu yang menjadi kelaziman. Sikap ini nyata tidak benar," kata Salim kepada peserta kongres.
Perintah tersebut tentu menjadi tanda tanya hadirin. Membuat pembatas di antara mereka merupakan kebiasaan khas muslim. Ini kerap terjadi pada rapat yang digelar, termasuk dalam kongres pertama dua tahun sebelumnya di Yogyakarta. Karena itu, Ketua JIB Wiwoho meminta Salim memberi penjelasan kepada peserta pertemuan.
Di atas mimbar, Salim berceramah mengenai duduk perkara yang jadi sikapnya dengan tegas. Menurut dia, tujuan pendirian JIB adalah mengenal dan mengamalkan Islam secara sempurna. Caranya, segala sesuatu yang bukan hukum Islam atau tak bersumber pada ajaran Islam harus disingkirkan. "Pengucilan kaum wanita merupakan suatu adat Arab, bukan keharusan agama Islam," ujar Salim, yang kemudian menuliskannya pada majalah Het Licht, Tahun II, 1926.
Dia lalu menukil Surat An-Nur ayat 30 untuk mendukung argumentasinya yang menyebutkan kaum lelaki diperintahkan menjaga pandangan mata dan memelihara rasa malunya. Dalam ayat selanjutnya, hal serupa dituntut untuk dilakukan perempuan. Dengan demikian, tanpa tirai pun, laki-laki dan perempuan bisa berkomunikasi.
Wakil Ketua Partai Sarekat Islam Indonesia ini juga menyitir pendapat Dr Th.W. Juynboll. Tokoh orientalis ini menyatakan, sebelum zaman Islam, penyelubung tubuh wanita dilazimkan di dunia Timur, termasuk oleh kaum Kristen. Namun kebiasaan itu rupanya malah tidak lazim di lingkaran Nabi Muhammad. "Lagi pula, pengucilan kaum wanita pada rapat-rapat JIB tidak menguntungkan untuk propaganda himpunan kita," katanya.
Pembelaan Salim terhadap perempuan juga diperlihatkan ketika muncul "serangan" kepada Raden Ajeng Kartini. Sebuah tulisan di Bendera Islam menghujat putri Rembang itu. Buku Door Duisternis tot Licht, yang berisi surat-surat pribadinya dan diterbitkan ketika dia sudah meninggal, dianggap melecehkan Islam. Salim mengajukan sejumlah alasan bahwa celaan itu tidak pada tempatnya.
Menurut dia, surat-surat Kartini merupakan pendapat pribadi yang tidak dimaksudkan untuk diterbitkan. Dari sisi pemikiran, pandangan Kartini dianggap belum stabil ketika ia mengungkapkan pikirannya pada usia dini. Selain itu, informasi mengenai Islam masih minim diperoleh putri Jawa ini. Ketika itu, Quran memang tidak boleh disalin atau diartikan.
Sikap Salim yang kerap memberontak juga muncul pada masa bulan madunya. Setelah menikahi Zainatun Nahar, putri Almatsier, kepala sekolah sejumlah perguruan, pada Agustus 1912, Salim memboyong istrinya pindah rumah. Lazimnya, sang suami akan tinggal di rumah istrinya di masa-masa awal pernikahan. Masyarakat menganggap adat tersebut sebagai bagian ajaran Islam sehingga wajib dijalani. Padahal, menurut Salim, ini kebiasaan yang sama sekali tak ada kaitannya dengan hukum Islam.
Solichin Salam, penulis buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional, mengatakan kondisi masyarakat Islam ketika itu memang dalam kemunduran dan kebodohan. Karena itu, sering terjadi campur-aduk antara adat dan agama. Pada situasi seperti itulah Agus Salim mendobrak kebekuan dan kekolotan masyarakat, menjadi seorang pembaru atau mujadid.
Ketika memperingati 100 tahun pahlawan kemerdekaan ini pada 1984, Ahmad Syafii Maarif—tokoh Muhammadiyah—menyatakan sikap merdeka Salim dalam berpendapat itu menjadikannya layak disebut sebagai bapak kaum intelektual muslim Indonesia. "Salim benar-benar menjadi pelopor, mendahului Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya," demikian Syafii menuliskan penilaiannya.
Walau berpandangan moderat, lelaki kelahiran Koto Gadang, Minangkabau, ini pernah dicap kurang nasionalis lantaran sehaluan dengan Pan-Islamisme dalam menghadapi penjajahan. Barat menganggap gerakan ini berbahaya karena diduga akan menumbuhkan teokrasi negara Islam dan membangkitkan kembali jihad, perang suci melawan kaum kafir.
"The Grand Old Man", begitu julukan yang kadang ia terima, menepis tudingan itu dalam lawatannya ke sejumlah negara. Ketika memberi ceramah dalam pertemuan Indonesia-Pakistan Cultural Association pada 9 Desember 1953, ia menyatakan keyakinannya bahwa Islam mengandung pesan untuk seantero alam. Namun ini bukan berarti Islam bertujuan menghapus semua agama, tapi memadukannya. Tak cuma itu, bagi Salim, agama tidak hanya bermaksud menggairahkan perlombaan dalam mengamalkan kebajikan, tapi juga bekerja sama dalam menghadapi dunia yang terbagi-bagi oleh imperialisme.
Nah, di sinilah pentingnya agama yang tidak terhalang tapal batas negara. Kekuatannya bisa menggerakkan pengusiran penjajah. Adapun perang-perang perluasan wilayah kerajaan Islam dari Andalusia hingga Asia Tengah lebih merupakan perang politik daripada perang agama. "Jelas sekali bukan perang suci atau jihad," kata Salim dalam bahasa Inggris kepada peserta kolokium. Tema ini pula yang ia paparkan ketika mengisi ceramah penutup di Cornell University, Amerika Serikat, pada 25 Mei 1953.
Menurut sejarawan Taufik Abdullah, pikiran-pikiran brilian Salim yang diakui hingga tingkat internasional itu merupakan sumber kepemimpinannya dalam mendorong gerak organisasi. Karena itu, di dalam Sarekat Islam, ia menjadi ideolog organisasi yang menopang kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Begitu juga di beberapa partai politik atau organisasi kemasyarakatan lain, seperti JIB dan Partai Penyadar.
Kecendekiaan Salim itu, kata Taufik, diperoleh berkat pendidikan sekuler yang ia terima sebagai lulusan terbaik dari Europeesche Lagere School atau sekolah dasar hingga level menengah, Hogere Burger School. Kombinasi pendidikan Belanda dan sejumlah pelajaran agama yang ia peroleh ketika bermukim di Jeddah, Arab Saudi, selama lima tahun itulah yang menjadi modal dasar intelektualitasnya. Di Jeddah, ia banyak mempelajari Islam terutama dari pamannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Menurut Taufik, intelektualitas Salim itulah yang menyebabkan pengaruhnya melampaui lingkaran resmi kepemimpinannya, sebelum ataupun setelah meninggal. Dia bukan hanya seorang perumus ideologi Islam yang penting, melainkan juga penggerak utama orang-orang terpelajar Barat untuk menjadikan Islam sebagai agama yang secara kognitif dan emosional dihayati. "Salim menarik para pelajar Barat kembali ke dasar agamanya," ujar Taufik dalam diskusi dengan Tempo awal Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo