Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu Guru Beda Amalan

Haji Agus Salim meminta Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari mendidik santri agar tidak mendewakan guru. Lebih suka berdiskusi ketimbang menggurui.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAL laut yang seharusnya mengangkut Haji Agus Salim pulang dari Mekah ke Jakarta pada musim haji 1927 itu rusak. Nahas ini membuat kepulangan Salim dari menghadiri muktamar Alami Islamy mundur sepekan. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), yang sedang belajar agama di Mekah, memanfaatkan kesempatan ini untuk berguru singkat kepada Salim.

Kala itu Hamka berusia 23 tahun. Ini pertemuan keduanya dengan Salim. Dua tahun sebelumnya dia bertemu dengan Salim di Pekalongan, Jawa Tengah. Hamka sangat mengagumi Salim, yang tersohor sebagai pribumi jenius dan tokoh Sarekat Islam.

Dalam buku 100 Tahun Haji Agus Salim, Hamka menuliskan perjalanannya menjadi pemandu Salim di Tanah Suci saat itu. Mereka mengunjungi beberapa ulama asal Indonesia yang bermukim belasan tahun di sana. Beberapa di antaranya Janan Thaib, ulama asal Minangkabau, dan Ahmad Baqir dari Yogyakarta.

Dalam kunjungan silaturahmi itu, Hamka menyatakan keinginannya meniru para ulama Nusantara yang bermukim di Mekah tersebut. Bukan dukungan yang dia dapat, Salim malah meminta Hamka membatalkan rencananya. "Datang ke Mekah itu untuk menunaikan ibadah haji," kata Salim. Dia mengatakan, jika seseorang bermukim lama di Mekah, pulangnya nanti paling-paling hanya diminta jadi pembaca doa di acara kenduri.

Agus Salim menilai berumah di Mekah membuat seorang ulama tak akrab dengan problem yang dihadapi umat di Indonesia. Ia merujuk pada ayah Hamka, Abdul Karim Amrullah, yang belajar Islam di Mekah sebentar lalu pulang ke Tanah Air untuk mendirikan Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Nusantara. "Masalah agama yang timbul di Indonesia, yang memecahkan masalahnya adalah orang Indonesia sendiri. Karena itu ayahmu adalah ulama Indonesia," katanya.

Salim memang gemar berdiskusi dengan anak muda. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menilai kelebihan Salim adalah perhatiannya dalam mendidik anak muda. "Tokoh intelektual muslim, seperti Mohammat Natsir, Mohamad Roem, Kasman, dan Jusuf Wibisono, adalah hasil bentukan Salim yang gemilang," ujarnya dalam buku yang sama.

Mekah pada masa itu masih jadi tujuan para calon ulama Indonesia. Di sana sebelumnya ada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1852-1915), paman Agus Salim yang jadi imam mazhab Syafei di Masjidil Haram. Agus Salim pernah berguru padanya selama dia bekerja di konsulat Belanda di Jeddah pada 1906-1911. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, juga pernah berguru kepadanya. Kendati sama-sama berguru ke satu ulama, Agus Salim, Dahlan, dan Hasyim memiliki gaya berislam yang berbeda.

Pada masa itu pula wacana tentang Islam modern oleh Muhammad Abduh dari Mesir mencuat. Pemikiran Abduh mendobrak tradisi Islam, yang didominasi empat mazhab besar: Syafei, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Abduh mengajarkan agar umat Islam tidak terkungkung pada mazhab itu.

Deliar Noer dalam buku Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa mengatakan ulama asal Minangkabau banyak dipengaruhi ide Abduh. "Kiai Dahlan tidak jauh berbeda dengan mereka," katanya. Adapun Hasyim Asy'ari kurang sreg dengan pemikiran Abduh. Dalam Tradisi Pesantren karya Zamakhsyari Dhofier disebutkan bahwa Hasyim menilai dalam mempelajari Islam tidak bisa meninggalkan empat mazhab itu.

Dahlan dan Agus Salim memiliki kesamaan dalam menampilkan Islam. Keduanya sama-sama menjadi anggota Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Dahlan resmi menjadi anggota Sarekat Islam sejak berdiri pada 1910 dan Salim lima tahun kemudian. Belakangan Agus Salim menjadi orang nomor dua setelah Haji Oemar Said Tjokroaminoto di organisasi itu.

Ketika Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912, tidak lama kemudian Agus Salim bergabung. Keduanya terpisah ketika Salim memimpin gerakan disiplin organisasi dalam Sarekat Islam: setiap orang hanya boleh bergabung dengan satu organisasi. Salim memilih bertahan di Sarekat dan Dahlan memilih Muhammadiyah.

Dakwah Dahlan lebih menggiatkan puritanisasi Islam, seperti memerangi praktek takhayul, bidah, dan khurafat. Agustanzil Syahroezah, cucu Salim, mengatakan, dalam berdakwah, Salim memilih mendekati muslim yang berlatar pendidikan Eropa. Tujuannya, "Supaya mereka kembali ke Islam dan ke Indonesia," kata putra Violet Hanifah, anak ketiga Salim, itu.

Menurut Ibong Salim, panggilan Agustanzil, meski memiliki guru yang sama, kakeknya jarang bertemu dengan Dahlan dan Hasyim, karena keduanya banyak bermukim di daerah. Namun Agus Salim pernah berpesan ketika kedua teman seperguruannya itu membangun pesantren. "Ajari santrimu agar jangan mendewakan guru hingga melupakan Nabi Muhammad," kata Salim.

Syafii Maarif menilai Agus Salim sebagai pemikir Islam yang lebih bebas ketimbang Dahlan dan Hasyim. Tapi membandingkan ketiganya dengan sudut pandang yang sama adalah tidak tepat. "Kebesaran Agus Salim tidak dapat diukur dengan kebesaran Dahlan dan Hasyim," ujarnya.

Agustanzil mengatakan Salim lebih menyukai diskusi ketimbang dakwah yang bersifat menggurui. Ia suka membuat diskusi dan menghindari membuat perintah. "Ia membuka peluang orang menemukan jawabannya sendiri," kata Ketua Yayasan Hadji Agus Salim itu.

Agustanzil menceritakan keluwesan kakeknya dalam beragama. Pada suatu hari umat Islam dihadapkan pada perbedaan merayakan Idul Fitri. Salim meyakini datangnya 1 Syawal, penanda hari Idul Fitri, jatuh sehari setelah hari Idul Fitri yang diyakini banyak kaum muslim. Karena itu, Salim tetap menjalankan puasa Ramadan terakhirnya. Namun pada hari itu datanglah tamu dari Condet, Jakarta Timur, yang merayakan Lebaran. Salim menerima dan menjamu tamunya. "Ia membatalkan puasa dan ikut makan bersama tamunya," kata Agustanzil.

Sehari setelahnya, Salim menjalankan salat Id. Esoknya ia berpuasa lagi untuk membayar utang puasa Ramadan terakhirnya. Menurut Agustanzil, kondisi semacam itu tidak susah bagi kakeknya. "Agus Salim meyakini silaturahmi adalah hal yang penting juga," katanya.

Agus Salim juga tokoh muslim yang menghormati perbedaan agama. Isye Salim, cucu Salim dari anak keenam Salim, Islam Basari, menuturkan kakeknya pernah diolok-olok karena Khalid, adik Agus Salim, dikenal sebagai ateis dan kemudian memeluk Katolik. Sebagai ulama bergelar haji, Agus Salim dinilai gagal karena tidak bisa mengajak sang adik memeluk Islam. Celotehan itu ditanggapi enteng oleh Salim. "Saya sekarang jauh lebih dekat dengan Khalid karena dia Katolik. Artinya, dia punya Tuhan. Kalau dulu kan dia ateis," kata Isye menirukan kakeknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus