Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Santiago, Hedda, dan Keluarga Jenderal Mannon

Sapardi Djoko Damono adalah penerjemah yang ulung. Ia berprinsip terjemahannya merupakan karya Indonesia, bukan sekadar karya asing dalam bahasa Indonesia.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sastrawan Sapardi Djoko Damono di meja kerjanya, 1988. TEMPO/Rini PWI Asmara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mulai mendaki pantai dan sampai di atas ia jatuh tengkurap dengan memanggul tiang perahu di pundaknya. Ia mencoba bangkit. Tetapi terasa berat dan ia tinggal duduk memanggul tiang di pundaknya dan menatap jalana….”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALINEA terjemahan Sapardi Djoko Damono atas novel Ernest Hemingway, The Old man and the Sea, ini pernah dikutip oleh (almarhum) Profesor Doktor Benny H. Hoed, kolega Sapardi di Universitas Indonesia. Para peneliti sering menyebut sosok Santiago, nelayan tua dalam novel The Old Man, sebagai alegori Hemingway atas sosok Kristus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasasi di atas mendeskripsikan tatkala dalam kondisi penuh luka di sekujur tubuh, setelah berhari-hari perahunya diseret ikan marlin raksasa yang kemudian dapat dibunuhnya dengan harpun tapi tak kuasa ia lindungi dari ikan-ikan hiu, Santiago berjalan lemah lunglai menuju gubuknya sambil memanggul tiang layar yang berat. Adegan itu seakan-akan simbol perjalanan Yesus memanggul salib ke Bukit Golgota. Sebagaimana Yesus, Santiago didera keletihan luar biasa. Ia jatuh-bangun berulang kali.

Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemmingway yang diterjamkan Sapardi Djooko Darmono.

Benny Hoed menyatakan tak tahu apakah Sapardi saat menerjemahkan novel itu memikirkan alegori tersebut. Namun, membaca terjemahan Sapardi, ia merasa mampu mengalami betapa dahsyatnya perjuangan dan pertempuran nelayan kawakan itu di laut—dan merasakan kesakitannya. Itu karena Sapardi, menurut Benny, dalam menerjemahkan selalu berusaha agar terjemahannya menjadi karya Indonesia, bukan sekadar karya asing dalam bahasa Indonesia.

Lelaki Tua dan Laut adalah salah satu karya terjemahan Sapardi yang paling banyak dibahas. Arif Bagus Prasetyo, penyair dan penerjemah, misalnya, pernah membandingkan terjemahan Sapardi dengan novel asli Hemingway. Menurut dia, kelihatan sekali perbedaan suatu karya sastra yang diterjemahkan oleh sastrawan dengan penerjemah biasa. “Sapardi meleburkan karya sastra yang diterjemahkan menjadi seperti karyanya. Secara kajian terjemahan memang bisa memiliki masalah, tapi Sapardi kan tidak menerjemahkan karya sastra untuk dikaji para pakar bahasa, melainkan untuk dibaca publik,” ujarnya.

•••

SAPARDI Joko Damono aktif menerjemahkan kumpulan puisi, novel, juga naskah drama. Semasa awal, ia menerjemahkan Murder in the Cathedral karangan T.S. Eliot yang bernuansa Kristiani; lalu Serpihan Sajak George Seferis, Puisi Klasik Cina, dan Lirik Klasik Parsi; kemudian novel Daisy Manis karya Henry James serta Serpihan Sajak dari Australia. Lewat penerbit Obor, ia menerjemahkan karya penyair Uganda, Okot p’Bitek, Afrika yang Resah serta naskah-naskah dramawan Norwegia, Henrik Ibsen, dan dramawan Amerika Serikat, Eugene O’Neill.  

Ada tiga naskah Ibsen yang dialihbahasakan menjadi Tiang-tiang Masyarakat, Bebek Liar, dan Hedda Gabler. Semua dikumpulkan dalam satu buku. Menurut Sapardi, Ibsen adalah dramawan modern pertama yang menekankan pentingnya konflik antara individu dan masyarakat. Sebelum dialihbahasakan Sapardi, naskah Ibsen beberapa kali diterjemahkan di sini. Pada 1950-an, Subagio Sastrowardoyo di Yogyakarta menyadur naskah Hedda Gabler menjadi berjudul Hartati, yang dimainkan oleh Studi Club Teater Yogya. Saat Wahyu Sihombing sebagai sutradara Teater Lembaga Institut Kesenian Jakarta mementaskan Bebek Liar pada 1980, yang digunakan adalah terjemahan Leon Agusta. Adapun naskah Musuh Masyarakat karya Ibsen dikenal luas kalangan teater melalui terjemahan Asrul Sani, yang juga pernah menerjemahkan Hedda Gabler.

Sandiwara-Sandiwara Ibsen terbitan Yayasan Obor, yang diterjamhkan Sapardi Djoko Darmono

Tapi, bila kita membandingkan terjemahan Sapardi dengan Asrul, misalnya Hedda Gabler, terasa adanya perbedaan pemilihan kalimat dalam dialog. Hedda Gabler berkisah tentang seorang perempuan muda aristokrat bernama Hedda. Ia putri mendiang Jenderal Gabler. Ia menikah dengan seorang terpelajar bernama Doktor George Tesman. Karakter keduanya berlainan. Hedda sangat kagum akan “maskulinitas” ayahnya. Ia punya kebiasaan berlatih menembak-nembakkan ke udara pistol ayahnya.

Marilah kita lihat sedikit cuplikan terjemahan Sapardi dan Asrul saat Hedda merasa bosan di rumah. Hedda (Sapardi): Oh! Rasanya aku mencium bau bunga Lavender dan mawar kering di seluruh ruangan ini. Tapi barangkali Bibi Julie yang membawa bau itu bersamanya. Ini sungguh mengingatkan orang akan perpisahan. Hedda (Asrul): Ah kamar-kamarnya semua bau kembang Lavender dan daun-daun Mawar kering. Tapi mungkin juga ada yang mebawa bau-bauan itu. Ya seolah-olah ada bau kematian.

Sapardi sendiri mengatakan sutradara yang hendak mementaskan terjemahannya punya hak penuh menyesuaikan kalimat sesuai dengan kebutuhan. Apalagi ia menerjemahkan naskah Ibsen dari bahasa Inggris, bukan dari bahasa Norwegia langsung.

Karya-karya Eugene O‘Neill juga sudah lama dikenal. Desire Under the Elms, naskah paling terkenal O’Neill, pernah diterjemahkan Toto Sudarto Bachtiar. Sapardi menerjemahkan Mourning Becomes Electra (Duka Cita bagi Elektra). Naskah ini merupakan trilogi, yakni Pulang, Yang Diburu, dan Rumah Hantu, dan jarang dipentaskan di sini—apalagi lengkap ketiganya. Naskah itu berkisah tentang tragedi keluarga Jenderal Ezra Mannon yang hidup di zaman perang saudara Amerika Serikat. Upaya saling mengkhianati terjadi di antara mereka. Christine, istri sang Jenderal, meracun mati suaminya. Ia lalu bunuh diri. Anaknya, Lavinia, cemburu terhadap ibunya yang memiliki kekasih. Lavinia mendorong kakaknya, Orin, untuk bunuh diri karena Orin begitu percaya kepada sang ibu. Menurut Sapardi, O’Neill dalam naskah ini mengolah masalah kejiwaan hubungan ibu dengan anak lak-laki dan hubungan anak perempuan dengan ayah—Electra complex dan Oedipus complex—sebagaimana disampaikan Sigmund Freud.

Yang menarik, pada bagian percakapan Seth, tukang taman yang telah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Mannon, Sapardi menggunakan dialek Betawi. “Tue ape! Baru tujuh plime! Babe gue dulu sampe umur Sembilan pulu!” demikian salah satu dialog Seth. Sapardi mengatakan dialek Betawi yang digunakan dalam percakapan Seth dengan teman-temannya boleh diganti dengan dialek-dialek lain. Misalnya, bila naskah dipanggungkan di Surabaya, dialek Jawa Timuran bisa dipakai. Atau bila di Semarang menggunakan dialek Jawa Semarangan.


•••

MENURUT sastrawan Budi Darma, Henrik Ibsen menulis dramanya memang untuk dipentaskan. Itu berbeda dengan Murder in the Cathedral karya T.S. Eliot, yang merupakan drama salon, yang titik beratnya untuk dibaca. “Menurut saya, terjemahan Sapardi yang paling baik adalah karya T.S. Elliot ini karena ia lama mempelajari dan menghayatinya,” tutur Budi Darma.

Adapun ihwal The Old Man and the Sea, ia melihat bahasa Hemingway dalam karya itu berbeda dengan dalam novelnya yang lain. “Bahasa Hemingway dalam The Old Man lebih bersifat reflektif,” katanya. Dan, Budi menambahkan, Sapardi bisa mengikuti gaya reflektif Hemingway. “Sapardi adalah penyair. Masuk akal bila dalam menerjemahkan dia juga tidak melepaskan diri dari kepenyairannya. Terjemahan Sapardi mengandung unsur “gubahan”, bukan terjemahan harfiah kata demi kata. Itu biasa dan tidak apa-apa,” ucapnya.

Duka Cita Bagi Electra

Dan kita ingat, saat Santiago dengan perahu kecilnya sudah berada di lautan luas, ada adegan menarik. Burung-burung kecil terbang berputar-putar mengitari kepala Santiago. Lingkaran burung-burung itu seolah-olah digunakan Hemingway sebagai alegori mahkota duri yang dikenakan Yesus saat proses penyaliban.

Sebagaimana dikatakan Benny Hoed di atas, entah saat menerjemahkan Sapardi sadar akan alegori itu atau tidak. Yang jelas, Sapardi memang peka terhadap imaji-imaji kekristenan. Kumpulan sajak pertamanya, Duka-Mu Abadi, yang terbit pada 1969, disebut pengamat banyak menyajikan nuansa kekristenan. Sebagaimana pernah diuraikan Sapardi sendiri pada peringatan satu tahun wafatnya Pater Dick Hartoko, di kala menyelesaikan skripsinya tentang Murder in the Cathedral, ia banyak mempelajari Injil dan berdialog dengan Pater Dick mengenai metafora-metafora Alkitab. Bahkan, untuk menyelesaikan skripsinya, ia mendapat pinjaman mesin tik dari Pater Dick.

SENO JOKO SUYONO, ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus