Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA bersepakat bertemu di sebuah pusat jajan. Di sanalah, Senin pekan lalu, sembari menyantap mi ayam dan menyeruput teh manis hangat, Anggodo Widjojo melaporkan perkembangan kasus yang menimpanya. Kepada pengacaranya, Bonaran Situmeang, pria 53 tahun itu bercerita ia baru saja menerima surat cekal (cegah dan tangkal) dari Direktur Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Adik Anggoro Widjojo, buron kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu Departemen Kehutanan, itu sengaja memilih menyampaikan kabar pencekalannya langsung lewat ”temu darat”, bukan melalui telepon atawa SMS. ”Sejak tahu teleponnya disadap dan diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi, dia tak mau lagi membicarakan kasusnya lewat telepon,” kata Bonaran. Untuk berkomunikasi, menurut dia, Anggodo memilih lewat surat atau bertemu langsung, seperti Senin pekan lalu.
Larangan pergi ke luar negeri itu berlaku enam bulan, sejak 30 November silam hingga 30 Mei 2010. ”Permintaan cekalnya hanya untuk Anggodo,” kata R. Muchdor, Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencekalan itu atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sedang membidik Anggodo dalam kasus dugaan melakukan percobaan suap dan menghalangi penyidikan.
Nama Anggodo ”berkibar” sejak pembicaraan teleponnya dengan pejabat Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung diputar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, 3 November lalu. Dalam rekaman berdurasi lebih dari empat jam itu, terdengar Anggodo dengan gamblang mengarahkan sejumlah orang agar dua pemimpin KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, bisa dijerat dengan tuduhan melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang.
Rekaman ini tak pelak mengejutkan masyarakat. Para aktivis antikorupsi mendesak polisi segera menahan pria bernama asli Ang Tjoe Niek itu. Selasa malam, 3 November 2009, Anggodo memang dicokok. Ia dibidik dengan enam tuduhan, antara lain pemerasan dan penyuapan. Tapi, sekitar 20 jam kemudian, ia dibebaskan. Polisi menyatakan tak ada bukti untuk menahan Anggodo.
Akhir November silam kasus ini bergulir ke KPK. ”Polisi yang menyerahkan kasus ini ke KPK,” kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar. Menurut Haryono, pengusutan KPK difokuskan pada penyelisikan dugaan perkara korupsinya.
Selain itu, Ari Muladi, yang menerima duit dari Anggoro, juga sudah lebih dulu diperiksa KPK. Ari, saat diperiksa di kepolisian, mengaku menyerahkan uang Rp 5,1 miliar yang diterimanya dari Anggodo kepada para pemimpin Komisi lewat Deputi Bidang Penindakan KPK Brigadir Jenderal (Polisi) Ade Raharja. Hanya, belakangan Ari Muladi mencabut keterangannya itu.
Menurut Haryono, KPK akan memanggil Anggodo dan mereka yang terlibat dalam percakapan telepon yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi. ”Kami akan mengumpulkan informasi dan alat bukti,” ujarnya. Soal status Anggodo, Haryono menyatakan, KPK belum menetapkannya karena baru tahap penyelidikan. ”Begitu dua alat buktinya kuat, kami tingkatkan ke tahap penyidikan,” katanya.
Bonaran sendiri menolak jika kliennya dituduh mencoba menyuap pimpinan Komisi. ”Dia ini korban pemerasan,” katanya. Kasus ini, kata Bonaran, semestinya tidak diteruskan karena polisi saja tidak bisa menemukan bukti kliennya melakukan tindak pidana. Bonaran juga membantah jika Anggodo disebut menghalang-halangi penyidikan KPK atas ”kasus Masaro”. Anggodo, menurut Bonaran, tidak pernah menyembunyikan kakaknya, Anggoro Widjojo, Direktur Utama PT Masaro Radiokom.
Bambang Widjojanto, mantan kuasa hukum Bibit-Chandra, menyatakan tindakan KPK mencekal Anggodo tepat. Ia menepis suara yang menyebut pencekalan itu tak lepas dari balas dendam kliennya yang kini sudah kembali ke KPK. ”Tidak mungkin, mekanisme pengambilan keputusan di KPK sangat obyektif, gelar perkara dilakukan terbuka,” ujarnya. Menurut Bambang, Anggodo memang bisa dibidik dengan tuduhan melakukan percobaan penyuapan dan menghambat penyidikan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ancaman pidana perbuatan seperti itu cukup berat. Menghambat penyidikan, misalnya, ancaman hukumannya minimal tiga tahun dan maksimal dua belas tahun. Tapi, kata Bambang, KPK harus hati-hati jika akan ”menangkap” Anggodo memakai pasal menghambat penyidikan itu. ”Karena pasal ini belum pernah digunakan,” ujarnya. Haryono sependapat dengan Bambang. Pihaknya, kata Bambang, berhati-hati dalam menerapkan pasal yang bakal dijeratkan ke Anggodo. Yang pasti, menurut dia, KPK segera menuntaskan kasus ini. ”Karena publik menunggu-nunggu.”
Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo