AKHIRNYA lagu-lagu Ismail Marzuki ditampilkan dalam kaset
lengkap dengan liriknya oleh PT Eterna Tunggal Indonesia. Dengan
aransemen dari Sudharnoto, 13 lagu dikeroyok oleh Kris Biantoro,
Zwesty Wirabhuana, Henny Purwonegoro, Masnun dan Jimmy Samalo.
Kris Piantoro menyanyikan Juwita malam, Rindu serta Karangan
Bunga Lari Selatan. Tetapi karena kita sempat mendengar seorang
Sam Saimun menyanyi, kaset ini terasa jadi tawar.
Penyanyi-penyanyi lain juga tidak berhasil mengangkat Ismail
Marzuki. Kecuali Zwesty yang sangat tertolong karakter Suaranya.
Dalam sampul kaset, ada potret kereta-api. Para penyanyi yang
menurut ukuran zaman revolusi nampak terlalu makmur dan lunak,
dengan memakai pakian perjuangan--gaya TVRI--berdiri di depan
lokomotip, mereka mengangkat tangan yang terkepal. Tersenyum
manis, ada juga yang tertawa. Jelas memberi kesan artifisial.
Suasana tersebut terbawa pula di dalam lagu-lagu.
Kris menyanyikan Juwita Malam terlalu romantis. Sementara Henny
Purwonegoro dengan Kopral Jono ampang sekali. Bahkan lagu Jangan
Ditanya yang begitu bagus, encer sekali di tangan Jimmy Samalo.
Semua ini membuat kita bertanya. Apakah memang tidak ada gunanya
untuk membandingkan bagaimana lagu-lagu tersebut pernah
dinyanyi kan? Apakah suasana jadi sedemikian berubah? Apakah
penyanyi telah menjadi terlalu ngepop, kehilangan bobot,
sehingga semua lagu-lagu sekarang hanya dendang-dendang yang
merupakan garukan-garukan kecil saja?
Ismail Marzuki hidup di zaman perjuanlan. Lagu-lagunya tercipta
sementara orang bertempur. Percintaan, lirik-lirik yang
romantis adalah bagian yang tak terpisahkan dengan suasana
genting yang sedang berkecamuk. Di sana terasa ada
kesederhanaan. Kata-kata masih mengandung makna yang
sungguh-sungguh. Di dalam lirik Sepasang Mata Bola misalnya Kata
"mata", "pahlawan", "angkara-murka", "bimbang--ragu" dan
sebagainya, tidak merupakan letupan yang emosionil. Kata-kata
itu didorong oleh kejujuran. Mungkin sekali kata-kata itu
tersusun dalam kalimat yang bisa dianggap kuno sekarang--tapi
kalau dinyanyikan, ia tetap memberikan kesan yang otentik. Ini
tidak terucapkan oleh para penyanyi dalam kaset baru ini.
Apakah tuntutan kita terlalu rewel? Tidakkah misalnya aransemen
lagu, tempo yang dipakai serta warna yang hendak dicapai memang
berbeda? Di sini kita boleh berhenti sebentar. Kalau didengarkan
kembali seluruh lagu-lagu di dalam kaset, perlahan-lahan kita
mengerti bahwa mungkin sekali semuanya bukan kesalahan penyanyi.
Kaset ini memang lebih cenderung untuk barang dagangan, bukannya
usaha untuk menampilkan Ismail Marzuki secara otentik. Kalaupun
ada kehendak untuk mengenang, sudah pasti tidak disertai tekad
untuk mengenangnya, secara penuh.
Jadi ini masih tetap hanya sebuah bayangan Ismail Marzuki.
Lagunya sama, liriknya sama. Tetapi kemantapann a sudah
diterjemahkan menjadi sesuatu yang lebih enteng. Mungkin sekali
prduser kaset tidak bermaksud mendokumentir karya-karya Ismail
Marzuki. Karena dianggap jarang orang mendengarkan lagu dengan
serius. Pembeli-pembeli lagu kebanyakan hanya orang-orang yang
ingin mendapat hiburan di sore hari sambil bercakap-cakap dengan
keluarganya. Tapi kesimpulan ini sekarang mungkin waktunya diuji
kembali.
Lagu-lagu Ismail Marzuki memerlukan sentuhan yang lebih
bersungguh-sungguh dan total. Harapan itu ada kemungkinan
terlaksana, kalau musisi muda kita ambil bagian. Mengingat
belakangan ini demam untuk menyanyikan Tanah Air di kalangan
pencipta dan penyanyi muda, cukup gencar.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini